Ketika masih anak-anak, saat berjalan-jalan di pantai, Dr. Jeffrey Lang pernah bertanya pada ayahnya tentang keberadaan surga. Pertanyaan anak-anak yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan bisa jadi pertanda bahwa suatu saat kelak, Lang bakal menjadi sosok yang melihat segala sesuatu dengan cara berpikir logis dan rasional.
Tanda-tanda itu terbukti, ketika Lang dewasa akhirnya menjadi seorang profesor bidang matematika, bidang studi yang tidak memberi tempat bagi apapun, kecuali logika.
Lang menyelesaikan sekolah menengahnya di sekolah Katolik khusus laki-laki, Notre Dame Boys High. Sejak di sekolah menengah itu, Lang sudah menyatakan keberatannya atas kepercayaan adanya “Yang Maha Kuasa”. Pendeta, orang tua dan teman-teman sekelasnya gagal meyakinkan Lang tentang eksistensi Tuhan. Akhirnya, pada usia 18 tahun, Lang memilih menjadi seorang atheis dan itu berlangsung hingga 10 tahun sampai Lang menyelesaikan studi doktoralnya.
Tapi diantara masa-masa itu, Lang pernah mendapat mimpi aneh. Dalam mimpinya, ia melihat sebuah ruangan kecil tanpa satu pun perabotan di dalamnya. Dinding ruangan itu berwarna keabu-abuan. Lantainya ditutupi karpet dengan dominasi warga merah dan putih. Di bagian atas ada jendela berukuran kecil. Dari jendela itulah cahaya masuk dan menerangi ruangan.
“Ada barisan orang di dalamnya, dan saya ada di baris ketiga. Semuanya laki-laki, tidak ada perempuan. Kami semua duduk dengan posisi tumit kaki ke arah belakang, menghadap ke arah jendela itu. Rasanya aneh. Saya tidak mengenal siapa pun,” cerita Lang soal mimpinya.
Dalam mimpi itu Lang berpikir bahwa ia mungkin ada di negara lain. Lalu ia dan orang-orang di dalam ruangan itu berbungkuk bersama-sama dengan posisi wajah menghadap ke lantai. “Suasananya sangat tenang dan khidmat, tidak sedikitpun terdengar bunyi-bunyian. Tiba-tiba kami sudah duduk lagi di atas tumit. Saat saya melihat ke depan, ada seseorang di depan yang memimpin kami, dia ada di tengah, tepat di bawah jendela. Dia berdiri sendirian, saya hanya bisa melihat sedikit punggungnya. Orang itu mengenakan baju putih panjang dan kepalanya dibalut dengan syal warna putih bermotif merah. Dan saat itulah saya terbangun dari mimpi itu …” tutur Lang.
Ia beberapa kali melihat gambaran itu dalam mimpinya selama 10 tahun menjadi seorang atheis. Tapi sebagai seorang yang mengedepankan logika dan cara berpikir rasional, Lang tidak merasa terganggu dengan mimpi itu meski ia merasakan sebuah kenyamanan yang dirasakannya aneh tiap kali terbangun setelah mimpi itu. Lang tak mengerti apa yang dirasakannya itu, dia tidak mampu memikirkan masuk akalkah mimpinya itu dan karenanya Lang bersikap tidak peduli meski sudah mengalami kejadian itu berulang kali.
Suatu hari, saat memberikan kuliah pertamanya di University of San Francisco, Lang bertemu dengan seorang mahasiswa muslim di kelas matematikanya. Lang lalu bersahabat dengan mahasiswa muslim itu dan keluarganya. Tapi saat berdiskusi dengan keluarga itu, mereka tidak pernah menyinggung masalah agama. Sampai beberapa lama kemudian, salah seorang anggota keluarga tersebut memberinya Al-Quran.
Meski Lang tidak pernah berniat mencari tahu soal agama, ia mulai membaca Al-Quran itu meski dengan penuh prasangka buruk. Membaca Al-Quran, membuat Lang merasa berada dalam sebuah pertempuran yang menarik. Lang berusaha membantah dan mempertanyakan apa yang dibacanya dalam Al-Qurang, tapi ia segera menemukan jawabannya ketika meneruskan membaca halaman per halaman Al-Quran, hingga hati kecilnya menyatakan bisa menerima apa yang ditulis dalam Al-Quran.
“Quran selalu selangkah lebih maju dari apa yang saya pikirkan, menghapus penghalang yang saya bangun sejak bertahun-tahun lalu dan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya,” ujar Lang.
Kala itu awal tahun ’80-an dan jumlah muslim di University of San Francisco tidak banyak. Di kampus itu, Lang melihat beberapa mahasiswa Muslim menunaikan salat di sebuah ruangan kecil, di lantai bawah tanah sebuah bangunan gereja. Setelah terjadi “perang” dalam pikirannya, Lang akhirnya memberanikan diri mendatangi mushola kecil itu. Dan beberapa jam kemudian, setelah Lang keluar dari ruangan itu, ia sudah menjadi seorang muslim karena pada hari itu juga Lang memutuskan untuk bersyahadat.
Setelah bersyahadat, kebetulan masuk waktu salat dzuhur dan Lang diajak salat bersama. Ia pun berdiri dalam shaf, bersama mahasiswa lainnya dan yang menjadi imam hari itu bernama Ghassan.
Begitulah perjalanan Dr. Jeffrey Lang menuju cahaya Islam. Dari seorang yang tidak percaya adanya Tuhan, menjadi orang yang memiliki keyakinan kuat akan keberadaan Tuhan. Lang masih ingat, ayahnya berkata “Tuhan akan membuatmu berlutut, Jeffrey”, ketika Lang berusia 18 tahun dan menolak keberadaan Tuhan. Perkataan ayahnya menjadi kenyataan. Sekarang Lang berlutut dan bersujud dalam dekapan Islam.
Lang merasa Tuhan menyayanginya dengan menuntunnya ke agama Islam. “Saya merasa bahwa Tuhan selalu dekat, memberikan arah pada kehidupan saya,” tukas Lang. (ln/oi)