Terhitung mulai tanggal 11 Oktober 2009 yang baru lalu, suasana di lantai dasar dan lantai 3 Fukuoka Masjid sangat ramai oleh suara anak-anak yang mengikuti program sekolah Islam akhir pekan. Dan nampaknya situasi tersebut akan terus berulang di minggu-minggu berikutnya. Anak-anak tersebut terdaftar sebagai siswa-siswi sekolah Islam akhir pekan di Masjid Fukuoka.
Misi utama dari sekolah Islam akhir pekan tersebut adalah membantu menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap pertumbuhan nilai-nilai Islam dan pelaksanaannya disegala aspek kehidupan. Adapun mata pelajaran dalam program sekolah tersebut meliputi bahasa Arab dasar, belajar membaca & menghafal Al-Qur’an, tauhid dan akidah, fikih yang berkaitan dengan praktek ibadah sehari-hari, sejarah Islam dan akhlak.
Kelas dimulai dari jam 10 pagi sampai dengan 13.00 siang termasuk break selama 10 menit. Selama kurun waktu tersebut, siswa akan mempelajari 3 mata pelajaran yang berbeda. Pelajaran akan diakhiri dengan kegiatan sholat zduhur secara berjamaah dimulai dari jam 12.45. Jumlah murid yang terdaftar sampai minggu lalu ada 60 orang lebih. Jumlah tersebut belum termasuk para pendaftar susulan yang terus bertambah. Sampai saat ini, kelas terbagi menjadi 4 level, yaitu taman kanak-kanak, kelas 1, kelas 2 dan kelas 3. Kelas masih mungkin berubah lagi setelah program berjalan beberapa kali; dan ada situasi atau kondisi yang mengharuskan terjadinya penyesuaian.
Para pengajar di sekolah Islam ini berasal dari berbagai macam negara dengan latar belakang professional yang berbeda-beda. Ada yang memang asalnya adalah guru ngaji atau guru sekolah di negaranya, guru yang mendapat amanah karena latar belakang keilmuannya yang dianggap sesuai dengan kebutuhan sekolah; maupun beberapa guru yang mengajar karena dedikasinya yang tinggi terhadap program pendidikan akidah anak.
Sama halnya dengan para pengajar yang berasal dari komunitas intrnasional, siswa-siswi pada program sekolah Islam itupun memiliki latar belakang yang sangat beragam. Mereka berasal dari berbagai macam negara dengan berbagai macam latar belakang budaya dan bahasa. Seperti tercatat dalam data siswa, mereka ada yang berasal dari berbagai latar belakang kebangsaan seperti Bangladesh, Indonesia, Jepang, Komoro, Malaysia, Mesir, Pakistan, Sudan, maupun Uzbekistan.
***
Sungguh mengharukan saat menyaksikan anak-anak yang semula merasa malu-malu dan tidak saling kenal itu, tapi perlahan-lahan mulai mencair dan asyik belajar bersama seiring berjalannya waktu. Sebuah komunitas yang heterogen ditinjau dari latar belakang budaya dan asalnya, tapi sungguh sangat terasa nuansa kebersamaannya.
Kebersamaan itu menjadi semakin berarti bagi anak-anak Islam keturunan Jepang. Mereka merasa menemukan komunitas yang membuat mereka merasa nyaman karena menemukan teman belajar dan teman sebaya yang seiman. Teman sebaya seiman yang mungkin sulit mereka dapatkan ditengah keluarga besar asal orang tuanya; yang pastinya tidak semuanya atau bahkan tidak ada yang beragama Islam seperti mereka.
Sebuah kebersamaan yang dilandasi oleh kesamaan akidah dan juga kesamaan nasib sebagai minoritas di negara yang mayoritas bukan muslim. Perasaan senasib itu pulalah yang kemudian telah menjadi obor penyemangat para orang tua mereka. Semangat untuk bersama-sama berjuang menyemai akidah dan keyakinan buah hatinya agar tidak tergerus oleh budaya lokal dimana mereka berada dan tinggal saat ini.
Saya bayangkan, betapa indahnya rasa kebersamaan dan persaudaraan diantara mereka nantinya karena didasari oleh rasa seiman yang disemai sejak dini itu. Semoga hal itu membekas kuat dan mengakar di jiwa mereka yang masih bersih itu; dan terbawa sampai mereka dewasa nanti. Semoga pula rasa kebersamaan yang mengakar tersebut kelak menjadi bibit timbulnya rasa persaudaraan sebagai satu umat Islam yang sejati, terlepas darimana mereka berasal, warna kulit maupun kebangsaannya, InshaAllah, amin.
Fukuoka, Pertengahan Oktober 2009
Hanik Utami Morise