Para pemimpin Ortodok Yahudi tetap bersikeras tidak akan mau kompromi dengan tuntutan realitas rakyat Palestina, dan lingkungan dunia Arab. Mereka masih mimpi tentang tanah yang ‘dijanjikan’ itu, yang membentang mulai dari sungai Eupfrat (Iraq) sampai sungai Nil (Mesir). Itulah yang disebut Eretz Israel atau Israel Raya. Padahal, mereka kaum Ortodok Yahudi yang mimpi wilayah Yudea dan Samaria, itupun mereka tak mampu mempertahankannya.
Tanah-tanah yang ‘dijanjikan’ itu satu demi satu lepas dari tangan Israel. Mereka tak mampu terus mempertahankan tanah-tanah yang mereka rampas sejak berdirinya negara Israel, di tahun 1948. Kantong-kantong pemukiman Yahudi yang menjadi ‘enclave’ itu harus mereka relakan untuk dilepaskan. Seperti pemukiman di Gaza yang mencakup ribuan pemukim Yahudi, harus mereka tinggalkan, dan itu berlangsung di zamannya Eriel Sharon.
Tak ada statusquo yang dapat mereka nikmati. Sekarang semua harus berubah. Sekeras apapun kaum ultra Ortodok, tak akan mampu menghadapi kekerasan sikap rakyat Palestina, yang mereka terus-menerus menginginkan kembalinya tanah yang telah dirampas Israel. Rakyat Palestina tak peduli dengan pengorbanan apapun. Seperti yang dialami puluhan ribu rakyat Palestina yang hidup dipenjara-penjara Israel, ribuan lainnya yang tewas, dan 4.5 juta rakyat Palestina yang diusir dari tanah air mereka.
Perubahan lingkungan strategis yang memaksa mereka harus memikirkan ulang terhadap pandangan dan ambisi mereka,adalah semakin banyak masyarakat internasional yang memiliki ‘common sense’ (akal sehat), yang tidak membenarkan adanya tindakan Israel, yang sewenang-wenang, merampas hak hidup rakyat Palestina, dan bahkan melakukan embargo secara total, dan melakukan praktek-praktek rasisme yang amat menjijikkan. Sebagian negara-negara Uni Eropa dan LSM Internasional, mencoba membuka blokade yang dilakukan Israel, sebagai tindakan pembelaan, dan keberpihakan terhadap rakyat Palestina.
Di bagian lainnya, kecenderungan beragama di kalangan orang Yahudi, semakin banyak mereka yang berpandangan sekuler. Mereka tidak lagi menginginkan apa yang di sebut ‘Eretz Israel’, dan mereka berpikir realistis, dan menginginkan hidup secara damai. Maka,di Israel gerakan perdamaian juga semakin kuat. Mereka tidak menginginkan pemerintah Israel, terlibat dalam ketegangan dengan negara-negara sekelilingnya yang berbatasan dengan Israel.
Mereka tidak tahan menghadapi aksi militer yang dilakukan berbagai kelompok di Palestina, Libanon, dan Suriah, yang terus mengggunakan kekuatan militer. Hamas, dari hari ke hari semakin baik dan mampu memodifikasi peralatan militer mereka. Para pejuang Palestina itu, berhasil memperbaharui senjata jenis roket, yang sekarang ini digunakan menyerang wilayah-wilayah Israel. Bahkan, para pejuang Hamas, menyatakan, tahun 2015 nanti, roket yang mereka ciptakan, diprediksikan dapat menjangkau ibukota Tel Aviv. Israel juga kalah menghadapi tentara Hisbullah di Lebanon Selatan. Ribuan pasukan regular dan khusus mereka, tak mampu menembus pertahanan militer Hisbullah. Serangan roket Katyutsa, menghancurkan kota-kota yang berbatasan dengan Lebanon Selatan.
Tapi, yang paling merisaukan para penjabat Israel, pertumbuhan orang-orang Arab yang mengalahkan penduduk Israel. Berbagai hasil survey yang dibuat oleh lembaga-lembaga riset di Israel, diperkirakan tahun 2050, jumlah penduduk Israel dan Arab menjadi sama. Karena pertumbuhan orang-orang Arab lebih tinggi, dibandingkan dengan orang-orang Israel. Pertumbuhan orang-orang Arab, rata-rata 2.5-3% setiap tahunnya.
Ditambah lagi, langkah-langkah pemerintah Israel, yang melakukan program reseltement (pulang kampung) tak begitu menarik bagi mereka yang sudah diaspora (menyebar) di berbagai negara. Tinggal di Israel tidak ada jaminan keamanan, situasi keamanan sewaktu-waktu dapat berubah. Sekarang, relative aman sejak Hamas-Israel menandatangani perjanjian damai. Tapi, perjanjian ini sewaktu-waktu dapat berubah. Maka, umumnya program reseltement gagal, menarik kembali orang-orang Yahudi kembali ke tanah yang ‘dijanjikan’.
Perubahan lingkungan strategis yang akan sangat mempengaruhi masa depan eksistensi negara Israel adalah perubahan posisi Amerika di dunia internasional. Amerika tidak lagi menjadi adidaya. Di bidang militer, ekonomi, dan politik. Peran Amerika menyusut yang para pengamat menyatakan telah menjadi ‘republik pisang’ (Benana Republic). Amerika kehilangan pamornya di dalam pergaulan internasional. Pengaruh politiknya menurun drastis.
Ini akibat krisis ekonomi yang dialami oleh Amerika. Amerika mengalami defisit anggaran, mengalami difisit perdagangan luar negeri, pertumbuhan ekonomi minus, utang lur negerinya mencapai 14 trilyun dolar, dan mata uang dolar, tak lagi menjadi panutan. Dalam pertemuannya dengan negara-negara Uni Erupa, secara terang-terangan Presiden Prancis Sarkozy, tak mau lagi Uni Eropa dipatok dengan mata uang dolar. Negara-negara Amerika Latin, yang dipelopori Presiden Venezuela, Hugo Cavez, menolak menggunakan mata uang dolar, dan mereka akan menggunakan mata uang peso.
Tapi, yang paling penting adalah ambruknya lembaga-lembaga korporasi keuangan yang dimiliki para bankir Yahudi, yang terakhir Lehman Brothers. Sekarang Amerika menghadapi kebangkrutan perusahaan otomotif, yaitu General Motors, Crysler, dan Ford, yang memiliki karyawan mencapai 3 juta orang karyawan. Jika, pemerintah Amerika tidak membantu ketiga perusahaan otomotif itu, maka dipastikan akan bangkrut. Krisis ekonomi di Amerika terus merembet sampai ke Eropa, yang belum lama ini para pemimpin Eropa sudah menyatakan secara terang-terangan bahwa Eropa menghadapi resesi.
Maka, ketika Raja Arab Saudi, Abdullah di dalam konferensi agama-agama di New York, yang menyampaikan, pandangan yang sebenarnya sudah pernah disampaikan, tentang Arab Saudi bersedia mengakaui Israel, asalkan Israel mau mundur dari wilayah-wilayah Arab, yang dirampas dalam perang tahun 1967. Pandangan Raja Abdullah tak ada yang baru. Tentu, dalam kondisi krisis global ini, pandangan pemimpin Saudi itu, tentu mendapatkan tempat dikalangan masyarakat internasional.
Dalam kondisi seperti ini, tak aneh Presiden Shimon Peres memujui Raja Abdullah : “Saya berharap suara anda itu berlaku di seluruh kawasan Timur Tengah dan menjadi suara rakyat”, tegas Shimon Peres. Rezim Zionis-Israel menyadari tak mungkin lagi mereka mimpi dengan ‘Eretz-Israel’ atau Israel Raya. Seperti dikatakan oleh Perdana Menteri Ehut Olmert,yang menyatakan : “Israel harus menghapus tentang impian Eretz-Israel”, tegas Omert. Bahkan, perdana menteri Israel, yang akan mundur bulan Februai nanti, menegaskan agar Israel mundur dari seluruh wilayah Tepi Barat, bahkan Yerusalem Timur, jika ingin mencapai perjanjian damai final dengan Palestina. Israel yang menjadikan Amerika tulang punggungnya dalam menghadapi dunia Arab, kini Amerika telah runtuh.
Raja Abdullah mengajukan proposal yang menginginkan agar Israel mematuhi resolusi yang dibuat 22 anggota Liga Arab, yang menyerukan agar Israel mundur dari seluruh wilayah Arab, yang diduduki sejak perang tahun l967, termauk Dataran Tinggi Golan, sesuai dengan resolusi DK.PBB No.242 dan 338, dan memberikan hak kembali ke wilayah Palestina bagi pengungsi yang berjumlah 4.5 juta, yang kini diaspora. Jika usulan Raja Abdullah ini diterima, seluruh negara Arab akan mengakui Israel, dan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Adakah ini hanya sebuah impian, yang tak bakal menjadi kenyataan?
Nampaknya, jalan menuju perdamaian masih panjang, dan sulit bakal terwujud. Perdana Tzipi Livni, gagal membentuk kabinet, karena gagal mendapat dukungan dari Partai Ultra Ortodok Shas, yang menolak membicarakan status Yerusalem. Karena, Knesset (Parlemen) secara mayoritas, menyetujui status Yerusalem sebagai hak mutlak Israel. Sehingga, harapan akan terciptanya perdamaian dan terwujudnya Negara Palestina, tidak akan serta merta. Wallahu ‘alam.