Berbeda dengan nasib mereka yang tertimpa bencana gempa di Tasikmalaya. Di mana bangunan rumah, gedung, masjid luruh, dan banyak yang rata dengan tanah. Mereka harus hidup di tenda-tenda.Diantara mereka ada yang meninggal, dan terluka akibat gempa. Gempa yang terjadi di sepanjang pantai selatan Jawa, dan berpusat di Tasikmalaya itu, beberapa waktu lalu, menimbulkan kerusakan yang sangat hebat, dan belum selesai rehabilitasinya.
Kemarin sore, menjelang Maghrib, terjadi gempa yang berkekuatan 7,6 skala richter telah memporak-porandakan kota Padang, dan bahkan kota Pariaman luluh lantak. Mereka hanya bisa meratapi nasib, dan panik, karena tak lama alam menjadi gelap, bersamaan datangnya malam. Jaringan listrik dan saluran telepon putus. Sehingga, kota Padang dan sekitarnya menjadi terolasi dari dunia luar. Bangunan seperti hotel bertingkat, gedung pemerintahan, rumah sakit dan rumah penduduk hancur. Banyak korban yang masih terperangkap di reruntuhan bangunan. Terasa sangat pedih.
Peristiwa alam terjadi sejak tahun 2004, yang dimulai dengan tsunami, yang menghancurkan leburkan Aceh, dan menewaskan ratusan ribu penduduk.Banda Aceh masih belum pulih. Tapi, sampai hari ini tak ada henti-hentinya bencana yang menimpa bangsa Indonesia. Bencana demi bencana tak pernah putus-putus. Terus mendera bangsa ini. Betapa beratnya ujian yang harus dipikul bangsa Indonesia. Seakan belum cukup bencana demi bencana yang ditimpakan itu, dan masih terus terjadi.
Sebaliknya, hari ini, 1 Oktober 2009, berlangsung pelantikan anggota DPR, di Senayan. Tempat anggota wakil rakyat berkantor. Tapi, pristiwa pelantikan anggota DPR ini, seperti menjadi sebuah paradok. Paradok dengan apa yang dialami sebagian rakyat Indonesia. Paradok, karena anggota DPR yang akan dilantik, yang menjadi wakil rakyat ini, sangatlah dimuliakan. Dari segalanya. Mereka mendapatkan dan menikmati segala fasilitas yang dibutuhkan. Bandingkan dengan kondisi rakyat yang terkena musibah baik gempa, atau musibah lainnya, di berbagai wilayah di Indonesia.
Mereka anggota DPR yang akan dilantik itu, sejak 28 September sudah menginap di hotel yang sangat mewah, di JW Marriot dan Borobudur, Jakarta. Tidak sedikit jumlah mereka. Jumlah mereka yang dilantik hari ini 560 anggota DPR. Diantara mereka ada yang membawa sanak famili, seperti isteri dan anak-anak mereka. Padahal, dalam ketentuannya mereka tidak boleh membawa keluarga. Dari sini saja sudah menunjukkan sikap ‘aji mumpung’. Ada juga diantara mereka yang menginap di kamar de lux yang entah berapa semalam biayanya? Mereka akan menikmati malam-malam di ruangan yang sangat sejuk dan nikmat, tidur diatas kasur yang amat empuk, ditambah makanan yang lezat, fasilitas nonton sirkuit telivisi, kolam renang, dan kebugaran, yang disediakan oleh hotel.
Sementara mereka yang tertimpa musibah gempa tidur di tenda-tenda, bahkan ada diantara pengungsi yang tidur di tempat terbuka. Tanpa atap. Mereka juga kekurangan makanan. Banyak diantara mereka yang sakit, hanya bisa merintih, kemudian meninggal. Ketika peristiwa terjadi, memang para pejabat mereka akan berbondong-bondong memberi perhatian. Kemudian, diliput media massa nasional, dan nampak sibuk dan memberikan perhatian kepada para korban. Tapi, beberapa hari, mulai dilupakan mereka yang menjadi korban bencana, dan hidup dengan kesendiriannya. Biasanya selang beberapa hari sudah lupa. Sementara itu, sumbangan-sumbangan sangat lambat disalurkan, karena birokrasi yang berbelit. Seperti yang dituturkan penduduk yang ada di daerah Tasikmalaya.
Tentu, yang lebih paradok lagi, biaya untuk pelantikan anggota DPR baru yang jumlahnya 560 itu mencapai Rp 46,049 milyar. Total anggaran untuk pelantikan anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi, DPRD kota, jumlahnya menurut Rancangan Kerja Anggaran (RKA) KPU mencapai Rp. 75, 61 milyar. Sangat luar biasa. Lalu, berapa dana yang dikeluarkan pemerintah untuk melakukan rehabilitasi terhadap mereka yang terkena bencana, dibandingkan dengan biaya pelantikan anggota legislative itu?
Lalu, selama lima tahun menjadi anggota legislative itu, apa saja yang mereka kerjakan untuk rakyat? Adakah mereka bekerja secara total untuk menjadi penyambung ‘lidah’ rakyat? Seperti tahun-tahun yang sudah-sudah, mereka akan tetap tidak berubah. Mereka melakukan studi banding ke luar negeri, melakukan kunjungan kerja (kunker) bertemu dengan para pejabat di daerah, beberapa hari, dan pulang ke Jakarta, memberi laporan, yang biasanya tidak di tindaklanjuti. Semuanya menjadi artifisial. Bikin undang-undang (legislasi), melakukan kontrol kepada ekskutif, yang tidak pernah efektif, dan lebih banyak terjadinya tawar-menawar.
Apalagi, kalau melihat konstalasi poliltik yang ada, melalui pembagian (sharing) kekuasaan di legislative, bakal tidak ada lagi kontrol terhadap ekskutif. Tentu, yang paling penting menentukan budged (anggaran), yang biasanya tidak memihak kepada kepentingan rakyat, yang dapat dibaca dengan struktur anggaran (RAPBN) yang ada, dari tahun ke tahun terus meningkat jumlah anggaran yang jumlahnya sudah lebih dari Rp 1000 triliun. Tapi, pengalokasiannya, sebagian besar hanya untuk membayar cicilan utang, dan membayar gaji pegawai. Sementara subsidi untuk rakyat kecil, dipangkas habis.
Mereka wakil rakyat, dipilih oleh rakyat, dan berjanji memperjuangkan kepentingan rakyat, tapi sejatinya mereka tidak pernah mewakili kepentingan rakyat. Kalau mereka benar-benar wakil rakyat, pasti mereka sudah meninggalkan hotel yang mewah itu, dan mengembalikan fasilitas yang diberikan kepada mereka, dan semuanya disumbangkan kepada rakyat yang sekarang tertimpa musibah. Bahkan, mereka akan menyumbangkan gaji yang mereka peroleh beberapa bulan untuk rakyat yang terkena musibah sebagai bentuk komitment dan keprihatinan mereka. Tapi kenyataannya tidak. Wallahu ‘alam.