Dengan tingkat partisipasi yang rendah, dan tingginya angka golput, yang mencapai 45%, dan bahkan mengalahkan perolehan suara partai terbesar, seperti Demokrat yang hanya mendapatkan suara 20%, maka pemilu 2009 ini, mempunyai legitimasi yang rendah.
Menurut informasi golput di TPS tempat Presiden SBY memilih di Cekeas, angka golput mencapai 50%, di tempat TPS Wapres Jusuf Kalla, di Menteng, angka golput mencapai 60%, sedangkan komplek perumahan menteri, di daerah Kuningan, angka golput mencapai 70%. Ini menggambarkan selain rendahnya tingkat partipasi masyarakat, tapi juga termasuk ketidakpercayaan terhadap sistem demokrasi.
Selain masalah administrasi yang amburadul, karena banyaknya DPT (daftar pemilih tetap), yang tidak akurat, sehingga banyak warga masyarakat, yang tidak mendapatkan surat panggilan.Tetapi, di Jakarta, nampak banyak warga yang tidak menggunakan hak pilihnya. Kartu suara yang sudah ada, dan memiliki identitas nama jelas, tapi pemilihnya tidak datang ke TPS. Kartu-kartu suara teronggok di meja. Menurut penuturan masyarakat di setiap TPS itu, hampir rata-rata mencapai 30-40%, warga yang tidak datang dan tidak menggunakan hak pilih mereka.
Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat terhadap pemilu ini, sekaligus menggambarkan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap partai-partai politik, dan calon-calon legislative yang akan duduk di parlemen. Hal ini menunjukkan lemahnya tingkat hubungan atau komunikasi antara konstituen (rakyat) dengan bakal calon legislative.
Mereka yang menjadi calon legislative itu, umumnya sangat sedikit yang mengenal daerah pemilihannya, selain mereka belum memiliki catatan (track record), hasil-hasil yang konkrit yang mereka lakukan bagi perbaikan kehidupan masyarakat, terutama di daerah menjadi tempat pemilihannya. Dan, orang-orang yang akan mencalonkan menjadi anggota legislative itu, umumnya hanyalah datang dari perkotaan, yang asing bagi masyarakat di daerah pemilihan itu.
Demokrasi hanyalah menghasilkan ‘tokoh-tokoh’ semu, yang merupakan produk dari sebuah mekanisme, antara media dengan para ‘tokoh’ yang ikut dalam pemilihan, tentu yang ditopang dengan modal. Mereka dimunculkan oleh media cetak dan elektronik. Mereka dimunculkan lewat iklan, baliho, baner, spanduk, panflet, dan berbagai sarana lainnya, yang mereka gunakan untuk mendapatkan dukungan masyarakat.
Semuanya, hanyalah proses manipulasi terhadap masyarakat melalui sarana iklan dan lainnya. Konsekwensinya, tentu, semua memerlukan modal besar, yang tidak mungkin dapat dipikul, terutama bagi mereka yang tidak memiliki modal. Dan, banyak calon yang terpilih, bukan berdasarkan dari kerja-kerja riil yang mereka lakukan ditengah-tengah masyarkat.
Mereka yang terpilih menjadi anggota legislatif baru, tentu hanya akan memikirkan bagaimana cara mengembalikan modal, yang sudah digunakan dalam pemilu. Dan, dapat diprediksi akibat hasil anggota legislatif baru yang merupakan produk pemilu 2009 ini, hanya akan meningkatkan destruktif terhadap kehidupan negara, bukan memperbaiki kerusakan, tapi justru menimbulkan masalah baru, dan lima tahun ke depan krisis akan semakin lebih mengkawatirkan.
Maka, pemilu yang ada sekarang ini, tak dapat menghasilkan perubahan yang mendasar,dan dapat menyelesaikan krisis yang sudah akut,yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Pemilu di Indonesia adalah pemilu termahal,yang menghabiskan dana lebih 200 trilyun, belum lagi dana untuk KPU, yang jumlah mencapai 14 trilyun.
Tapi, hasilnya dapat dilihat dari anggota legislative yang akan datang, umumnya mereka terbebani oleh biaya kampanye, yang panjang selama sembilan bulan, dan puncaknya adalah kampanye terbuka, yang masing-masing partai mengerahkan seluruh kamampuannya. Mereka bertujuan mendapat dukungan masyarakat.
Bagaimana sistem demokrasi yang menggunakan asas ‘one man, one vote’ itu dapat secara efektif menghasilkan perubahan, seperti yang diharapkan masyarakat, kalau model anggota legislativenya proses rekrutmentnya melalui sistem demokrasi seperti sekarang ini? Bukan hanya menyangkut masalah tingkat kualitas dan kemampuan, serta pemahaman mereka terhadap masalah-masalah bangsa, tapi mereka adalah merupakan produk sistem yang salah.
Kegagalan sistem demokrasi tidak mampu melahirkan tokoh-tokoh yang kualitatif, yang dapat menjadi solusi terhadap problem-problem kenegaraan dan kebangsaan, karena tokoh-tokoh yang muncul, hanyalah produk dari sebuah sistem yang penuh dengan manipulative, yang direkayasa oleh media, dan sangat rendah legitimasinya.
Semua produk-produk demokrasi ini, hanyalah melahirkan tokoh-tokoh artificial, yang mendapatkan predikat yang diciptakan untuk memberikan legitimasi mereka. Maka, negara yang melaksanakan sistem demokrasi itu, akhirnya terjebak dengan perilaku atau praktek politik para politisinya. Karena, umumnya yang menjadi tujuan mereka adalah kekuasaan. Dan, kekuasaan itu adalah tujuannya untuk mendapatkan kepuasan dunia. Dan, kadang-kadang mereka menggunakan cara-cara yang tidak beretika (kaidah moral).
Sementara itu, partai-partai Islam, terjebak ke dalam sistem demokrasi, dan menjadkan sistem demokrasi untuk mendapatkan kekuasaan, akibatnya banyak partai Islam yang mengikuti apa yang menjadi kehendak rakyat. Asas sistem demokrasi adalah ‘one man, one vote’ itu, dan kemudian partai-partai Islam itu, melakukan langkah pragmatis dan oportunistik. Apa yang menjadi kecenderungan masyarakat, kemudian partai-partai Islam itu menyesuaikan diri mereka dengan kondisi yang ada. Dan, partai-partai islam itu, melarutkan diri ke dalam kehidupan masyarakat yang sekuler.
Seharusnya partai-partai Islam itu tetap mempartahankan prinsip-prinsipnya tidak larut, dan tidak menyesuaikan diri dengan kecenderungan masyarakat yang sekuler. Tapi, berusaha mengubah dan mendidik masyarakat agar menerima prinsip yang menjadi dasar perjuangan mereka.
Tapi, karena para elite partai-partai Islam itu sudah rata-rata memiliki ‘nafsu’ kekuasaan yang sangat tinggi, justeru mereka menerabas (menghalalkan segala cara) untuk mendapatkan kekuasaan. Mereka tidak mempersiapkan tokoh-tokoh mereka untuk memimpin, dan tokoh yang memiliki komitment yang kuat, dan konsisten dalam memperjuangkan cita-citanya. Justru tokoh-tokoh yang lahir dan muncul, mudah larut dan hanya puas dengan berbagai kemegahan dunia, yang telah mereka dapatkan dari perjuangan politik itu.
Barangkali, hingga kini belum ada, partai Islam, yang memiliki pemimpin yang kuat dan kokoh memegang cita-cita perjuangan dan ideologi, serta mengedepankan ‘fatsoen politik’ (etika politik), dan tidak larut oleh godaan kekuasaan. Mungkin baru Masyumi dan tokoh-tokohnya, dan pernah mendapatkan suara 20%, di pemilu 1955. Mereka dipilih karena tokoh-tokoh partai itu benar dalam memegang janji perjuangan mereka, dan sampai partai itu dibubarkan oleh Soekarno. Wallahu’alam.