Perlahan-lahan semakin terkuak. Selama ini tidak banyak yang tahu. Kalau ada yang tahu, hanya kalangan terbatas. Tapi tidak selamanya kebusukan itu dapat ditutupi. Serapi apapun menutupi kebusukan itu, akhirnya tercium juga.
Dengan kasus Gayus yang keluar masuk tahanan, dan konon sampai pergi ke Bali, bahkan nonton pertandingan tenis, menginap di hotel mewah Westin, serta pertemuannya dengan seorang tokoh partai yang pengusaha, lengkap sudah kisah Gayus, sebagai pegawai pajak, yang terlibat dalam jaringan mafia.
Karena peranannya itu, Gayus seorang pegawai pajak yang memiliki relasi luas, dan menjadi sangat berpengaruh. Dikalangan internal pegawai dan pejabat pajak, maupun dikalangan pengusaha, dan lembaga aparat penegak hukum. Dengan relasi yang luas, dan pengaruhnya yang cukup kuat dikalangan aparat penegak hukum itu, Gayus lebih leluasa memainkan peranannya, khususnya dalam rangka ‘menyulap’ nilai wajib pajak yang harus dibayarkan kepada negara.
Berapa kerugian negara? Kalau Gayus bisa memiliki uang sampai Rp 100 miliar, dan mungkin lebih. Lalu, berapa kerugian negara akibat permaian Gayus dengan para wajib pajak itu? Berapa ratus triliun kerugian negara. Bagaimana kalau sebuah korporasi yang nilai assetnya puluhan trilun, dan seharusnya membayar pajak beberapa triliun, tetapi bisa ‘dimainkan’ atau ‘disulap’, hanya menjadi beberapa puluh miliar saja? Inilah sebuah modus operandi yang sangat luar biasa, khususnya kerugian yang harus ditanggung oleh negara.
Banyak korporasi besar yang memainkan angka-angka asset dan keuntungannya, saat harus melaporkan kekayaan sekaligus keuntungannnya setiap tahun, yang tujuannya hanya untuk mengurangi kewajiban pembayaran pajak, dan nilainya bisa menjadi berkurang dengan drastis.
Bayangkan, misalnya sebuah korporasi besar nilai kewajibannya membayar pajak mencapai tiga triliun, dan dengan kerjasama dengan seorang pegawai pajak, katakanlah seperti Gayus, dan kemudian dengan mengubah angka-angka korporasi itu, akhirnya hanya membayar beberapa puluh miliar? Tentu, semuanya itu dengan memberikan ‘gaji’ alias ‘bonus’ kepada oknum pajak seperti Gayus. Kemudian, bagaimana kalau yang bermental seperti Gayus itu dominan? Berapa ratus triliun kerugian negara yang diakibatkan perbuatan oknum pegawai pajak seperti Gayus itu?
Indonesia yang nilai besaran APBNnya yang jumlahnya mencapai lebih Rp 1000 triliun lebih itu, sekarang murni diambil dari sektor pajak. Artinya, sumber penerimaan negara, seluruhnya berasal pajak. Dengan adanya kerjasama antara oknum pegawai pajak dengan pejabat di dalam korporasi yang jumlahnya tidak hanya satu korporasi , tetapi banyak, dan berlangsung bertahun-tahun, berapa banyak kerugian negara?
Semuanya saling jalin-menjalin dan berkelindan, hubungan antara Gayus, korporasi, dan aparat penegak hukum. Tidak terputus. Di sebuah media yang terbit di Jakarta, The Jakarta Post, (15/11), menyebutkan bahwa setiap urusan di tempat tahanan itu ada harganya.
Untuk dapat memiliki hand phone di sel tahanan, ada harganya, dan bahkan untuk dapat keluar tahanan, seorang pesakitan sekelas Gayus, tidak mungkin hanya sebatas kepala perwira jaga, tetapi sampai ke tingkat atas. Ini menggambarkan begitu saling berkaitan antara mafia pajak, pengusaha, dan aparat penegak hukum. Semuanya saling terkait dan berkelindan. Tidak mungkin ini hanya sebatas kasus Gayus, dan polisi semata, tetapi juga akan melibatkan pengusaha.
Mas Achmad Santoso, yang menjadi salah satu anggota Tim Pemberantasan Mafia Hukum telah menyatakan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh Gayus yang senilai Rp 100 miliar itu, sumbernya dari korporasi besar, yang secara eksplisit menyebut perusahaan Bakrie.
Tetapi, segalanya akan berakhir dengan tanpa proses hukum apapun, karena kebetulan yang berkasus itu, dan terkait dengan Gayus itu, menjadi pemimpin partai yang sangat ‘power full’, dan kasusnya tidak akan menjadi sebuah kasus besar, dan berakhir dengan berlalu waktu.
Penguasa dan pengusaha yang sudah memiliki tali-temali hubungan yang sangat erat, tidak akan berani saling merugikan. Betapapun negara sangat dirugikan dengan kasus Gayus itu. Tetapi Aburizal Bakrie yang memimpin Partai Golkar, sangat lah ‘power full’, dan kekuasaan manapun akan memerlukan dukungannya. Tidak mungkin akan sampai kasus pajak yang berkaitan dengan Gayus itu menjadi terbuka di pengadilan.
Andaikata banyak wajib pajak terutama korporasi besar itu jujur, dan tidak melakukan manipulasi pajak dengan bekerjasama dengan oknum-oknum pegawai pajak, pasti penerimaan negara akan lebih besar.
Pembangunan yang lebih banyak yang akan dapat diwujudkan oleh negara ini. Tetapi kenyataan tidak seperti itu. Semuanya saling terlibat yang tujuannya hanya untuk kepentingan masing-masing pribadi, tanpa memikirkan masa depan negara.
Wajib pajak korporasi besar, bekerjasama dengan oknum pegawai pajak, mengurangi nilai kewajiban pajaknya, dan ketika terbongkar, si oknum pegawai pajak itu, bermain lagi dengan oknum penegak hukum. Akhirnya menjadi lingkaran setan, yang tidak habis-habis.
Korporasi ingin keuntungannya berlipat-lipat dengan sesedikit mungkin membayar pajak, dan pegawai pajak ingin mendapatkan uang diluar gajinya, yang lebih besar, sementara itu aparat penegak hukum, juga ingin mendapat uang lebih banyak dengan cara membarter kasus dengan uang, dan kejahatan itu menjadi langgeng di negeri ini. Sementara itu, penguasa ingin mendapatkan dukungan politik dari pengusaha yang juga pemimipin partai. Wallahu’alam.