Tahun 1994, pada usia 31 tahun, Rebecca memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia pun mengganti namanya dengan nama Islam, Rabi’a. Selanjutnya, ia dikenal dengan nama Rabi’a Frank. Ia itu kini hidup bahagia dengan tiga puternya, hasil perkawinannya dengan seorang lelaki Maroko.
Rabi’a mengakui, perkenalannya dengan agama Islam terjadi dengan tidak sengaja. Karena kekasihnya orang Maroko, Rabi’a ingin mempelajari budaya Maroko. Ia pergi ke perpustakaan untuk mencari buku-buku tentang Maroko. Tanpa sengaja, ia juga menemukan buku-buku tentang Islam.
“Saya mulai tertarik dengan Islam dalam usia yang masih muda dan ketika usia Anda masih muda, tidak ada yang aneh, Anda hanya ingin tahu saja. Mungkin kedengarannya klise,” kata Rabi’a mengenang awal perkenalannya dengan agama Islam.
Rabi’a membaca buku-buku Islam secara diam-diam karena ia tidak ingin menimbulkan kesan bahwa ia belajar Islam karena kekasihnya seorang Muslim. “Saya memulainya dengan membaca terjemahan al-Quran dalam bahasa Belanda. Isinya menggugah hati saya. Saya merasakan kenyamanan, saya merasa ada keterkaitan, saya bisa memahaminya dan hati saya tersentuh membacanya,” kata Rabi’a.
Rabi’a kemudian mendapat informasi tentang pusat kegiatan Muslim di The Hague. Ia pun pergi ke tempat itu setiap minggu. Tiba-tiba, imam di masjid itu menanyakan apakah Rabi’a mau ikut dengan beberapa orang lainnya yang akan bersyahadat. Rabi’a terkejut dengan pertanyaan itu karena ia merasa belum cukup bekal untuk menjadi seorang Muslim. Tapi Rabi’a mengiyakan ajakan imam di masjid The Hague.
“Saya ingat, waktu itu saya mengenakan kerudung yang jelek sekali, yang saya ambil begitu saja dari kamar mandi. Tapi setelah mengucapkan syahadat, saya jadi begitu emosional dan tidak henti-hentinya menangis,” kenang Rabi’a.
Tapi Rabi’a tidak pernah menyangka ia akan mendapat reaksi keras dari ibunya ketika tahu puterinya sudah menjadi seorang Muslimah. “Ketika ibu saya mendengar tentang keislaman saya, dia menerobos kamar saya, ibu berteriak dan menangis ‘kenapa kamu lakukan itu, apa yang sedang kamu pikirkan?’. Situasinya benar-benar tidak mengenakan,” tutur Rabi’a. Dalam hati ia berkata, “reaksi seperti inilah yang menjadi alasan mengapa saya tidak mengatakan keislaman saya padamu, ibu.”
Jilbab dan Cadar
Sejak masuk Islam, Rabi’a belajar mengenakan jilbab. “Butuh dua tahun bagi saya untuk belajar bagaimana caranya memakai jilbab. Sejak pertama saya masuk Islam, saya menjadikan kaum peremuan Turki dan Maroko sebagai model. Saya juga mengenakan baju panjang, uhh … saya merasa itu bukan pribadi saya. Saya merasa tidak nyaman terutama ketika ada orang yang bilang ‘lihat, ada orang Turki bermata biru’. Saya betul-betul tidak tahu bagaimana berpakaian yang pantas,” tuturnya.
Rabi’a menceritakan sebuah lelucon tentang ‘orang Islam baru’. Lelucon itu biasanya ditujukan buat para perempuan yang baru masuk Islam. Mereka yang tadinya biasa mengenakan celana jeans dan sangat peduli dengan model pakaian, tiba-tiba harus melepaskan kebiasaan itu dan mulai mengenakan model busana yang berbeda yang sesuai denga tuntutan Islam.
“Saya pikir, semua perempuan yang menjadi mualaf akan melewati fase ini, sebelum mereka betul-betul menemukan model busananya sendiri,” ujar Rabi’a.
Bagi Rabi’a, mengenakan jilbab rasanya seperti sebuah pembebasan. “Setiap hari, saya harus melewati para pekerja bangunan. Mereka selalu bersiul ketika saya lewat. Tapi, suatu pagi ketika saya lewat dengan mengenakan jilbab, mereka tidak bersiul lagi,” kata Rabi’a.
“Di satu sisi, saya merasa sangat bahagia. Saya berpikir ‘akhirnya, inilah saya’. Di sisi lain, saya juga ingin mengatakan bahwa meski penampilan saya berubah, saya tetap orang yang sama,” sambungnya.
Rabi’a bukan hanya harus menghadapi reaksi negatif dari ibunya, tapi juga dari keluarga suaminya yang menilainya bukan gadis baik-baik karena bukan gadis Maroko. “Bertahun-tahun saya membuktikan pada mereka dan sekarang, rasanya sayalah satu-satunya di keluarga itu yang menjalankan perintah agama dengan serius,” imbuhnya.
Tahun 2005, Rabi’a bukan hanya mengenakan jilbab tapi juga cadar. Alasannya mengenakan cadar, karena ingin memberikan sesuatu yang lebih pada Allah swt. Tiap kali melihat muslimah bercadar, hati Rabi’a tersentuh. Namun ketika ia menyampaikan keinginannya bercadar pada suaminya, ia mendapat jawaban yang tak terduga.
“Apa kamu sudah gila?” kata Rabi’a menirukan reaksi suaminya. “Suami saya tidak terlalu senang, tapi perasaan itu tidak bisa hilang dari hati saya,” kata Rabi’a.
Rabi’a membantah berbagai pandangan negatif tentang cadar. Ia menolak jika cadar disebut sebagai bentuk penindasan atau rasa malu perempuan. Cadar, tukas Rabi’a, adalah cara untuk menunjukkan rasa cinta yang besar pada Allah swt.
Bagi Rabi’a Islam adalah agama yang indah, untuk menjalankan ajaran Islam tidak selalu mudah. “Banyak orang beranggapan bahwa para mualaf hanya sedang melakukan pencarian terhadap agama yang ingin diyakininya. Jika memang demikian, saya lebih senang memilih agama yang lebih mudah dijalani,” ujar Rabi’a.
“Islam adalah agama yang indah, tapi tidak selalu mudah. Anda harus banyak bertempur melawan nafsu diri Anda sendiri,” tukasnya. (ln/iol)