Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz Ahmad Yani yang saya hormati. Di daerah saya, ulama masih tergolong langka. Sehingga, masyarakat setempat sulit mencari guru untuk menambah ilmu keislaman mereka. Terutama, dalam memahami isi Alquran.
Saya kebetulan diminta untuk mengisi sebuah majelis taklim. Tidak tanggung-tanggung, mereka meminta saya untuk menyampaikan tafsir Alquran. Saya tentu saja menerima. Tapi, ada kendala yang menurut saya sangat mendasar. Saya belum bisa berbahasa arab.
Pertanyaan saya, bolehkah saya mengisi tafsir Alquran sementara saya tidak menguasai bahasa arab? Bagaimana kiat menyampaikan isi Alquran dengan tanpa menyalahi aturan yang ada?
Atas perhatian dan jawabannya, saya ucapkan jazakumullah khairan.
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Seorang ustadz yang akan mengisi pengajian di masjid taklim amat dituntut untuk memahami ajaran Islam dengan baik agar ia tidak salah dalam menjelaskan nilai-nilai Islam itu. Penguasaan bahasa Arab merupakan salah satu pendukung untuk memahami ajaran Islam dari sumber-sumber aslinya. Namun bila tidak menguasai bahasa Arab hal itu tidak oleh menjadi kendala untuk menyampaikan ayat-ayat Allah Swt karena kita memang bukan menafsirkan Al-Qur’an, tapi menyampaikan hasil penafsiran para ulama, karenanya menjadi penting bagi para ustadz membaca terjemah Al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir yang kini sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tafsir Ibnu Katsir, Jalalain, Fii Dzilalil Qur’an, Al Maraghi dan sebagainya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Bila tidak punya dana untuk membeli, mintakan bantuan jamaah majelis taklim untuk mengumpulkan dana agar bisa membeli kitab-kitab tersebut sebagai perpustakaan majelis taklim.
Agar tidak salah dalam menjelaskan Al-Qur’an, setiap ustadz harus memahami Al-Qur’an dengan beberapa pendekatan. Pertama, pahami Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang antara satu dengan lainnya saling membenarkan dan menafsirkan, karenanya tidak akan kita temukan kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya, Allah berfirman yang artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an?. Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya (QS 4:82).
Ada banyak contoh tentang memahami ayat dengan ayat Al-Qur’an juga, misalnya Ibnu Kasir menghubungan ayat 7 dari surat al fatihah (Jalan orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka…) dengan surat An Nisa:69 yang artinya: Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”.
Kedua, Memahami Al-Qur’an Dengan Hadits, hal ini karena Rasulullah Saw memang bertugas untuk menjelaskan Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya. Diantara contoh tafsir dari hadits adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud yang artinya: “”Ketika turun ayat: orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan keimanan dengan kezaliman (QS 6:82), hal ini sangat meresahkan para sahabat. Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang berbuat zalim terhadap dirinya?”. Beliau menjawab: “Kezaliman disini bukan seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan hamba yang shaleh (Luqman): Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar (QS 31:13). Kezaliman disini adalah syirik “ (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Ketiga, Memahami Al-Qur’an Dengan Asbabun Nuzul. Tidak kurang dari sepertiga Al-Qur’an turun dengan asbabun nuzul (sebab turunnya Al-Qur’an). Ini berarti, untuk memahami maksud, tujuan dan kandungan Al-Qur’an harus kita lakukan melalui asbabun nuzul. Dengan memahami asbabun nuzul kita menjadi tahu latar belakang diturunkannya suatu ayat atau surat dan dengan itu pula kita menjadi makna dan kandungan suatu ayat dan surat serta terhindar dari pemahaman yang keliru dari kandungan yang sesungguhnya dari suatu ayat atau surat.
Keempat, Memahami Al-Qur’an Dengan Qaul Sahabat. Para sahabat merupakan generasi yang merasakan suasana turunnya Al-Qur’an, apalagi mereka memiliki kesiapan rohani yang kuat untuk bisa menerima pesan-pesan yang terkandung di dalam Al-Qur’an, bahkan bisa jadi turunnya Al-Qur’an adalah karena sikap, ucapan dan tindakan mereka. Karena itu, wajar saja apabila untuk memahami Al-Qur’an kita juga harus merujuk kepada ucapan, pemahaman atau penafsiran para sahabat terhadap Al-Qur’an. Disamping sahabat yang menjadi khalifah, sahabat lain yang menafsirkan Al-Qur’an adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Aisyah, dll.
Kelima, Memahami Al-Qur’an Dengan Makna Katanya. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang berasal dari bahasa Arab. Oleh karena itu untuk memahami ayat Al-Qur’an kita perlu menggunakan pendekatan dari makna kosa kata yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Hal ini karena meskipun maksud Al-Qur’an tidak persis sama dengan arti harfiyah pada suatu istilah, tapi paling tidak berangkat dari makna kosa kata kita akan memahami kemana arah atau makna suatu ayat. Sebagai contoh kata amar ma’ruf dan nahi munkar. Ma’ruf diterjemahkan dengan baik, padahal arti harfiyahnya adalah dikenal, itu berarti setiap orang sudah tahu yang namanya kebaikan, namun belum tentu melaksanakannya, karenanya harus diperintah. Keburukan disebut munkar, yakni sesuatu yang diingkari, namun hawa nafsu membuat manusia melakukannya, karenanya harus dicegah yakni nahi munkar.
Keenam, Memahami Al-Qur’an Dengan Tafsir Para Ulama. Kapasitas keilmuan kita yang belum memadai untuk memahami Al-Qur’an secara langsung tidak membuat kita harus berkecil hati untuk bisa memahami Al-Qur’an dengan baik, kita mungkin saja bisa memahami Al-Qur’an dengan baik dengan membaca dan mengkaji penafsiran dari para ulama ahli tafsir yang diakui oleh para ulama dan umat Islam pada umumnya. Kita amat bersyukur karena para ulama itu sangat membantu kita dalam memahami Al-Qur’an dengan kitab yang mereka tulis, baik ulama dari dalam negeri kita sendiri seperti Prof. Dr. Hamka dengan Tafsir Al Azhar, Prof. Dr. Quraish Shihab dengan Tafsir Al Misbah, Prof. Dr. Hasbi Ash shiddiki dengan tafsir An Nur, dll. Sedangkan ulama lain antara lain: Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Kasir Abu Ja’far At Tabari dengan tafsir At Tabari, Ismail bin Amr Al Qurasyi bin Kasir dengan tafsir Ibnu Kasir hingga Sayyid Quthb dengan tafsir Fi Zilalil Qur’an, dll.