Rafael Castro, lahir dari keluarga Italia yang menganut agama Katolik yang cukup taat. Seperti penganut Katolik lainnya, sejak kecil Castro menjalani proses pembaptisan, komuni dan diwajibkan ikut dalam sekolah minggu. Ketika itu merasa nyaman menjalami kehidupan religinya.
Semuanya berubah ketika Castro berusia 12 tahun. Sang ibu yang tadinya rajin membawanya ke misa-misa keagamaan, tiba-tiba saja berubah 180 derajat. Ibu Castro yang sebelumnya menjadi pelayan gereja dan mengajari Castro ajaran Katolik menghentikan aktivitasnya dan melepas Castro untuk belajar sendiri dan memilih agam yang ingin dianutnya.
Perubahan yang tiba-tiba itu mengguncang psikologis Castro yang ketika itu beranjak remaja. Ia merasa kecewa dengan ibunya dan kepada Tuhan. "Bagaimana bisa Tuhan memberi saya keluarga yang mengajarkan agama yang dianut karena tradisi dan bukan karena terinspirasi dengan agama itu?" tanya Castro.
Menurutnya, sejak itu ia berhenti ke gereja, tidak percaya lagi dengan agama Katolik yang dianutnya dan mulai melupakan Tuhan. Saat itu, usia Castro baru 14 tahun.
Memasuki jenjang sekolah menengah atas, Castro mulai terusik dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu hatinya. Setelah beberapa tahun melupakan Tuhan dan agamanya, Castro merasa tidak sanggup hidup tanpa keyakinan bahwa Tuhan itu ada.
"Seiring dengan pertambahan usia, saya makin dewasa dan menyadari bahwa hidup akan bermakna jika ada nilai lebih dalam setiap perbuatan yang dilakukan. Saya percaya ada Tuhan yang memberikan inspirasi bagi setiap aspek kehidupan yang terjadi," ujar Castro.
Pertanyaan sekarang, kemana ia harus mencari Tuhan, karena sudah lama Castro tidak lagi mempercayai agama Katolik yang dianutnya sejak kecil. Di sekolah, Castro punya seorang teman yang baik asal Indonesia. Temannya itu sering meminjamkan Al-Quran pada Castro. Tapi Castro belum terbuka hatinya, usia remaja yang masih labil membuatnya bersikap bias terhadap ajaran agama, termasuk agama Islam.
Ketika Castro mulai kuliah pada usia 18 tahun, ia malah tertarik mempelajari agama Yahudi. Castro menganggap Yudaisme sebagai agama monotheis yang sebenarnya, berbeda dengan ajaran Katolik yang sudah tidak diyakininya lagi.
"Saya belajar Yudaisme sekitar 7 tahun, bahkan mendaftarkan diri ke Yeshiva. Yeshiva adalah sekolah kerabbian dimana para siswanya harus mengenakan pakaian tradiosional Yahudi berwarna hitam, topi hitam dan jam belajarnya sangat panjang. Saya menyukai konsep belajar yang kaku di sekolah itu dan polemik yang jumpai dalam konsep kerabbian," aku Castro mengenang pengalamannya di Yeshiva.
Saat itu, Castro masih beranggapan bahwa Islam adalah agama yang membuat para penganutnya terbelakang dan menyukai kekerasan. Tapi pandangan-pandangan itu mulai luntur ketika Castro menonton beberapa film produksi Iran. Salah satu film yang ia tonton berjudul "The Colours of Paradise." Dari film itu Ia melihat bahwa Islam memiliki pandangan-pandangan yang luas dan sangat menghormati kemuliaan umat manusia.
"Saat ini, negara-negara Muslim mungkin tidak terlalu gemilang dalam sektor perekonomian atau kemiliteran. Tapi Islam lebih terdepan dalam masalah penghormatan terhadap martabat manusia dan pengorbanan diri sendiri untuk kepentingan umat yang lebih besar dibandingkan dengan negara-negara non-Muslim," imbuh Castro.
Dari pengetahuan itu, Castro mulai menyadari ada perbedaan besar antara Yudaisme yang dipelajarinya dengan Islam. "Yudaisme mengajarkan kasih sayang hanya untuk orang-orang Yahudi saja, sedangkan Islam mengajarkan kasih sayang untuk seluruh umat manusia, semua orang bisa menjadi seorang Muslim tanpa melihat latar belakang nenek moyang mereka. Dan ini terlihat jelas oleh sikap yang hangat dan keramahan yang bisa ditemui setiap orang jika datang ke masjid-masjid," tukas Castro.
Tapi yang paling menggerakkan hati Castro pada Islam adalah isi surat Al-Baqarah yang menurutnya sangat indah dan mengajarkan hal-hal yang sangat mulia. "Saya pikir, setiap orang membaca surat itu secara jujur mengakui bahwa hanya malaikat yang mampu memberikan inspirasi tentang pernyataan-pernyataan yang begitu indah yang berasal dari Tuhan," sambung Castro.
Castro dengan keyakinan penuh pada Islam, meninggalkan studi agama Yahudinya dan memilih masuk Islam. Setelah mengucapkan syahadat, ia memilih "Sulaiman" untuk namanya, sehingga nama lengkap Castro menjadi Rafael Sulaiman Castro untuk menunjukkan bahwa dirinya sudah menjadi seorang Muslim.
"Terima kasih untuk Islam yang telah mengubah hidup saya. Sebelum memeluk Islam, saya biasa tidur sampai siang setiap saya punya kesempatan untuk melakukannya. Sekarang, saya jadi terbiasa bangun pagi karena harus salat Subuh dan melakukan aktivitas lainnya setelahnya, sehingga hidup saya jadi lebih produktif," tutur Sulaiman Castro.
"Saya yakin Islam telah memberikan kehidupan baru buat saya, membuat saya lebih menghargai diri sendiri dan membuat saya bersikap lebih baik pada orang lain. Tiga hal yang sulit saya temukan di manapun. Setelah dua bulan memeluk Islam, saya mulai memahami bahwa Islam mengajarkan kita untuk menaklukkan hawa nafsu dengan berserah diri pada Allah Swt. Itulah kebenaran yang sejati," lanjut Castro.
Castro mengakui, keputusannya masuk Islam bukan tanpa pengorbanan. Ia harus kehilangan banyak teman, termasuk sikap keluarganya yang tidak bersahabat.
"Tapi akhirnya, keluarga saya mulai menerima keputusan saya dan saya juga mendapatkan teman-teman baru dari kalangan Muslim yang sangat membantu saya di masa-masa transisi," kata Castro.
"Saya memiliki pandangan-pandangan baru tentang hidup. Islam telah memberi kesempatan saya untuk memeluk Islam dan sebuah pengalaman hidup yang sangat berharga," tandas Castro menutup pembicaraan. (ln/iol)