Presiden Amerika Serikat Presiden George W. Bush, mengatakan bahwa "tantangan generasi" baru, bagaimana menanamkan demokrasi di dunia Arab. Pemerintahan Bush dan pembelanya berpendapat dorongan demokrasi terhadap dunia Arab, tidak hanya akan menyebarkan nilai-nilai Amerika, tetapi juga meningkatkan keamanan Amerika.
Presiden Bush menegaskan, bahwa bila tumbuh demokrasi di dunia Arab, dan sikap berpikir rakyat di kawasan itu seperti yang ada di Barat, maka akan berhenti terorisme, dan sikap anti-Amerika. Karena itu, mempromosikan demokrasi di di dunia Arab, tidak hanya konsisten dengan tujuan kepentingan keamanan AS, melainkan sangat diperlukan untuk mencapainya.
Skenario yang diluar prediksi AS, ketika terjadi perubahan politik, di dunia Arab melalui gerakan rakyat. Perubahan ini menjadi tantangan baru bagi hubungan masa depan AS dengan dunia Arab. Para otokrat dan despotis berguguran. Lahir pemerintahan transisi. Pemerintahan transisi yang akan mengantarkan sampai pada pemilihan presiden, dan pemilihan anggota parlemen. Dengan model baru, perubahan dari transisi politik, melalui mekanisme demokrasi, pemilu presiden dan parlemen, sirkulasi kekuasaan menjadi tertata, dan kelompok kepentingan-kepentingan akan terwakili. Itulah asumsi di pikiran para pemimpin Barat, termasuk Presiden George Bush.
Tetapi, kondisi transisi pemerintahan, belum dapat diprediksi. Termasuk masa depan pemerintahan di Mesir. Sekarang yang memegang kendali kekuasaan tetap militer. Dewan Agung Militer, yang dipimpin Marsekal Thantowi, tetap menjadi orang yang menentukan arah kebijakna Mesir. Thantowi menjadi "King Maker" pemerintahan transisi yang dipimpin Perdana Menteri Ashraf.
Perubahan politik dan situasi di dunia Arab, mulai dari Lebanon, Irak, Iran, Negara Teluk, dan sekarang Mesir, Yaman, Arab Saudi, dan Jordan, terus menjalar ke Afrika Utara, diarahkan menuju sebuah tatanan baru, yang disebut dengan : "Negara Demokrasi".
Esensi dari strateg baru Amerika Serikat ini, menginginkan terjadinya sirkulasi kekuasaan yang ajek, dan kekuasaan yang mendapatkan dukungan rakyat, dan dapat mewakili atau menjadi representasi negara untuk melakukan negosiasi dengan Barat dalam segala aspek kehidupan.
Amerika Serikat, sejak di zaman Presiden George Walker Bush, ingin mengubah dasar pandangannya yang memanfaatkan sistem demokrasi untuk "menguasi" dunia Arab dan Islam. Pendekatan dengan "senjata" dan "perang’ bukan saja tidak manusiawi, dan akan menimbulkan beban sejarah kemanusiaan, tetapi resiko akan meningkatkan militansi dan perlawanan yang lebih massif kalangan Muslim.
Dalam satu dekade ini, sejak peristiwa 11 September 2001, serangan Gedung WTC (World Trade Center) yang terletak di Manhattan, New York, ditabuh genderang perang melawan terorisme global, justru yang terjadi hasilnya tidak seperti yang diharapkan oleh AS. AS hanya bisa menumbangkan rezim-rezim yang dianggap menjadi ancaman AS, tetapi gagal menciptakan pemerintahan baru yang kuat, kecuali hanya seorang boneka yang sangat lemah.
Di Irak, Afghanistan, Lebanon, dan sejumlah kawasan lainnya, yang melibatkan campur tangan AS, tak dapat melahirkan sebuah rezim baru, yang mendapatkan dukungan yang kuat dari rakyatnya. Maka, sebenarnya di manapun rezim boneka, ibaratnya seperti bangunan "kardus", yang akan dengan sangat mudah roboh di tiup angin. Sekalipun, mereka merupakan hasil dari proses pemilu yang dianggap jujur. Seperti di Afghanistan, betapa lemahnya Presiden Hamid Karzai.
Sebuah pertanyaan yang lain, apakah AS cukup jujur dan percaya terhadap proses demokrasi itu? Karena ada preseden yang menunjukkan AS dan Barat, tetap bersikap ambivalen terhadap demokrasi. Aljazair dan Hamas pernah melakukan eksperimen dengan demokrasi. Tetapi, ketika kekuatan Islam yang menang, dan semestinya berhak memimpin, tetapi kenyataannya AS dan Barat tidak menerimanya.
Cara apapun yang digunakan, selama itu, hasilnya tidak sejalan dengan nilai-nilai Barat, pasti akan melahirkan penolakan. Masyarakat Barat dan para pemimpinnya tidak siap menerima fakta tentang agama Islam, agama yang diikuti 1,5 miliar penduduk bumi. Inilah yang tetap menjadi persoalan masa depan hubungan antara AS dengan Dunia Islam. Sampai kapanpun. Wallahu’alam.