Mengapa Nabi Ibrahim Alaihis sallam disebut sebagai bapak ‘monotheisme’? Karena Ibrahim Alaihis sallam benar-benar ‘mentauhidkan’ Allah Rabbul alamin. Beliau hanya mengesakan Allah Rabbul Alamin. Tidak menyandingkan-Nya dengan apapun.
Nabi Ibrahim Alaihis sallam harus berlawanan dengan ayahnya ‘Azar’ yang masih menyembah patung (berhala). Di mana di sekeliling Ka’bah patung-patung menjadi sesembahan. Termasuk ayahnya ‘Azar’ menjadi pelopor yang mengajak kaumnya menyembah patung.
Padahal, patung itu hanya benda mati, yang tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat. Tetapi, mereka menyakini patung-patung itu, mereka jadikan sebagai ‘tuhan’. Mereka menjadikan patung-patung itu sebagai sesembahan. Inilah persoalan yang sangat asas (pokok), terutama bagi kehidupan umat Islam saat ini.
Umat Islam dewasa ini mengulangi episode Nabi Ibrahim Alaihis sallam, di mana umatnya waktu itu, masih menyembah patung yang hakikatnya tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat bagi kehidupan mereka. Episode jahiliyah inilah yang akhirnya membawa kehancuran bagi kehidupan mereka.
Nabi Ibrahim yang mengajak umatnya beriman kepada Allah Rabbul alamin itu, dan bukan hanya menghadapi umatnya yang jahil dan penyembah patung, tetapi beliau menghadapi hukuman. Di mana beliau dibakar oleh Namrud. Dimasukkan ke dalam api. Tetapi, Nabi Ibrahim Alaihis sallam, yang dimasukkan ke dalam api itu, tidak menjadi hangus, karena kobaran api. Nabiullah Ibrahim Alaihis sallam diselamatkan oleh Rabbnya.
Sebuah episode bagi mereka yang dengan keyakinannya, dan selalu hanya berharap pertolongan dari Rabbnya, maka hidupnya diselamatkan dari segala bentuk ancaman, kezaliman, dan siksaan dari para pengikut jahiliyah. Karena itu, Allah Rabbul Alamin, menegaskan,
"Janganlah engkau takut, cemas, dan sedih, bila engkau orang-orang yang mukmin".
Para pembawa dan penjuang penegak kebenaran dan keadilan, pasti selalu diawal perjuangannya, adalah sebagai kelompok minoritas. Tidak akan banyak yang mengikutinya. Mendapatkan permusuhan dari seluruh kelompok jahiliyah. Pasti mereka tidak akan pernah akan memberi ruang kepada mereka yang ingin menegakkan kebenaran dan keadilan.
Mereka adalah kelompok minoritas. Hanya sedikit. Tetapi, mereka orang-orang yang memiliki keyakinan, kesungguhan, komitmen, dan kejujuran terhadap keyakinan yang mereka yakini. Mereka akan terus berjuang dengan segala kesabaran yang tanpa batas. Mereka memiliki keikhlasan yang utuh. Tidak tergoda dengan aksesoris kehidupan dunia yang bersifat artifisial. Itulah prototipe para pengikut Ibrahim Alailhis sallam.
Sekarang di era jahiliyah modern, banyak aktivis Islam, dan aktivis Islam lainnya, meninggalkan keyakinan, komitmennya, kejujurannya, kesungguhannya, khususnya dalam membela dan menegakkan keyakinan mereka, berupa risalah yang diberikan Allah Rabbul alamin. Mereka bukan hanya mengubah jati dirinya dan karakter dasarnya, tetapi sampai mereka berani mengubah keyakinannya. Mereka lebih memilih dan mengejar dukungan manusia, dan rela meninggalkan segala simbol-simbol keislamannya.
Di era jahiliyah modern ini, para aktivis Islam dan gerakannya, lebih memilih menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat dan sistem yang ada. Kehidupan masyarakat yang bercorak jahilyah dan sistem "ghoirul Islam", yaitu sistem kufur, justru sekarang para akitivis Islam menyesuaikan dengan kondisi itu.
Mereka yang masuk ke dalam sistem jahiliyah, dahulunya menggunakan pameo "ingin merubah dari dalam". Maksudnya, mereka akan melakukan perubahan ketika masuk ke dalam sistem kufur, dan berada di dalam bi’ah jahiliyah. Tetapi, bukannya mereka berhasil mengubahnya, tetapi mereka justru yang berubah, dan menjadi jahiliyah.
Mereka mengubah prinsip-prinsip (mabadi’) Islam dengan sistem sekuler, yang merupakan cerminan dan lambang jahiliyah. Mereka mengakui dan menerima serta menyakini mabadi’ul khamsah, yang disebut dengan Pancasila.
Para pemimpin aktivis Islam itu menyerukan kepada pengikutnya, kadernya menghafal, memahami, butiri-butir dalam mabadi’ul khamsah itu. Mereka para elite aktivis Islam itu, juga menyerukan kadernya memahami preambule mabadi’ul khamsah. Mereka tidak lagi menyakini tentang risalah yang telah diberikan oleh Allah Rabbul alamin sebagai minhajul hayah, tetapi menggantinya dengan mabadi’ul khamsah. Inilah pergeseran yang nyata-nyata.
Mereka berlindung, meminta pertolongan, serta keamanan kepada mabadi’ul khamsah itu, yang dalam bentuknya "burung garuda". Mereka meniadakan adanya Rabbul alamin. Padahal, bagi orang-orang mukmin, hanya disuruh meminta pertolongan kepada Allah, Rasul, dan orang-orang mukmin. Bukan kepada sistem, filsafah, dan benda yang merupakan bikinan manusia. Wallahu’alam.