Namanya juga politik. Dinamikanya sangat kuat. Setiap saat dapat mengalami perubahan. Interaksi antara kekuatan-kekuatan politik dan tokohnya sangat intens. Satu sama lainnya saling mempengaruhi. Tentu faktor yang paling menentukan, adalah karakter, watak, kepribadian, dan visi atau sikap keagamaan yang dimiliki para aktor (pemain) polititk itu.
Siapa diantra tokoh yang akan berlaga pilpres di Juli nanti, seperti Mega, SBY, dan JK, yang memiliki karakter, watak, kepribadian, dan visi atau sikap keagamaan yang kuat? Jika ada faktor-faktor seperti itu, sebagai syarat, pasti akan menjadi magnitude (daya tarik).
Tentu, semuanya bersifat alamiah, tidak dibuat-buat, apalagi sampai menyewa konsultan asing, hanya sekedar, membuat ‘public image’ yang menarik. Sehingga, perilakunya semua dipolakan, dan tidak menjadi alami, mulai cara bertuturnya, gerak mimiknya, sampai wajahnya harus di make up, ketika harus berhadapan telivisi.
Bahkan, ketika berdialog, pertanyaan dari floor sudah ditentukan isinya, dan diberikan kepada sang ‘calon presiden’, dan sang ‘calon presiden’ dapat memberikan jawaban dengan lancar, disertai cara bertutur, mimik dan gerak, semuanya sudah disetting, dan nampak sempurna. Ini namanya melakukan manipulasi terhadap publik, yang tujuannya hanya sekedar mendapatkan dukungan, tetapi esensinya tidak ada.
Bagi kalangan muslim, yang mengerti dan memahami Islam secara benar, pasti menginginkan tipe tokoh yang memiliki sifat-sifat seperti yang dimiliki Nabi Saw, yaitu siddiq, amanah, tabligh, dan fatonah adalah mutlak, yang akan selalu relevan disetiap zaman. Karena itu setiap muslim pasti ingin mendambakan prototipe pemimpin yang dicontohkan Nabi Saw, betatapun di sebuah masyarakat telah bangkrut secara moral.
Tapi, di zaman seperti sekarang ini, di mana mendapatkan tokoh politik, pemimpin pemerintahan, yang dapat meneladani sifat-sifat Nabi Saw? Ibaratnya mimpi disiang bolong. Dan, seperti mengharapkan kuda, yang akan keluar tanduknya. Tidak mungkin. Faktanya carut marut kehidupan terus saja berlangsung.
Seakan tak ada secercah harapan di masa depan, yang dapat diharapkan. Berulangkali berganti pemimpin dan presiden, faktanya kehidupan rakyat tak pernah berubah. Mereka yang miskin tetap miskin, dan yang kaya akan bertambah kaya, meskipun krisis melilit, tapi mereka yang kaya, tak pernah bisa menjadi miskin. Karena, hakekatnya kekayaan dan modal, berada diseputar, dan beredar diantara mereka yang kaya.
Ibaratnya, seperti anak ayam yang kehilangan induknya, mengharapkan perlindungan, tapi tak ada induk semang yang dapat diharapkan. Mereka yang mula-mula nampak induk semang dari anak ayam, ternyata, tak lain adalah musang. Lalu, musang itu memakan anak ayam, sampai habis. Karena, tak ada lagi yang dapat melindungi mereka. Nasib muslim barangkali kalau dianalogkan, seperti anak-anak ayam yang kehilangan induk, dan sudah lama mereka bercerai berai.
Sekarang ini yang menjadi induk anak ayam, pergi ke sarang-sarang ‘musang’, yang menganggapnya sebagai pelindung, teman sejati, dan diantara induk anak ayam itu, ada yang meminta pertolongan, dan bahkan menggantungkan nasibnya kepada si ‘musang’.
Kadang-kadang induk anak ayam, yang tidak jeli, tidak dapat melihat ‘bulu’ yang halus itu, tak lain, bulu musang. Ketika, mereka sudah mendekat, menyerahkan wala’, menjadikan musang itu, sebagai teman sejati, meminta pertolongan, dan menggantungkan nasibnya, yang didapat justru si ‘musang’ itu memakan mereka. Anak ayam dan induknya habis dimakan si ‘musang’.Maka, sejatinya anak ayam, dan induk ayam, yang baik, tidak meminta perlindungan kepada si ‘musang’.
Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’anul Karim :
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani menjadi teman setiamu, mereka satu sama salin melindungi. Barangsiapa diantara kamu menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dzalim”. (al-Maidah :51).
Maka, orang-orang muslim dan mukmin harus menggeser posisinya, tidak lagi menjadikan Yahudi dan Nasrani, atau Yahudi dan Nasrani yang kulitnya berwarna coklat, serta mungkin juga menggunakan baju koko dan peci, tapi karakter dan kepribadian mereka seperti Yahudi dan Nasrani, kemudian menjadikan mereka sebagai teman dan wali. Maka, pasti muslimin dan mukmin akan menghadapi kehancuran.
Karena hakekatnya mereka adalah musuh orang muslim. Jadi, kalau memilih mereka menjadi pemimpin atau wali serta pelindungnya, maka nasibnya seperti induk anak ayam, yang pasti akan dimakan musang. Orang-orang muslim harus memilih orang muslim sebagai temannya. Wallahu ‘alam.