Seluruh dunia menghadapi resesi. Pertama resesi terjadi di Amerika. Merembet ke seluruh Uni Eropa. Dan, menyebar ke negara-negara Dunia Ketiga, yang selama ini ekonominya bergantung kepada Negara Industri Maju.
Sementara itu, seluruh Negara Industri Maju pertumbuhan ekonominya minus. Produksi manufucturnya stagnan. Daya beli masyarakat menurun. Dan, lapangan kerja terus menyempit. Disisi lainnya, harga saham di bursa saham turun, mengakibatkan bangkrutnya perusahaan-perusahaan raksasa, akibat kesulitan likuiditas.
Situasi terakhir di Amerika tiga perusahaan otomotif terbesar, Ford, General Motors, dan Chrysler, diujung kebangkrutan, sesudah para CEO nya mengadakan pertemuan dengan Senat, nampaknya tidak menghasilkan dukungan, yang sangat dibutuhkan oleh ketiga perusahaan otomotif itu. Karena, angka penjualannya di seluruh dunia mengalami penurunan, yang sangat signifikan. Padahal, ketiga perusahaan otomotif itu memiliki 3 juta karyawan, menyebar di seluruh dunia.
Sebelumnya, sudah puluhan ribu karyawan perusahaan di Amerika, terkena PHK, akibat krisis finansial, yang tak dapat mereka antisipasi. Lembaga-lembaga korporasi di Amerika berguguran. Termasuk raksasa lembaga keuangan yang sudah berumur lebih 150 tahun, akhirnya bangkrut, yaitu Lehman Brothers, dan yang ikut kolaps (ambruk) adalah perusahaan keuangan Citigroup. Selain itu, di negara-negara Uni Eropa mengalami nasib yang sama, akibat resesi ekonomi mereka alami, jumlah pengangguran terus meningkat.
Pertemuan 20 negara yang dimotori oleh Presiden George W.Bush, berlangsung di Mesiko, yang menginginkan dukungan bagi penyelesian krisis, tak membuahkan hasil apapun. Apalagi, Presiden Bush sudah kehilangan power, karena sudah tidak memiliki lagi legitimasi politik. Presiden Bush sebentar lagi akan meninggalkan Gedung Putih. Meskipun, sesudah pertemuan 20 negara itu, dilanjutkan dengan pertemuan APEC, yang berlangsung di Lima, ibukota Peru, dan mempunyai tujuan yang sama, membahas situasi krisis ekonomi global saat ini.
Alih-alih menyelesaikan krisis yang ada, justru yang terjadi negara-negara Maju, memberlakukan proteksi yang sangat ketat, terhadap barang-barang masuk (import) dari negara lainnya. Maka, dampak dari proteksi yang amat ketat oleh negara-negara Industri itu, banyak negara berkembang mengalami krisis ekonomi, dan banyaknya perusahaan yang bangkrut. Karena, mereka tidak dapat menjual barang hasil produksi mereka. Seperti yang dikatakan Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Pascal Lamy, yang mengingatkan dampak dari krisis yang ada sekarang, dan tindakan negara-negara Maju melakukan proteksi perdagangannya, berakibat menyempitnya akses negara-negara Berkembang dalam perdagangan global.
Di Jakarta, Ketua APINDO (Assosiasi Pengusaha Indonesia), yang sudah mengingatkan melalui Ketuanya Sofyan Wanandi akan terjadinya gelombang PHK besar-besaran, tahun 2009, akibat dampak dari krisis, yang dialami sektor manufuktur. Hampir 13.000 buruh yang akan terkena PHK.Tapi, dapat diprediksikan jumlah perusahaan yang akan bangkrut jumlahnya akan semakin banyak, yang jumlah buruhnya terkena PHK akan bertambah banyak pula.
Belum lagi perusahaan, yang gagal di bursa efek, yang pasti akan menghadapi kebangkrutan. Seperti, perusahaan keluarga ‘Bakrie Brothers’, yang sahamnya terus terhempas , dan nilai asset kekayaannya mengalami penurunan secara drastis, dari jumlahnya yang mencapai 287 trilyun rupiah, hanya tinggal 70 trilyun. Termasuk harga saham dari Bumi Resources, yang sempat di suspend (dihentikan). Tentu, jika perusahaan ‘Bakrie Brothers’ ini bangkrut, dampaknya akan sangat luas, terutama bagi karyawannya.
Tentu, yang menarik adalah mata uang rupiah kursnya terus anjlok dibandingkan dengan dolar,bahkan sudah mencapai diatas 12.000 rupiah per-dolar. Sebaliknya, seluruh dunia mata uang dolar, nilai tukarnya melorot dibandingkan dengan mata uang lainnya. Pemerintah dalam hal ini Bank Sentral Indonesia (BI) kewalahan menjaga menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Konon, tak kurang antara kwartal di bulan Oktober – Nopember, Bank Sentral (BI) sudah mengeluarkan tak 10 milyar dolar, hanya untuk menstabilkan nilai mata urang rupiah terhadap dolar. Jika kondisi ini terus berlanjut, dampaknya akan menguras cadangan devisa yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah justru hanya melakukan langkah-langkah yang lebih berorientasi untuk melakukan stimulus di sektor monoter, tapi sangat mengabaikan sektor riil, di tengah-tengah kondisi krisis yang ada sekarang ini.
Pemerintah telah memberikan himbauan agar para pengusaha tidak memborong dolar, yang dapat mengakibatkan nilai harga dolar terus melambung. Tapi, nampaknya himbauan ini tidak efektif, karena menyangkut ‘trust’ (kepercayaan) terhadap rupiah yang melemah. Di sisi lain, memang banyak para pengusaha, yang aktivitas ekonomi mereka terkait dengan dolar.
Di sisi lainnya, situasi krisis ekonomi yang sekarang menghantui Indonesia, berbarengan dengan hajatan besar, yaitu pemilu legislative dan pilpres. Menurut, seorang pengamat poliltik, dan Rektor Paramadina, Anis Baswedan, justru dengan adanya krisis ekonomi global, saat sekarang akan berdampak positif bagi proses demokrasi di Indonesia. Artinya, partai-partai politik yang selama ini mengandalkan dukungan politik dengan menggunakan ‘money politik, pasti akan mengalami kesulitan. Partai politik yang selama ini menggantungkan hidupnya dengan ‘money politict’ akan menghadapi lonceng kematian?
Selanjutnya, proses politik di Indonesia akan benar-benar bertumpu dengan kekuatan partai yang mengandalkan ideologi, jaringan organisasi, dan militansi kader. Sementara Partai politik yang mengandalkan model ‘money politik’ masa depannya akan menjadi tanda tanya. Wallahu ‘alam.