Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz Ahmad Yani yang saya hormati. Saya sering belajar menjadi seorang dai dari para dai yang tampil di forum apa pun. Bisa dalam forum besar seperti tabligh akbar atau forum kecil seperti majelis taklim. Dari para dai itu, saya belajar tentang cara mengolah kata, gaya, dan tentu saja keteladanan.
Namun, kadang saya kesulitan ketika ingin meluruskan atau mengkritik kesalahan yang dilakukan para dai. Misalnya, dalam perilaku. Saya khawatir, sang dai akan tersinggung. Kalau tidak diluruskan, saya akan lebih khawatir kalau saya akan ditanya Allah karena membiarkan kesalahan terjadi di depan mata saya. Atas jawabannya, saya ucapkan jazakallah khairan.
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Satu hal yang harus disadari bahwa para da’i bukanlah manusia suci tanpa salah dan kekurangan meskipun mereka juga dituntut untuk menjaga kesucian pribadi. Karena itu, sebagai da’i Nabi dan para sahabat juga bisa keliru dan mendapat teguran.
Ketika Nabi Muhammad Saw sedang asyik berdakwah kepada para pembesar Arab, tiba-tiba datang seorang sahabat yang matanya buta, yakni Abdullah bin Ummi Maktum dan meminta kepada Rasul Saw nasihat-nasihat dari beliau. Saat itu, Rasulullah menjadi tidak suka kepadanya, beliau menunjukkan wajah yang masam sebagai tanda kesal. Bisa jadi Rasul bukan tidak mau menasihati Abdullah, namun beliau inikan sedang berbicara kepada “orang penting” yang seandainya orang ini masuk Islam dan taat dalam Islam tentu akan sangat besar pengaruhnya, sedangkan nasihat untuk Abdullah masih ada kesempatan lain. Sikap Nabi yang nampaknya bagus bagi kepentingan dakwah ternyata tidak dibenarkan oleh Allah Swt dan beliupun mendapat teguran keras dengan turunnya surat Abasa. Surat ini sekaligus mengingatkan kepada Nabi, termasuk para da’i zaman sekarang untuk tidak memilih-milih tempat atau objek dakwah (mad’u), apalagi bila memilih-milih itu lebih karena pertimbangan honor (amplop).
Untuk itu, para da’I harus terbuka kepada kritik, teguran, nasihat, dan masukan dari mad’unya, bahkan sekeras atau setidakapapun bahasa teguran yang digunakan, seorang da’I tetap harus mendengar dengan baik dan ia harus bisa menangkap esensinya, bukan mempersoalkan bagaimana cara orang itu mengutarakan kritik apalagi sekedar bahasa yang bisa juga kurang sopan, meskipun perkataannya benar.
Beberapa waktu lalu, seorang jamaah mushalla meminta masukan kepada saya tentang apa yang harus dilakukannya kepada muballigh yang terlampaui vulgar dalam membicarakan masalah yang bernuansa porno ketika ia menyampaikan ceramah maulid, apalagi sama sekali tidak membahas hal yang berkaitan dengan maulid. Maka saya katakan buat saja surat resmi dari panitia atau pengurus mushalla tentang keberatan itu sekaligus mengingatkan agar hal-hal seperti itui jangan dibicarakan lagi dalam ceramah dakwah apalagi menyamnpaikanya di masjid yang jamaahnya amat beragam.
Oleh karena itu, manakala kekeliruan dilakukan oleh orang lain, apalagi bila hal itu dilakukan oleh seorang da’I, tentu saja harus segera diingatkan, teknisnya terserah antum, mungkin melalui surat, telpon, SMS, berbicara langsung secara baik-baik atau bisa juga melalui orang yang dihormati atau diseganinya. Soal dia marah atau tidak itu soal lain, yang penting kita sudah mengingatkannya sebagai wujud dari kasih sayang kita kepada orang yang kita hormati. Para da’I adalah teladan bagi orang lain, bila ia berada dalam kekeliruan, kita khawatir orang justeru akan meneladani kekeliruannya. Dan perlu diingat bahwa seorang da’i yang baik tentu amat senang mendapatkan masukan atau kritik, karena hal itu membut ia menjadi sadar apa-apa yang kurang disadarinya. Itu sebabnya, Abu Bakar Ash Shiddik ketika menyampaikan pidato pertamanya Ia katakan: Wahai sekalian manusia, kalian telah sepakat memilihku sebagai khalifah untuk memimpinmu. Aku ini bukanlah yang terbaik diantara kamu, maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku, tetapi bila aku bertindak salah, betulkanlah. Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat. Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah. Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak. ada kewajibanmu untuk taat kepadaku.
Ketika mendengar pidato dengan kalimat seperti itu, Umar bin Khattab mengeluarkan pedang dari sarung yang ada di pinggannya lalu diacungkan ke arah Abu Bakar dan dia mengatakan: “Aku akan tegur engkau wahai khalifah dengan ini”.
Abu Bakar menerimanya dengan senang hati, Ia tidak tersinggung sama sekali dengan apa yang ditunjukkan oleh Umar.
Demikian, keberanian mengkritik dalam rangka saling mengingatkan dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang merupakan hal yang harus kita tumbuhkan agar kehidupan berjamaah menjadi sehat.