Bagi PKS, berpisahnya SBY-JK ibaratnya seperti mendapatkan durian runtuh. Berpisahnya ‘dwi tunggal’ ini, memberikan peluang bagi proses mobilitas vertikal, khususnya bagi kader Partai PKS, menggapai pusat kekuasaan. Karena, dari wacana yang terbuka, sirkulasi kepemimpinan nasional, hampir tidak ada. Arah dinamika politik, sangat terbatas, dan hanya di dominasi antara SBY – Mega.
Di luar dua tokoh itu, tak nampak tokoh yang memiliki peluang secara signikfikan. Semua faktor itu, tak lain, karena berdasarkan konstitusi yang ada, pasangan presiden/wakil presiden, harus dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, yang mendapatkan suara 20% atau 25% parlemen threshold. Berdasarkan hasil survei yang dibuat oleh lembaga-lembaga survei, Golkar dan PDI, masih merupakan kekuatan politik yang memiliki dukungan massa.
Politik adalah ansich kekuasaan semata. Tidak ada yang lain. Logika kekuasaan hanyalah kepentingan. Dan, tidak ada yang bersifat permanent dalam berpolitik, semua sangatlah tergantung dari kepentingan. Kepentingan itu sendiri yang sifatnya permanent. Maka, berpolitik itu, tidak ada namanya teman abadi. Semua dapat berubah. Sesuai dengan tingkat kepentingan. Parameter paling utama dalam berpolitik adalah kepentingan. Dan, yang disebut dengan ‘koalisi’, hanyalah proses tawar menawar, yang dilandasi kepentingan, yaitu kekuasaan. Siapa akan mendapatkan apa.
Menjelang pemilu April 2009 ini, pengkutuban kekuatan politik sudah mulai nampak, tentu dasar logika politiknya, tak lain juga kepentingan. Mengapa SBY-JK berpisah? Padahal, awalnya yang menawari JK menjadi wapres lagi adalah SBY. Tawaran itu disambut baik oleh JK. Nampaknya, memang jalan sejarah harus berjalan lain. Ketika Ahmad Mubarok, wakil ketua Demokrat, yang sangat percaya diri, menolak koalisi dengan Golkar, dan mendampingkan kembali JK dengan SBY, karena prediksinya Golkar dalam pemilu 2009 nanti, menurut Mubarok hanya akan mendapatkan suara 2.5%. Semua yang menjadi sandaran Mubarak, hasil survei, dan logika politik. Selain, dikalangan Demokrat tidak lagi ingin dibawah dominasi Golkar.
Berpisahnya SBY-JK membuka peluang bagi lahirnya kepemimpinan alternative. Jika, sebelumnya wacana kepemimpinan nasional hanya didominasi SBY-Mega, maka sekarang terbuka sebuah alternative. Gagasan kekuatan ‘alternative’ sudah lama muncul, terutama partai-partai yang sudah yakin, memiliki kekuatan politik dan mesin politik, menapaki kekuasaan di tahun 2009 nanti. PKS adalah salah satunya.
Apalagi, dari berbagai suvei menunjukkan kader PKS, yaitu Hidayat Nurwahid, selalu memiliki tingkat dukungan yang tinggi, diantara tokoh-tokoh politik yang ada. Maka, ketika momentum politik terjadi, langsung disikapi oleh PKS dengan menawarkan kepada Golkar, mendampingkan JK dengan Hidayat Nurwahid, sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden di bulan Juli nanti. Apakah langkah politik PKS dan Golkar ini sangat ‘visible’ (mungkin)? Tentu segalanya yang akan menentukan adalah kotak suara, di pemilu legislative April 2009 nanti.
Bagi kalangan yang memperhatikan kehidupan politik nasional, khsusunya terhadap partai-partai politik, peristiwa berkoalisinya antara PKS dengan Golkar ditingkat nasional menjadi sesuatu yang sangat menarik. Meskipun, ini bukan sesuatu yang sama sekali baru, mengingat, sebelumnya PKS, juga sudah masuk dalam ‘koalisi’ yang mendukung pemerintah SBY-JK.
Sebenarnya, menjadi menarik, karena dua partai ini mempunyai latar belakang sejarah yang berbeda. Kedua partai ini secara anatomis juga sangat berbeda. Kedua partai ini masing-masing memiliki karakter yang berbeda. Dan, kedua partai ini memiliki latar belakang ideologi yang berbeda.
Golkar adalah dilahirkan oleh militer dan menjadi alat legitimasi politik militer Indonesia dalam menjalankan kekuasaannya, selama pemerintahan yang sangat otokratis (menindas), di bawah pimpinan Jendral Soeharto. Seluruh kebijakan Orba mendapatkan legitimasi dari Golkar. Golkar bukan hanya menjadi alat legitimasi militer Indonesia, tapi juga menjadi alat otokratisme yang menghancurkan hak-hak dasar rakyat.
Dan, Soeharto menjadi Ketua Dewan Pembina Golkar, yang menentukan arah kebijakan politik, yang menjadi landasan kebijakan negara. Selama tiga puluh tahun yang disebut dengan ‘state policy’, hanya berada di tangan satu orang, yaitu Jendral Soeharto. Bahkan, dalam sistem Orba itu, kader Golkar dan Militer melakukan penguasaan dibidang ekskutif, legislative, yudikaif, dan birokrasi Indonesia.
Sistem yang sangat otokratis dan sentralistis ini, dilandasi oleh satu ideologi negara yang sekuler, disebut Pancasila, dan akhirnya hanya melahirkan penyakit kronis bernama KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), kemudian terjadinya ‘disaster’ (bencana), diakhir kekuasaan pemerintahan Soeharto. Dan, adakah Golkar yang sekarang berbeda dengan Golkar yang dahulu?
Sedang PKS, awalnya adalah lahir dari sebuah antitesa terhadap kekuasaan rejim Orba, yang sudah sangat tidak layak bagi sisi masa depan kemanusiaan. Kumpulan anak-anak muda yang idealis, berpendidikan, dan lahir dari kampus-kampus, terkemuka di Indonesia. Mereka berjuang bersama ingin menciptkan sebuah ‘tonggak sejarah’, yang hendak mereka cita-citakan bagi masa depan Indonesia, yang adil, sejahtera, dan kehidupan lebih bersih.
Mereka menyerukan nilai-nilai kebenaran (dakwah). PKS adalah pertautan antara para aktivis yang memiliki latar belakang ‘ulumul syar’i’ dan ‘ulumul kauni’. Mereka berpautan dalam sebuah gerakan ‘dakwah’, yang ingin melakukan perubahan mendasar bagi kehidupan di Indonesia. Inilah motivasi dasar ketika mereka bergabung, mendirikan partai sebagai sebuah representasi gerakan dakwah mereka secara terbuka, sesudah mereka berhasil mengakhiri kekuasaan rejim Orba.
Baru sepuluh tahun. Sekarang banyak kalangan yang dibenak mereka muncul semacam, ‘big question’, (pertanyaan besar), PKS yang dahulu menjadi antitesa dari Golkar dan kekuatan Orba, sekarang menggagas koalisi, dan ingin menjadikan pasangan JK dengan Hidayat Nurwahid. Adakah ini menandakan bahwa PKS sudah mengalami perubahan orientasi dan prinsip, sehingga harus bersanding dengan kekuatan lama Golkar? Adakah tujuan strategis yang ingin dicapai PKS di masa depan, khususnya dengan langkah politik yang diambilnya?
Namun, segalanya menjadi sangat jelas, ke mana langkah politik PKS, setidaknya sejak 2004, dan menjelang akhir-akhir ini, lebh jelas, terutama ketika meninggalnya mantan Presiden Soeharto, Ketua Majelis Syuro PKS, Ustad Hilmi Aminuddin, memberikan maaf kepada Soeharto, dan bahkan meminta kepada Presiden SBY, memaafkannya, meskipun Presiden SBY, tidak melakukannya. Peristiwa yang mengikutinya lagi, memberikan gelar kepada Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa.
Ini menjadi anti klimaks politik PKS, sepanjang tahun 2009, yang selama ini masih penuh kabut. Dan, masihkah masa depan bangsa Indonesia akan mendapatkan alternative bagi perbaikan kehidupan mereka? Khususnya, dari kekuatan-kekuatan politik yang memiliki idealisme dan nilai-nilai agama (Islam)?
Pertemuan DPP PKS dengan Wapres Jusuf Kalla dan jajaran Golkar, malam ini, merupakan momentum politik, yang sudah memiliki landasan jelas, di mana PKS dan Golkar, memiliki tujuan yang sama, yaitu kekuasaan. Dan, kekuasaan landasannya hanyalah kepentingan. Bukan nilai. Wallahu ‘alam. (m)