Kristen Katolik dan Protestan menjadi agama mayoritas di kalangan komunitas imigran Amerika Latin di AS. Oleh sebab itu, mereka menunjukkan sikap khawatir dan curiga ketika Walter Gomez menyatakan dirinya sudah pindah agama dan menjadi seorang muslim. Bagi mereka, kalau sudah ada agama Katolik atau Protestan, mengapa harus Islam?
“Keluarga saya ada yang menganut Katolik dan ada yang menganut Protestan. Tidak seperti anak-anak di keluarga lainnya, orang tua merekalah yang memberikan ide tentang agama sebagai sesuatu yang harus mereka patuhi tanpa melakukan pencarian,” kata Gomez mengawali ceritanya menemukan Islam.
“Perjalanan menuju Tuhan adalah jalan yang indah yang diberikan Tuhan pada nabi-nabinya dan diturunkan pada kita, umat manusia. Jalan nabi-nabi itu itulah jalan kita, jalan yang saya ikuti,” lanjutnya.
Kisah Walter Gomez berawal dari tempat kelahirannya di El Salvador, sebuah negara yang dikenal dengan keindahan alam tropisnya di kawasan Amerika Tengah. Lelaki kelahiran tahun 1975 ini berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya hanya seorang petani dan penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Kemiskinan membuat ayah Gomez memutuskan untuk pergi ke AS pada tahun 1978 untuk mencari nafkah. Jika uang sudah terkumpul, ayahnya pulang ke El Salvador lalu balik lagi ke AS. Itu berlangsung selama empat tahun. Saat ayahnya berada di AS, Gomez tinggal dengan neneknya yang beragama Protestan, yang sering membacakan isi Alkitab pada Gomez. Di rumah neneknya juga Gomez sering melihat gambar-gambar yang ada di Alkitab.
Gomez ingat, ia sering bertanya, “Apakah masih ada orang yang mengenakan baju seperti gambar yang ada di Alkitab. Mereka mengenakan baju panjang, bersorban dan berjanggut” dan orang-orang akan menjawab “tidak, orang seperti itu hanya ada di masa lalu.”
“Saya sangat kagum pada (Nabi) Nuh, Musa, Ibrahim dan khususnya Yesus. Saat itu, saya ingin sekali bertemu dengan orang seperti Yesus. Cara dia bicara, seperti yang saya baca di Alkitab, cara dia berpakaian dan janggutnya yang indah, ia terlihat misterius dan sangat bijak. Saya tidak pernah melihat orang seperti itu di keluarga saya, meski mereka sangat religius atau pada sosok siapa pun yang menganut agama Katolik maupun Protestan di masa kini,” ujar Gomez.
Tahun 1984, ibu Gomez menerima surat dari suaminya, yang memintanya untuk ikut ke Amerika dan membawa serta Gomez. Gomez merasa sedih dan hancur ketika ibunya menyampaikan berita itu. Gomez merasa El Salvador adalah surga dan ia tidak ingin meninggalkan tanah kelahirannya.
“Saya menangis hampir setiap hari. Saya minta ibu meninggalkan saya saja dengan kekek, tapi ibu tidak mau mendengar kata-kata saya,” tutur Gomez.
Akhirnya, pada bulan Agustus, Gomez dan ibunya meninggalkan El Salvador. Sebuah perjalanan yang berat bagi ibu Gomez karena ia harus berpisah dengan dua anak perempuannya. Dua saudara perempuan Gomez dititipkan ke bibi mereka di San Salvador.
Masa Remaja yang Suram
Di AS, Gomez tinggal di Washington D.C. Setelah beberapa lama menetap di AS, Gomez menemukan bahwa masyarakat AS cenderung membuang jauh-jauh persoalan agama, agama dianggap sebagai urusan pribadi dan tidak ada pengaruhnya dalam kehidupan.
“Saya tidak merasakan cinta kasih Tuhan seperti yang saya rasakan di El Salvador. Tapi saya tetap berusaha untuk menjaga kehadiran Tuhan di hati saya. Sebagian besar keinginan saya atas Tuhan dalam kehidupan ini, perlahan lenyap di AS. Sejak kelas dua sekolah menengah pertama, saya sekolah di sekolah umum. Saya mulai merasa haus dengan agama ketika di sekolah menengah atas,” kisah Gomez.
Tahun pertama di sekolah menengah atas sekitar tahun 1990, merupakan masa-masa yang menyenangkan bagi Gomez. Seorang sepupunya bernama Ana, mengingatkan Gomez untuk berhati-hati dalam bergaul, terutama menghadapi siswa-siswa senior yang kerap mengganggu siswa-siswa baru. Gomez memang mengalami masa-masa sulit, dikerjai seniornya. Tapi ia tetap merasa bahagia menikmati masa remajanya.
Saat itulah Gomez mulai mengunjungi klub-klub malam, minum minuman keras, menggunakan narkoba dan tentu saja mulai mengenal perempuan. Gomez sering terlibat dalam perkelahian antar remaja. Ia bahkan hampir terkena tembakan ketika berkelahi dengan remaja lainnya di sebuah stasiun kereta bawah tanah. Gomez terjebak dalam kehidupan geng remaja di kota besar, yang cenderung keras dan kriminal. Klub malam, minuman beralkohol, perkelahian antar geng, perempuan dan narkoba, menjadi bagian dari kehidupan Gomez. Tak jarang dalam perkelahian, ia menyaksikan bagaimana teman-temannya terluka oleh tusukan pisau atau terkena tembakan.
Meski demikian, Gomez mengakui bahwa masih tersisa keyakinannya pada agama, khususnya agama Protestan yang ia kenal dari neneknya. Gomez merasa hidupnya sangat kacau dan ingin kembali pada ajaran agamanya. Ia masih menyempatkan diri berdoa, memohoh petunjuk pada Tuhan.
“Tapi, saya tidak mau menjadi orang yang sangat religius, karena saya tahu keluarga saya akan mengolo-olok saya. Selama ini mereka melihat saya sebagai orang yang sama sekali tidak berminat pada kehidupan,” ujar Gomez.
Ia lalu menceritakan seorang temannya, seorang muslim, yang mulai “ceramah” tentang pemikiran dan keyakinannya. Tapi bagi Gomez, keyakinan Islam yang dianut temannya itu terasa aneh. “Dia meyakini bahwa Nation of Islam adalah Islam yang benar. Saya melihat, dia masih bingung soal bagaimana Islam yang benar itu. Menurut saya, Islam yang benar tidak rasis, seperti Nation of Islam,” tukas Gomez menyebut sebuah nama sebuah gerakan Islam di AS.
“Saya lalu mengatakan pada teman saya itu, bahwa kecintaan saya pada Protestan makin besar dan saya minta ia tidak mengganggu saya lagi. Saya katakan padanya bahwa Yesus-lah guru saya, bukan orang berkulit hitam bernama Elijah Muhammad atau Farrakhan,” sambungnya. Dua nama yang disebut Gomez adalah tokoh-tokoh Nation of Islam.
Gomez mengungkapkan bahwa temannya itu tetap memaksanya untuk mengenal Islam dan memintanya membaca Al-Quran. Gomez memenuhi permintaan itu dan terkejut saat tahu bahwa Nabi-Nabi seperti Nuh, Musa, Yesus, Ibrahim dan nabi lainnya yang ia kenal di Alkitab juga diceritakan dalam Al-Quran. Temannya juga mengatakan bahwa ia percaya pada Yesus sebagai nabi Allah, bukan anak Tuhan atau Tuhan itu sendiri. Anehnya, seketika itu juga Gomez mengatakan bahwa ia meyakini hal yang sama.
“Saya jelaskan padanya tentang keyakinan saya soal Yesus dan Tuhan, meski saya seorang Protestan dan pergi ke gereja. Saya masih agak bingung, tapi saya merasa bahagia ada agama yang sama dengan keyakinan saya tentang Yesus dan Tuhan,” ungkap Gomez.
Dari Sebuah Kantin Universitas
Tahun 1995, setahun setelah lulus dari sekolah menengah atas, Gomez bekerja di kantin sebuah universitas di Washington D.C. Suatu hari, datang sekelompok mahasiswa asal Timur Tengah ke kantin itu dan ia tersentuh melihat bagaimana mereka saling berebutan ingin membayari makanan yang mereka beli. Gomez lalu bertanya pada salah seorang mahasiswa itu, mengapa orang-orang Timur Tengah begitu murah hati pada sesama. Si mahasiswa menjawab, “Kami berhutang budi pada Islam, karena Islam yang mengajarkan kami untuk bersikap baik dan bermurah hati pada sesama manusia. Memang, tidak semua orang melakukannya, tapi sikap Islami sangat melekat di hati kami.”
“Hati saya trenyuh mendengarnya,” ujar Gomez. Ia lalu bercerita pada mahasiswa tadi bahwa ia juga mempelajari Islam, tapi untuk kepentingan politis dan sekarang tidak mempelajarinya lagi karena tidak tahu dimana ia bisa mendapatkan lebih banyak informasi tentang Islam.
Si mahasiswa tadi lalu menatap Gomez dengan antusias dan berkata bahwa ia punya seorang teman, Muslim Amerika yang baru masuk Islam enam bulan yang lalu.
Keesokan harinya, seorang lelaki berkulit putih datang mengunjungi Gomez. Lelaki itu mengenakan baju seperti yang Gomez lihat di gambar-gambar dalam Alkitab. “Seperti sosok Yesus,” pikir Gomez yang langsung merasakan kedamaian dalam hatinya begitu melihat lelaki itu.
“Ia bertanya tentang kabar saya, keluarga dan pekerjaan saya. Ia tidak menyinggung soal agama. Saya sangat senang dan memintanya untuk sering-sering datang jika ada ada waktu, dan mengajari saya,” kata Gomez.
Dua bulan selanjutnya, banyak muslim yang mengunjungi Gomez. Mereka membawakan buku, pamflet atau sekedar mengajak jalan-jalan. Ketika itu, Gomez mulai merasa bersalah jika minum minuman keras.
Suatu malam, Gomez datang ke sebuah pesta dan benar-benar mabuk. Ia juga hampir berkelahi di pesta itu. Salah seorang teman menyelamatkannya dan mengingatkan Gomez tentang Islam yang sedang dipelajarinya. Gomes lalu minta agar ia diantar pulang.
Esok harinya, Gomez bangun sekitar jam 09.00 pagi dan merasa jijik mengingat ia mabuk-mabukan semalam. Tiba-tiba telepon berdering. “Yang menelpon, teman saya di universitas. Saya langsung minta ia menjemput saya dan membawa saya ke masjid,” tutur Gomez.
Ketika temannya itu datang, Gomez merasa seperti ada cahaya menyinari rumahnya. Gomez dan sahabatnya itu lalu berangkat ke Masjid Darul Al-Hijra yang terletak di utara Virginia, sekitar 10 menit perjalanan dengan kendaraan dari tempat Gomez tinggal.
“Sekitar pukul 10.00 pagi, seorang lelaki datang. Dengan kalem dan tanpa kesan memaksa, lelaki itu bertanya apakah saya percaya Tuhan itu satu, saya jawab ‘ya’. Dia bertanya lagi, apakah saya percaya bahwa Yesus adalah nabi dan putera Marya, saya jawab ‘ya’. Lalu, saya ditanya, apakah saya percaya bahwa Muhammad adalah nabi Allah yang terakhir. Saya ragu-ragu menjawab ‘ya’,” Gomez menceritakan pengalamannya di Masjid Darul Al-Hijra.
Di tengah keraguannya menjawab soal Nabi Muhammad itulah, Gomez berkata dalam hati, “Jika saya percaya pada ajaran Islam, saya pasti orang yang bodoh karena tidak menerima orang yang telah membawa agama itu bagi umat manusia.” Saat itulah, dengan tekad bulat Gomez mengatakan pada lelaki di masjid itu bahwa ia siap menjadi seorang Muslim. Lelaki itu meminta Gomez mengulangi perkataannya, dan kemudian ia menuntut Gomez mengucapkan dua kalimat syahadat, “Ashadu anla ilaha ilallah Wa ashadu ana Muhammadan Rasululah.”
“Pada titik ini, saya bisa merasakan kasih sayang dan manisnya surga, merasakan kehadiran Tuhan, saat hati saya merasa sakit dan terluka. Saya merasakan kehidupan baru saya yang jernih dan terang. Saya siap menjalani perjalanan selanjutnya di dunia ini, perjalanan menuju surga,” tukas Gomez yang sekarang dikenal dengan nama Walter “Abdul Wali” Gomez.
Ia mengungkapkan rasa syukurnya karena menjadi bagian dari umat Islam di dunia. Rasa syukur itu seolah tak pernah cukup ia ucapkan, setelah Allah Swt memberinya kesempatan untuk mengunjungi Baitullah di Makkah pada tahun 1997 dalam perjalanan umrah. (ln/IsT)