Siapa sejatinya yang sejak dilahirkan bercita-cita ingin miskin, menjadi gelandangan dan pengemis (Gepeng)? Siapa sejatinya yang sejak dilahirkan bercita-cita tinggal di kolong jembatan, dibantaran sungai, dan emper-emper toko, serta dipinggiran rel kereta? Siapa sejatinya yang sejak dilahirkan bercita-cita ingin ‘luntang-lantung’ dan tanpa pekerjaan, serta hidup menggelandang? Siapa yang sejatinya yang sejak dilahirkan ingin hidup dengan selalu dikejar-kejar Tramtib? Tentu, tak ada seorangpun yang memiliki cita-cita seperti itu.
Apakah orang-orang yang miskin itu, mereka tidak mempunyai hak hidup dan tinggal di ibukota Jakarta? Apakah orang-orang miskin itu sesuatu yang ‘najis’, dan harus dijauhi dan dijauhkan dari kehidupan sosial. Apakah akses kehidupan mereka harus ditutup, sekecil apapun nilainya, walaupun hanya setahun sekali, disaat momentum Ramadhan ini. Apakah mereka yang menjadi ‘Gepeng’ ‘itu, tak berhak sedikitpun mendapatkan belas kasihan dari orang-orang yang masih mempunyai hati nurani, dan ingin bersedekah serta berbagi? Dan, apakah mereka yang menjadi ‘Gepeng’ itu, memiliki mental pemalas, dan hanya bisa mengemis, tidak mau berusaha sama sekali dalam hidup mereka?
Sangat menyedihkan. Berdasarkan Nomor 8 Tahun 2007, sekarang siapa saja yang memberikan sedekah kepada kaum ‘Gepeng’ akan dikenakan sanksi hukum dengan denda Rp 20 juta, atau kurungan selama enam bulan bagi yang melanggar.
Sejak Perda itu dikeluarkan telah berimplikasi dengan adanya langkah represif, di mana Senin (31/8), sebanyak 12 orang telah memberi sedekah dipinggir jalan kepada ‘Gepeng’ ditangkap dalam operasi terpadu yang digelar Dinas Sosial DKI Jakarta. Mereka yang ditangkap itu kedapatan bersedekah kepada ‘Gepeng’ dan kaum dhuafa. Dan, selama operasi berlangsung telah menangkap 30 koordinator ‘Gepeng’, dan menjaring 854 ‘Gepeng’, yang terdiri 170 orang pria, 205 wanita, 83 bayi serta 496 anak-anak remaja.
Dibagian lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan larangan mengemis, dan dinyatakan oleh (MUI) Sumenep, Madura, Jawa Timur, dan sikap MUI Sumenep ini mendapatkan dukungan dari MUI Pusat. “Tangan diatas itu lebih mulia daripada tangan diawah. Dalam pengertian, Islam tidak menyenangi orang yang meminta-minta”, kata Ketua MUI, Umar Shihab, di Jakarta, Selasa (25/8). Ditambahkannya, Ketua MUI lainnya, KH.Ma’ruf Amin menegaskan, perilaku mengemis dilarang jika dengan tujuan memanfaatkan momen Ramadhan. Tokoh yang menjadi Watimpres dibidang keagamaan itu, juga menyatakan setuju adanya penertiban, tetapi tiak mengharamkan mengemis. "Harus dilihat konteknya. Sebuah hadist melarang untuk meminta-minta, kecuali jika dalam kedaan sangat terpaksa.Yang bersangkutan membutuhkannya untuk menafkahi keluarga dan dalam kondisi berutang dan tidak memiliki pekerjaan", tambah KH.Ma’ruf. (Republika, 31/8/2009)
Seperti yang diinginkan oleh Ketua MUI, Umar Shihab, tidak ada lagi kelompok-kelompok dalam masyarakat yang ingin menjadi ‘Gepeng’, dan berprofesi sebagai pengemis. Tapi, menjadi ‘Gepeng’ itu, hanyalah karena faktor keadaan, yang bersifat struktural. Dan, mereka tidak dapat keluar dari kungkungan struktur yang terus menghambat kehidupan mereka. Orang-orang miskin tidak memiliki akses ekonomi sama sekali, hanya sebagian kecil mereka yang bekerja di sektor informal, sebagai pemulung, dan jenis-jenis pekerjaan lainnya di sektor informal.
Mereka tidak akan menjadi ‘Gepeng’, seandainya pemerintah memfasilitasi para ‘Gepeng’ dengan mendapatkan pendidikan informal, di berbagai bidang, dan mereka dihubungkan dengan para pemilik modal membuka lapangan kerja. Tapi, orang-orang miskin, yang dijamin dalam konstitusi (UUD) ini tidak mendapatkan perhatian, yang semestinya dari pemerintah. Padahal, mereka sebagai warga negara mempunyai hak-hak dasar yang harus dijamin berdasarkan UUD, dan ini sifatnya mutlak. Tapi, mengapa justru sekarang diperlakukan secara tidak adil atas nasib mereka yang miskin itu?
Di sisi lainnya, pemerintah dengan sangat mudah menggelontorkan uang yang jumlahnya sangat fantastis Rp 7 triliun kepada Bank Century yang akhirnya juga ‘collapse’ (bangkrut). Peristiwa ini hanyalah mengulangi peristiwa tahun 1997-l998, ketika Indonesia menghadapi krisis di sektor finansial (keuangan), dan pemerintah menggelontorkan dana ‘likuiditas’ kepada sejumlah bank, yang nilai totalnya berjumlah Rp 650 triliun. Dan, sampai sekarang ini, pemerintah melalui APBN tetap membayar cicilan bunga utang, termasuk bunga dari dana yang sudah digelontorkan kepada bank-bank, yang jumlahnya mencapai 11 persen dari total APBN, yaitu mencapai Rp 109 triliun.
Mereka yang tersangkut dengan kasus BLBI termasuk dengan Bank Century itu, semuanya aman, dan tidak ada yang ditindak secara hukum. Tapi, orang-orang yang ingin memberi sedekah dan para ‘Gepeng’ yang menerima sedekah, yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 5.000 – Rp 10.000 rupiah sudah harus dihukum dan didenda. Di mana keadilan itu? Wallahu ‘alam.