Membicarakan Amin Rais, seperti membicarakan sebuah legenda. Tidak pernah habis, dan selalu menarik. Mungkin terkadang menjadi kontroversi, dan sulit memahami langkah-langkahnya. Terkadang pula serasa menjadi naif. Tokoh yang menjadi panutan, karena pikiran-pikirannya yang tajam, dan berusaha membawa kepada sisi-sisi kebenaran, yang dapat menjadi muara, diantara mereka yang menginginkan komitmen kepada cita-cita dan kebenaran.
Amin Rais menjelang era dekade 90 an, menjadi sosok yang berani, dan mengambil resiko, berhadapan dengan sebuah kekuasaan despostis, yang dibelakangnya adalah militer, birokrasi, partai politik, dan pengusaha, yang menjadi kroni rejim Orde Baru. Tetapi, semuanya itu tidak menghalangi pribadi Amin Rais memilih jalan kebenaran, dan keinginannya mengakhiri sebuah kekuasaan yang bathil, dan sudah berlangsung selama tiga dekade.
Langkah-langkah Amin Rais, langsung dan ‘to the point’, tanpa basa-basi, karena itu, sikapnya dan pernyataannya memberikan inspirasi berbagai gerakan kalangan muda, terutama mahasiswa, yang berani dan berhadap-dapan langsung dengan rejim. Sejak menjelang akhir dekade 90 an itu, kritik-kritik Amin Rais terhadap Presiden Soeharto, bagaikan bara api, yang terus membakar motivasi gerakan-gerakan yang menginginkan perubahan.
Kemudian, gerakan-gerakan itu, bermuara dan mencapai titik kulminasinya, di bulan Mei 98, dan dengan ditandainya berakhirnya kekuasaan yang sudah berlangsung selama kurun yang panjang, yaitu dengan turunnya Presiden Soeharto dari puncak kekuasaannya.
Inilah sebuah episode baru, yang dikenal dengan era ‘reformasi’. Reformasi dari kata ‘reform’ pembaharuan atau perubahan, yang mengakhiri fase kehidupan lama, dan mengarah kepada kehidupan baru, yang lebih baik.
Reformasi menjadi sesuatu yang sangat fenomenal, karena bukan hanya semata-mata perubahan politik, tetapi iklim kehidupan, sangat terasa dengan adanya kultur baru, yang tersirat dalam kehidupan masyarakat. Terutama adanya semangat kebebasan dan kebebasan mengekspresikan pendapat dan pandangan yang sangat berbeda di zaman sebelumnya, dan tidak pernah ada.
Semua itu, Amin Rais ikut memberikan andil, bagi terwujudnya perubahan dalam kehidupan rakyat Indonesia. Bila dulu perut rakyat kenyang, dan kebutuhan dasar tercukupi, tetapi mereka tidak dapat menikmati kehidupan, karena hak-hak dasar hidup rakyat, dikekang dan dibunuh oleh rejim yang berkuasa. Karena itu, wajar bila Indonesia sekarang menjadi negara yang kalah dibandingkan dengan negara-negara lainnya, dan tidak kompetitip dibandingkan dengan tetangganya, karena Indonesia mewarisi sejarah masa lalu, yang kelam, dibawah penindasan oleh rejim Soeharto selama tiga dekade.
Tokoh reformasi yang mendirikan Partai Amanah Nasional (PAN), dan kemudian menjadi Ketua MPR, berhasil mengubah secara substansial konstitusi Indonesia UUD’45, yang lebih demokratis, menghargai hak-hak asasi manusia, membatasi kekuasaan, menjadikan Indonesia lebih egaliter. Empat kali amandemen UUD’45, yang sekarang menjadi landasan Konstutisi Indonesia yang baru, dan sangat terasa bagi kehidupan bangsa ini. Terutama hak-hak dasar rakyat di daerah dengan adanya otomi, dan sejumlah daerah diberikan otonomi khusus. Ini semuanya merupakan perubahan yang sangat substansial.
Meskipun, perubahan-perubahan konstitusi ini, tidak lepas dari adanya kritik, yang menganggap dengan adanya perubahan konstitusi ini membahayakan integritas nasional, dan sebagian kalangan mengingikan kembali ke UUD’45, yang lama.
Sayangnya, jalan hidup Amin Rais, tidak selalu berada di ujung kebenaran, dan mulai konfuse dengan kekuasaan, serta bersikap pragmatis. Seperti, pertemuan Amin Rais dengan Presiden SBY, di Halim Perdana Kusuma, beberapa waktu lalul, dan selanjutnya lebih dalam lagi, termasuk memberikan dukungan kepada Presiden SBY ketika pemilu presiden yang lalu. Inilah sebuah dilema. Padahal, sebelumnya Amin Rais, masih menjadi ‘hati nurani’ bangsa, melalui kritikan-kritikannya terhadap kekuasaan.
Terakhir, posisi Amin Rais, yang menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) Partai Amanah Nasional, serta berhasil menyandingkan antara tokoh Dradjad Wibowo yang lebih independen dengan Hatta Rajasa dalam tapuk kepemimpin PAN, hanyalah menunjukkan dia masih mempunyai pengaruh dan masih menjadi ‘King Maker’ di dalam tubuh Partai PAN.
Klimaknsya ketika berlangsung pemilihan opsi atas kasus Bank Century, nampaknya Amin Rais, pengaruhnya menjadi tumpul, dan lebih menunjukkan PAN berada dibawah pengaruh Hatta Rajasa. Hal ini tersirat secara ekplisit atas pilihan Partai PAN, yang tetap memberikan dukungan kebijakan bail out terhadap Bank Century. Lantas dukungan Amin yang menginginkan agar pihak-pihak yang terlibat dalam kasus bail out Bank Century itu diadili, terpojok oleh sikap partainya.
Sekarang mencuat keinginan Amin Rais kembali memimpin Muhammadiyah. Amin Rais, yang masa awal reformasi mendirikan partai politik, gagal menjadi partai politik yang memiliki leverage yang kuat dengan kekuasaan, dan sekarang menjadi partai yang lebih pragamatis dan berkolaborasi dengan kekuasaan. Amin Rais juga gagal ketika ikut pemilihan presiden di tahun 2004, bergandengan dengan tokoh Siswono Yudhohusodo.
Dengan gambaran itu, sebenarnya Amin Rais, harus melakukan pilihan, sesuai dengan nama dirinya sebagai : ‘Amin – Rais’, atau pemiminpin, tokoh, dan sosok yang jujur dengan penuh integritas pribadi, selalu menyuarakan kebenaran universal (Islam), dan tidak lagi larut dalam kepentingan politik jangak pendek, yang beraroma kekuasaan. Sehingga, Amin Rais akan tetap menjadi legenda sebagai pejuang kebenaran, yang selalu menyuarakan kebenaran kepada siapapun, tidak pupus oleh kepentingan yang hanya bersifat sementara.
Masuknya Amin Rais kembali di dalam Muhammadiyah, tidak merupakan sebuah sikap ‘escape’, tetapi dengan niat dan tujuan ingin menjadi lokomotif, bagi siapa yang masih menginginkan ditegakkannya kebenaran, dan perlawanan terhadap siapa saja, yag mengusung kebathilan, dan pengkhiantan terhadap kehidupan, yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang universal (Islam). Termasuk dalam kontek berbangsa dan bernegara.
Jangan sampai pribadi Amin Rais, yang awalnya melegenda, hilang bersamaan dengan semakin tegaknya kehidupan pragmatis dan oportunisme, yang sekarang sudah melanda sebagian mereka yang terlibat dalam gerakan politik di Indonesia. Pragmatisme dan oportunisme jangan sampai menjadi ideologi (aqidah) pergerakan politik.
Dan, ini harus ada yang memberikan contoh. Entah siapa yang berani menjadi pelopor dalam kazanah kehidupan politik di masa depan. Umat menunggu. Seperti menunggu seorang tokoh Amin Rais, ketika mengkhiri rejim Soeharto di akhir dekade 90 an itu. Wallahu ‘alam.