Mengemban dakwah meniscayakan pengorbanan waktu, harta, tenaga, pikiran, bahkan nyawa. Tentunya ini bukan perkara yang mudah, sebab setiap orang pasti mempunyai naluri untuk mempertahankan apa-apa yang dia miliki, tak terkecuali bagi seorang pengemban dakwah.
Apalagi di tengah arus sistem kapitalis sekuler yang rusak ini, maka mengorbankan segala hal, termasuk harta, tenaga, jiwa, dianggap suatu yang menentang arus. Sehingga benar-benar orang yang terpilihlah yang akan mampu melakukannya.
يَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيْهِمْ عَلَى دِيْنِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ
“Akan tiba suatu masa pada manusia, siapa di antara mereka yang bersikap sabar demi agamanya, ia ibarat menggenggam bara api.” (HR at-Tirmidzi)
Ath-Thibi rahimahumallah (Marqatil Mafatih 15/307) menjelaskan, “Makna hadits di atas, sebagaimana halnya seseorang yang menggenggam bara api tidak mampu bersabar karena tangannya akan terbakar, demikianlah pula seorang hamba yang ingin menegakkan agama sepenuhnya. Ia akan merasa kesulitan untuk tetap tegar di atas agamanya. Sebab, maksiat lebih dominan dan mayoritas manusia adalah para pelaku maksiat. Demikian pula kefasikan telah menyebar, ditambah lagi dengan lemahnya keimanan.”
Ketika pengemban dakwah mulai tidak bersabar atas berbagai tantangan yang menghadang dan ia hanya memilih mengorbankan ‘sebagian saja’ yang ia miliki. Sebagai contoh, ketika hanya siap berkorban harta –karena berkecukupan dalam hal itu- tetapi minta “dispensasi” untuk aktivitas yang lain, seperti kontak rutin, membina dan dibina, rakor dakwah, dll.
Lalu, ketika ia mulai menempatkan prioritas dakwah di bawah aktivitas lainnya, misalnya dakwah tidak jauh lebih penting ketimbang bekerja, studi, bisnis, atau mengurus keluarga. Maka ketika itu pula lah muncul gejala tasaquth dan insilakh (berguguran dan melepaskan diri dari dakwah). Gejala seperti ini benar-benar harus diwaspadai oleh para pengemban dakwah. Apalagi iman seseorang itu yaziid wa yanqush (bisa bertambah dan berkurang).
Oleh karena itu harus ada upaya untuk tetap memelihara semangat dan energi dakwah kita hingga kita tak hanya berpijar tapi juga mampu menyinari kegelapan dan membangkitkan energi dakwah bagi orang lain. Ada beberapa hal yang harus kita lakukan untuk mempertahankan energi dakwah:
Pertama: Luruskan niat. Berdakwah ikhlas karena ingin mendapatkan ridha Allah. Dakwah adalah fardhu -bukan sunnah- bagi kaum muslimin. Bahkan dakwah adalah kewajiban yang -tidak bisa tidak- harus dilakukan; ia tidak bisa digantikan dengan suatu kafarah (tebusan) apapun jika ditinggalkan.
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah?” (QS Fushshilat: 33)
Ini adalah pertanyaan retoris dari Allah SWT yang mengandung pengertian: tidak ada ucapan yang lebih baik daripada ucapan seseorang yang mendakwahkan agama-Nya. Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya:
“Siapa saja yang menyeru pada petunjuk (al-huda), baginya pahala yang setimpal dengan pahala orang yang ditunjuki itu.” (HR Muslim).
Begitu mulianya aktivitas mengemban dakwah. Maka sangat eman jika dilakukan tanpa keikhlasan. Kita hanya memperjuangkan. Allah lah yang mendatangkan pertolongan. Meskipun seakan-akan janji Allah SWT akan kemenangan Islam tak kunjung datang. Ingatlah kisah Siti Hajar yang saat itu sangat mebutuhkan air untuk dirinya dan puteranya. Di tengah padang pasir beliau berlari kecil berkali-kali di bukit shafa ke marwa untuk mencari air dan pertolongan. Namun, Allah SWT baru memberi pertolongan ketika Siti Hajar benar-benar kelelahan.
Kedua: Halaqah. Pengkajian rutin dan intensif tsaqafah Islam merupakan bagian terpenting pembentukan kepribadian Islam seorang pengemban dakwah. Di sinilah dibangun pola pikir islami dengan mengkaji berbagai tsaqafah Islam yang sangat dibutuhkan untuk dakwah, juga akan ditata pola sikap setiap pengemban dakwah agar selaras dengan pemikiran Islam yang dipahami. Akan tetapi, halaqah tak boleh hanya sekadar transfer tsaqafah, melainkan juga transfer energi dakwah, hingga mampu terus mengobarkan semangat dalam berjuang.
Ketiga: Berjamaah. Sebuah tujuan besar untuk membangkitkan umat takkan bisa diemban sendiri. Allah berfirman dalam QS Ali-Imran ayat 104:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Subhanallah, Allah Mahatahu tentang kemampuan hamba-Nya. Karena itu Allah SWT memerintahkan kepada kita tuk berjamaah dalam mengemban dakwah. Berada dalam sebuah barisan dakwah akan membantu terus terpeliharanya energi dakwah. Berjamaah memungkinkan kita untuk saling mengingatkan ketika mulai lengah dan lupa; bisa saling mengokohkan untuk istiqamah di jalan dakwah; bisa saling meluruskan jalan yang bengkok hingga kita akan sampai di tujuan dengan selamat. Demikianlah sebagaimana Rasulullah saw. juga membangun sebuah kutlah (kelompok) bagi para sahabat di Makkah.
Keempat: Terus berdakwahlah. Dengan terus berdakwah tentu akan selalu memelihara energi dakwah. Berdakwahlah sesulit apapun itu. Kobarkanlah semangat dakwah dalam diri kita. Ingatlah bahwa dakwah adalah sebuah kewajiban dari Allah. Ingatlah betapa besar kemuliaan bagi seorang pengemban dakwah. Jadilah pemberi semangat, jangan hanya menunggu uluran semangat. Lihatlah realitas umat yang membutuhkan uluran dakwah. Bangkitlah dan bergeraklah sekecil apapun yang Anda lakukan, karena diam akan mematikan energi dakwah. Diam adalah sebuah kerugian besar.
وَالْعَصْرِ. إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS al-‘Asr:1-3).
Jika kita diam, berarti membiarkan diri kita terhanyut oleh derasnya arus sekularisasi dan kapitalisasi.
Kelima: Jauhi maksiat. Kemaksiatan akan mereduksi energi dakwah dalam diri kita. Sungguh setiap kemaksiatan akan semakin menjauhkan kita dari pertolongan Allah. Kemaksiatan akan menjadikan seruan lisan kita hanyalah seruan kosong tak bermakna. Allah SWT amat membenci hamba-Nya yang mengatakan apa-apa yang tidak dia perbuat.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS ash-Shaff: 2-3).
Keenam: Taqarrub ilalLah. Allah SWT adalah satu-satunya tempat memohon dan bergantung. Dialah yang Mahakuat, Mahaperkasa, Mahahebat.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”(QS al-Fatihah: 5).
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS al-Baqarah: 153)
Dengan kedekatan kepada Allah melalui berbagai ibadah mahdhah maupun ghayru mahdhah, insyaAllah akan terus menyalakan energi dakwah dalam diri kita.
“Hamba-Ku yang terus-menerus mendekatkan dirinya kpd-Ku dengan melaksanakan ibadah sunnah, maka pasti Aku akan mencintainya. Maka (jika Aku mencintainya) Aku akan menjadi hatinya yang ia berfikir dengannya; Aku akan menjadi lisannya yang ia berbicara dengannya; dan Aku akan menjadi matanya yang ia melihat dengannya. Jika ia berdoa kpd-Ku, maka pasti akan Aku kabulkan. Jika ia meminta kepada-Ku, pasti Aku akan memberinya. Jika ia meminta pertolongan kepada-Ku. Pasti Aku akan menolongnya. Ibadah hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah memberi nasihat.” (HR ath-Thabrani)
Semoga setiap diri kita benar-benar dijadikan oleh Allah sebagai seorang pengemban dakwah yang ikhlas. Yang senantiasa mempersembahkan amal dakwah terbaik untuk-Nya. bukan amal dakwah yang biasa-biasa saja, atau minimalis atau bahkan terkesan asal-asalan. Dan semoga kita diberi kesabaran dalam memperjuangkan tegaknya syariat Islam dalam naungan khilafah. Karena kesabaran adalah keniscayaan. Kesulitan yang kita hadapi jangan malah menyurutkan api perjuangan, melainkan justeru harus menjadi pengokohnya dengan menjadikan sabar sebagai jalan datangnya pertolongan Allah SWT. Kita perlu mengingat pesan Syaikh Abdul Qadim Zallum:
“Seseorang tidak akan sanggup mengorbankan kepentingannya demi menerapkan pemikiran dan mengemban dakwah serta mengalami kondisi yang jungkir balik, kecuali orang pilihan. Orang yang tidak memenuhi syarat dan karakter yang dibutuhkan, akan berguguran dan pasti berguguran bagaimanapun mereka menyembunyikan kelemahan mereka.”
Semoga kita menjadi bagian dari orang yang terpilih tersebut, yakni orang yang istiqomah di jalan dakwah, bukan orang yang berguguran karena tak mampu menghadapi berbagai rintangan. Aamiin yaa Rabbal ‘alamiin…
Wallahu a’lam bish-shawaab.
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana IAIN Tulungagung