Mafia peradilan di Indonesia sudah sangat sistemik. Menguasai sendi-sendi lembaga penegak hukum, yang selama ini menjadi tumpuan rakyat untuk mendapatkan keadilan. Faktanya, justru lembaga penegak hukum itu, sudah bengkok oleh praktik-praktif mafia peradilan. Inilah yang menyebabkan berbagai paradok, seperti belum lama ini, si Minah, yang mengambil dua buah kakao, dihukum 1,5 bulan penjara oleh pengadilan, sementara Anggodo Widjojo, tak tersentuh oleh siapapun.
Awalnya, yang namanya mafia peradilan, ibaratnya seperti ‘kentut’ (maaf), bau busuknya menyengat, tapi rakyat tidak dapat melihat wujudnya. Pengaruhnya di mana-mana, tapi rakyat tidak dapat melihat sosok dari mafia peradilan. Mereka bukan saja dapat mempengaruhi keputusan pengadilan, tetapi mereka juga dapat ‘melipat’ para aparat penegak hukum. Anehnya, sebenarnya tak banyak uang yang ‘disodorkan’ kepada aparat penegak hukum, bila dibandingkan dengan tingkat kerugian negara.
Setinggi-tingginya uang yang diberikan kepada aparat penegak hukum jumlahnya hanya milyaran rupiah. Seperti pengakuan Ary Muladi, yang mendapat uang dari Anggodo, yang nilainya hanya Rp 5, 1 milyar, yang akan digunakan untuk ‘memoles’ aparat penegak hukum. Tidak sepadan bila dibandingkan dengan tingkat kerugian negara, yang jumlah bisa mencapai ratusan milyar, bahkan bisa mencapai triliun rupiah. Kasusnya bukan hanya berkaitan dengan Bank Century saja, tapi kasus-kasus lainnya yang lebih besar, termasuk BLBI, yang jumlah kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah, dan kasusnya kini sudah terkubur, dan tidak akan pernah diangkat lagi.
Mafia peradilan ini sudah sangat sistemik, dan menguasai kehidupan, dan setiap usaha ingin menghilangkannya, pasti akan gagal. Sekarang Presiden SBY mempunyai komitmen ingin memberantas mafia peradilan. Dapatkah langkah-langkah Presiden nanti terwujud? Karena, para mafia itu, tak lain juga terkait dengan kekuasaan lainnya, yang mempunyai kepentingan yang lebih luas, yaitu kalangan ‘pengusaha’ (hitam) sebagai pemilik modal, yang mereka dalam bisnisnya menggunakan praktik-praktik yang tidak sehat, yang menimbulkan kerugian negara. Mereka menggunakan para mafia peradilan, yang kemudian menyogok para penegak hukum, yang tujuannya mempengaruhi keputusan pengadilan.
Para penegak hukum bukan hanya menghadapi para mafia, tetapi terkadang bila kasus pelanggaran hukum itu, sudah berkait dengan kekuasaan, menjadi rumit dan sangat sulit, dan menghabiskan energi, termasuk tidak pernah dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum semata-mata. Tentu, contoh yang paling mutakhir, yaitu kasus Anggodo Widjojo, yang terang-terangan berani menyebut nama Presiden dalam percakapannya, tapi sampai sekarang tidak dapat disentuh, apakah itu ditangkap atau ditahan, dan polisi mengatakan tidak ada dasar yang dapat dijadikan alasan menangkap Anggodo.
Memang, mula-mula rakyat hanya sering mendengar kosa kata ‘mafia peradilan’, tapi tak pernah dapat membuktikan, seperti apa sosok dan bentuk yang namanya mafia peradilan itu. Tapi, sejak dibukanya percakapan di dalam sidang Mahkamah Konstitusi, yang dulunya selalu menjadi teka teki itu, semuanya menjadi terang-benderang. Rakyat menjadi sangat tersentak dan baru menyakini serta menyadari bahwa mafia peradilan sudah sangat sistemik, dan menguasai seluruh jaringan lembaga penegak hukum di Indonesia.
Karena sudah sistemik dan luas, tak heran adanya jalinan kuat antara kekuatan-kekuatan yang ada, mereka pun sudah berani dengan berbagai cara yang mereka lakukan ingin menekuk lembaga KPK, yang selama ini menjadi tumpuan rakyat, karena lembaga penegak hukum yang ada sudah mandul, dan tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus besar, yang merugikan negara dalam jumlah besar.
Hal ini seperti ditunjukkan oleh adanya kasus seperti Jaksa Urip Tri Gunawan, ketua tim penyelidik kasus Bantaun Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), saat menerima suap dari Artalyta, dan disidangkan di pengadilan tindak pindana korupsi. Tapi, jaksa-jaksa lain yang terlibat, secara jelas muncul dalam rekaman percakapan yang diputar di Pengadilan Tipikor, hanya dijatuhi sanski administrasi.
Tentu, rakyat mengharapkan tindakan yang berani dari Presiden, memberantas mafia peradilan, yang mengakibatkan hancurnya perangkat-perangkat penegak hukum di Indonesia. Kalau tidak ada langkah tegas Presiden, maka pupus sudah harapan rakyt Indonesia terhadap penegakkan hukum. Wallahu ‘alam.