Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz Ahmad Yani yang saya hormati. Saya tertarik dengan model dakwah seperti yang dilakukan Imam Syahid Hasan Al-Banna. Beliau mampu berinteraksi dengan objek dakwah secara luwes di luar forum resmi. Di antaranya, di kedai atau warung, terhadap tukang kayu, nelayan, petani, dan sebagainya. Dari interaksi sederhana itu, justru beliau mampu membangun basis dakwah yang begitu kokoh di lingkungannya.
Pertanyaan saya, bagaimana cara membangun kemampuan berinteraksi seperti itu? Cocokkah model dakwah seperti itu di Indonesia mengingat budaya Indonesia yang paternalistik?
Atas jawabannya, saya ucapkan jazakumullah khairan.
Ahmad Hakim, Pekalongan Jawa Tengah.
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Selama ini aktivitas dakwah memang berlangsung secara formal mulai dari khutbah Jum’at, tabligh akbar sampai majelis taklim dan suasananya sering berlangsung satu arah antar seorang muballigh dengan mad’unya. Pola seperti ini tetap diperlukan, karenanya terus saja berlangsung meskipun harus diperbaiki agar berlangsung semakin baik.
Namun, sebagaimana kita ketahui, dakwah merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap muslim dan tidak setiap muslim mampu atau pandai berkhutbah dan berceramah, karenanya dakwah tidak hanya berupa khutbah dan ceramah.
Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, meskipun beliau pandai berkhutbah dan berceramah, dalam dakwahnya, tetap saja beliau lakukan dengan suasana yang tidak formal yang dengan kata lain serius tapi santai, apalagi dalam kehidupan kita sekarang kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua umat Islam senang, suka atau antusias untuk mendengarkan ceramah atau menghadiri majelis taklim. Banyak diantara mereka yang lebih suka ngobrol berlama-lama di berbagai tempat. Ini berarti, budaya termasuk budaya paternalistik bukanlah kendala untuk bisa berdakwah dengan banyak cara.
Karena itu, setiap muslim semakin besar peluangnya untuk bisa berdakwah meskipun ia tidak bisa berkhutbah atau berceramah. Untuk itu, seorang da’i harus memiliki kemampuan mengemas dakwahnya melalui suasana yang non formal seperti ngobrol di warung kopi, di pasar, di tempat olah raga atau dimana saja dengan berbagai lapisan masyarakat.
Dalam dakwah, Rasulullah Saw juga melakukan hal ini, beliau biasa melakukannya terhadap anak-anak kecil, remaja, orang dewasa sampai orang tua, lelaki dan perempuan. Bahkan beliau juga memberikan hak bertanya kepada mereka dan terjadilah dialog-dialog yag menarik antara Rasulullah dengan kaum muslimin. Karenanya bila kita membaca hadits-hadits, akan kita dapati hadits-hadits yang berisi dialog antara Rasulullah dengan para sahabatnya, bahkan ada pula yang bernuansa bercanda namun tidak keluar dari nilai-nilai kebenaran seperti pertanyaan seorang wanita tua yang menanyakan “apakah aku masuk surga karena sudah tua”. Nabi menjawab bahwa “di surga tidak ada orang tua”. Ini membuat si nenek itu menangis dan Nabi menjelaskan bahwa “di surga memang tidak ada orang tua, bila nenek masuk surga maka akan berubah menjadi gadis jelita”. Ungkapan seperti ini membuat wanita tua itu menjadi tertawa.
Manakala kita hendak berdakwah dalam suasana yang tidak formal, hal-hal yang harus diperhatikan antara lain:
1. Menjalin hubungan yang akrab secara personal kepada sang mad’u (objek dakwah) sebelum menyampaikan pesan-pesan dakwah. Mulailah pembicaraan dari hal-hal yang sederhana dan pribadi seperti latar belakang keluarga, pekerjaan, kegiatan dan sebagainya. Untuk membangun keakraban diperlukan pertemuan yang lebih sering dan tidak ada kesenjangan seperti kaya dan miskin, berpendidikan tinggi atau rendah dan sebagainya. Bahkan pakaian yang dikenakanpun bukan pakaian yang bersifat resmi.
2. Kuasai berbagai tema pembicaraan, karena suasana ngobrol biasanya membicarakan apa saja, tidak ada fokus tentang satu tema tertentu, bahkan hal-hal yang berkembang, baik masalah politik, olah raga, kriminal, bencana di suatu daerah dan sebagainya. Seorang da’I tentu saja harus mampu menggiring semua tema pembicaraan kepada nilai-nilai Islam.
3. Miliki kecepatan berpikir agar kita bisa cepat merespon pembicaraan mad’u. Keceptan berpikir bisa dilatih dengan banyak berdiskusi bersama teman-teman atau biasa berbicara dengan orang lain.
4. Gunakan bahasa sehari-hari, bahasa pasaran atau bahasa yang bersifat kedaerahan bukan bahasa formal.
5. Miliki kemampuan berlogika sehingga dalam berdakwah kita bisa memberikan perbandingan tentang berbagai persoalan yang dibicarakan.
6. Kembangkan rasa humor sebagai bumbu pembicaraan, karena disamping nilai yang ingin ditanamkan, kita juga perlu menghibur mereka dengan humor-humor segar yang bernilai kebaikan.
Demikian beberapa tips yang dapat kita lakukan untuk membangun kemampuan kita melaksanakan tugas dakwah dengan cara berinteraksi dengan orang lain secara aktif.
Drs. H. Ahmad Yani