Dengan cara apa menyikapi semua kejadian dan peristiwa yang ada di Indonesia? Apakah semua peristiwa ini bagian dari kehidupan semata? Apakah semua peristiwa ada faktor penyebabnya, karena faktor manusia? Mengapa peristiwa demi peristiwa terus berlangsung, dan semuanya menyisakan kesedihan, kecemasan, kerisauan, dan ketidak pastian masa depan. Adakah ini sebagai pertanda bahwa bangsa ini mendapatkan kutukan dari Allah?
Selama pemerintahan SBY tidak pernah henti peristiwa-peristiwa yang mempunyai dampak luar biasa bagi kehidupan bangsa. Diawali dengan peristiwa yang sangat dahsyat, dan peristiwa itu, tak lama setelah SBY dilantik menjadi Presiden di tahun 2004, yaitu terjadinya tsunami. Peristiwa yang meluluh-lantakan Banda Aceh itu, berlangsung di akhir tahun, Desember 2004, saat orang-orang Kristen merayakan Natal dan menjelang tahun baru masehi. Inilah mula tragedi.
Berlangsungnya kerusuhan di Tarakan yang menyebabkan kekacauan, dan mengungsinya puluhan ribu warga yang berasal dari Sulawesi. Amuk massa dan pembakaran rumah-rumah itu, mengingatkan peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya di Sanggoledo (Kalimatan Barat) dan Sampit (Kalimantan Tengah), yang lebih dahsyat. Pembantaian massal terhadap penduduk asal Madura oleh suku Dayak, yang menelan korban ribuan orang. Peristiwa ‘horor’ itu, hampir nyaris berulang lagi di Tarakan (Kalimantan Timur), yang mempunyai dampak yang sangat menyesakkan dada.
Di Jakarta amuk antara para preman saat berlangsung pengadilan yang menyidangkan kasus Blowfish, menyebabkan jatuhnya korban. Seakan di ibukota itu sudah tidak ada lagi kekuasaan ata pemerintahan, yang dapat mengatur ketertiban. Polisi tidak dapat menghadapi para preman. Ini menunjukkan betapa negara ini, sungguh sangatlah rapuh. Polisi dipuji dengan penanganan kasus teroris, tetapi tidak dapat menghadapi dengan efektif terhadap para preman yang sudah menguasai berbagai sektor kehidupan ini. Sungguh ini menjadi ironi. Apakah Indonesia akan menjadi seperti Mexico? Di mana para negara akhirnya tidak berkutik menghadapi para bos narkoba, yang mereka sangat kuat, dan memiliki kekuatan militer sendiri dengan senjatanya.
Para wakil rakyat pun banyak yang menjadi ‘bandit’, di mana mereka masuk bui, karena korup. Belakangan yang sangat menyentakkan atas kasus pemilihan Deputi Gubernur BI, Miranda Gultom, yang melibatkan anggota DPR dari PDIP, Golkar, PPP dan TNI. Sogok dan suap sudah menjadi ‘aqidah’ bagi mereka. Seperti kurang afdhol, kalau tidak ada sogok dan suap. Sungguh sangatlah menyedihkan, di mana lebih 24 anggota DPR dari PDIP, Golkar, PPP, dan TNI, ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka, karena menerima suap.
Para wakil rakyat pun seperti menelan air ludahnya sendiri. Betapa tidak. Mereka membuat keputusan tentang bail out Bank Century, yang merugikan negara triliun rupiah, dan ketika rapat paripurna mereka menyetujui opsi C, yang menyebutkan sejumlah pejabat yang terlibat dalam kasus Bank Century itu, tetapi sesudah Sri Mulyani mengundurkan diri, dan terbentuknya Sekretaris Gabungan (Setgab), mereka menyepakati kasus Banki Century ditutup. Ini sebuah peristiwa yang sangat memalukan. Di mana mereka mengkhianati keputusannya sendiri.
Peristwa lainnya, tabrakan kereta api, di Penarukan – Pemalang, yang menewaskan puluhan orang. Kereta Argo menabrak kereta Senja Utama yang menuju Semarang. Memang sudah menjadi kebiasaan kepentingan orang-orang yang lebih lemah (miskin) dikalahkan dengan oleh orang yang lebih kaya. Seringkali kereta-kereta ekonomi dikalahkan dengan kereta ekskutif, dan kereta ekonomi ditahan, menunggu kedatangan kereta ekskutif, dan sesudah kereta ekskutif lewat, baru kereta ekonomi diberangkatkan. Tetapi kali ini kereta Senja Utama yang menuju Semarang, yang ditahan di stasiun Penarukan itu dihantan dari belakang oleh kereta Argo. Puluhan orang tewas.
Di Waisor (Papua) diterjang tsunami, pantainya luluh lantak, dan banyak bangunan dan rumah penduduk, yang hancur, dan menyisakan begitu banyak korban manusia. Seakan tidak pernah habis, peristiwa yang menyakiti rakyat kecil itu. Terus bertubi-tubi dengan segala akibatnya. Banjir di mana-mana, dan menghancurkan tanaman rakyat, dan merugikan bagi kehidupan mereka. Entah sampai kapan peristiwa itu akan berakhir? Tak ada yang tahu.
Kondisi yang menyedihkan itu masih diselingi peristiwa politik, seperti pemilihan Kapolri yang baru, di mana hanya dalam hitungan jam, Presiden menetapkan pilihan kepada Timur Pradopo, yang sebelumnya menjadi Kapolda Jakarta. Padahal sebelumnya Kapolri Bambang Hendarso Danuri sudah mengajukan calon yang difinitif, tetapi justru yang dipilih oleh Presiden SBY Timur Pradopo. Sehingga, berbagai spekulasi itu muncul, terutama dikalangan masyarakat, tentang pilihan Presiden itu.
Tentu yang tak kalah penting, dan menjadi berita headline di media massa, Presiden SBY membatalkan kunjungan ke Belanda. Kunjungan Presiden SBY itu atas undangan Ratu Betrix. Tetapi, mengapa Presiden membatalkannya? Karena ada tekanan politik dari kelompok RMS di Belanda, yang mengajukan gugatan ke pengadilan Belanda, yang meminta aparat hukum Belanda menangkap Presiden SBY melakukan pelanggaran HAM.
Begitu hebatnya RMS dapat membatalkan kunjungan Presiden SBY ke Belanda yang notabene di undang oleh Ratu Betrix.
Belum lagi langkah-langkah Yusril, yang mulai berani membuka borok-borok pemerintah. Di mulai dari keabsahan pemilu sampai kasus IT di KPU. Yusril sendiri tak hendak ingin dirinya menjadi korban dengan kasus Sisminbankum. Dia meminta Presiden SBY menjadi saksi dalam kasusnya.
Gugatannya di MK dikabulkan, yang menyebabkan Hendarman Supandji rontok sebagai Jaksa Agung. Yusril juga tak ingin menjadi korban, dia sebagai tokoh partai yang pertama mengusung SBY hingga menjadi presiden, dan sekarang merasa dibuang. Istilah Yusril saat syukuran atas kemenangannya di MK, mengatakan, "Tiji, Tibeh" (istilah Jawa : Mati siji, mati kabeh – mati satu, mati semuanya).
Negara dan bangsa yang tidak pernah sepi dengan peristiwa dan musibah. Sepertinya peristiwa dan musibah itu akan terus menyertai negara dan bangsa ini. Apakah ini dapat menjadi tadzkirah? Atau mereka hanya masa bodoh? Wallahu’alam.