Viviana Espin, perempuan berusia 21 tahun asal Ekuador mengalami masa kanak-kanak yang berat. Keluarganya tidak bisa dibilang harmonis. Kesulitan ekonomi, ayah yang berperangai kasar dan ibu yang selalu menuruti saja apa kehendak suaminya, mempengaruhi perkembangan mental Espin dan saudara lelakinya.
Tapi berkat bimbingan ibunya yang mengajarkan banyak hal, Espin tumbuh menjadi anak yang cerdas dan sudah mulai sekolah pada usia 4 tahun di sebuah sekolah Katolik. Ibu mengirimnya ke sekolah itu karena mengingkan Espin menjadi anak yang taat pada ajaran agamanya, percaya pada Tuhan selain mendapatkan pendidikan dengan kualitas yang baik. Ibunya selalu membanggakan di mana Espin sekolah di depan teman-temannya.
Di sekolah, Espin menjadi siswa yang paling muda usianya, sehingga sering menjadi sasaran perlakuan nakal teman sekelasnya. "Mereka menempelkan permen karet di rambut saya, mengambil barang-barang milik saya, melempar sepatu saya ke tempat sampah dan masih banyak lagi …," tutur Espin mengenang masa kecilnya.
Ketika berusia 8 tahun, orang tua Espin bercerai, padahal ketika itu Espin baru saja mengalami peristiwa yang paling traumatis selama hidupnya. Tapi ia tidak bersedia mengungkapkan apa peristiwa traumatis itu. Espin jadi suka menyendiri di tempat tertutup dan ia mulai memikirkan hal-hal yang kadang ia tidak temukan jawabannya.
"Ibu saya menjadi lebih relijius, tapi ia terlalu mengontrol saya. Kadang menyenangkan, kadang tidak. Saya tumbuh dengan rasa takut, rasa tidak aman dan rasa ragu," ungkap Espin.
Selain suka menyendiri, Espin merasa nyaman ketika berada di tengah-tengah para biarawati. Ia merasa satu-satunya jalan keluar dari berbagai persoalan di rumahnya adalah mencari perlindungan ke "rumah Tuhan". Pada usia 12 tahun, Espin mengatakan pada ibunya bahwa ia ingin tinggal di seminari bersama para biarawati dan menjadi salah satu dari mereka. Tapi ibunya tidak setuju Espin menjadi biarawati.
Karena ditentang sang ibu, Espin makin mendekatkan diri pada Tuhan dan lebih sering membaca Alkitab. Semakin jauh ia baca, semakin banyak hal dalam Alkitab yang menurut Espin tidak masuk akal, banyak kontradiksi dan ada ide-ide yang tidak lengkap dan tidak jelas. Espin lalu banyak membaca buku-buku tentang agama, sampai menelusuri dunia maya.
"Saya membaca tentang Yudaisme, Budha, agnostisisme, Hindu dan Kekristenan serta berbagai sekte dalam keagamaan. Semuanya tidak memuaskan akal sehatnya. Saya tidak tertarik membaca tentang Islam karena semua yang saya dengar tentang Islam cenderung negatif. Tapi akhirnya saya mencari-cari informasi tentang Islam sebagai opsi terakhir saya untuk berusaha menemukan jawaban yang logis dari pertanyaan-pertanyaan saya," papar Espin.
Tak Boleh Masuk Islam
Setelah mempelajari Islam, Espin merasa menemukan jawaban atas kejanggalan-kejanggalan di dalam Alkitab. "Islam lebih masuk akal dan menjawab pertanyaan saya tentang berapa Tuhan, tentang Yesus. Saya merasa akhirnya menemukan kebenaran, agama yang sebenarnya," tukas Espin.
"Saya tidak ingat, umur 17 tahun atau 18 tahun ketika saya bilang ke ibu bahwa saya ingin pindah agama dan menjadi seorang Muslim, bahwa saya ingin pergi ke Islamic Center dan belajar di sana. Ibu saya marah dan mengatakan bahwa hanya orang Kristen yang boleh tinggal di rumah dan jika saya serius ingin pindah agama, saya harus keluar rumah. Maka saya bilang kalau saya cuma bercanda agar ibu tidak membahas hal itu," tutur Espin.
"Ibu juga mengontak bibi saya yang kemudian membawa sebuah buku anti-Islam. Buku itu membuat saya takut dan ragu sehingga saya tidak memikirkan lagi ingin menjdi seorang Muslim. Tapi saya juga tidak mau kembali memeluk Kristen karena saya merasa tidak nyaman agama itu," sambung Espin.
Waktu pun berlalu. Ibu Espin berpindah agama menjadi seorang Evangelis setelah salah seorang paman Espin-kakak lelaki ibunya-yang menderita kanker mampu bertahan hidup hingga dua tahun padahal dokter memvonis usianya ketika itu tinggal satu minggu atau satu bulan lagi.
"Di hari ketika ibu saya memutuskan pindah keyakinan menjadi seorang Evangelis, saya berusaha bicara lagi padanya tentang Islam dan memintanya ikut saya ke Islamic Center untuk mendiskusikan tentang keraguan dan ketakutan dalam buku yang diberikan oleh bibi saya tentang Islam. Tak diduga, ibu lebih bersikap terbuka dan mau menerima ajakan saya. Tapi itu cuma sementara. Malamnya, ibu saya kembali menjadi seorang Evangelis yang fanatik dan rasanya sulit bagi saya untuk bicara Islam lagi padanya," keluh Espin.
Menjadi Muslimah
Beberapa bulan yang lalu, Espin bertemu dengan seorang lelaki Muslim asal Arab Saudi. Mereka saling jatuh cinta. Espin memutuskan meninggalkan rumah dan pergi ke Mesir untuk menemui lelaki itu dan menikah dengannya. Pergi ke Mesir dan menikah dengan lelaki yang baik dan mencintainya adalah dua mimpi besar Espin.
Setelah menikah di Mesir, Espin masih ragu apakah ia akan masuk Islam. Suaminya lalu mengenalkan Espin pada seorang perempuan yang sabar, taat dan kaya ilmu agamanya, bernama Raya. Raya-lah yang membantu Espin untuk menganalisa situasinya saat itu dan menjernihkan apa yang menjadi keraguan dan kesalahpengertian Espin tentang Islam.
"Akhirnya saya mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari Sabtu, 30 Agustus 2009. Saya mengucapkan syahadat karena saya yakin akan ke-esa-an Tuhan dan Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir. Tapi saya bilang bahwa saya akan mulai mempraktekkan Islam ketika saya merasa sudah siap. Mereka setuju," ujar Espin.
Tapi pada hari Senin, semuanya berubah dengan cepat. Saya melakukan kesalahan yang membuat saya pada posisi yang sangat sulit. "Suami saya menceraikan saya dan saya merasa dunia saya hancur luluh," kenang Espin.
Ia putus asa dan tak tahu harus minta tolong pada siapa kecuali pada Raya. Raya memberikan dukungan moril dan mengijinkan Espin tinggal di rumahnya dan memperlakukannya seperti anak sendiri.
"Saya teringat perkataan ibu bahwa manusia tidak pernah belajar sampai terjadi hal yang buruk padanya. Perkataan itu benar. Persoalan saya dengan suami membuat saya merasa perlu mencari pertolongan pada Allah dan memohon ampunannya," imbuh Espin.
Sejak itu Espin mulai berubah. Ia mulai mengenakan busana muslimah dan berjilbab. Ia ingin membuktikan diri di hadapan Allah, pada lelaki yang dicintainya dan pada dirinya sendiri bahwa ia saya sudah mejadi orang yang baru sekarang.
"Alhamdulillah, suami saya memberikan harapan bahwa kami bisa bersama lagi. Saya ingin memperkuat iman dan memafkan diri saya sendiri. Mudah-mudahan di akhir tahun ini, Allah memberi saya kekuatan untuk menerima apa saja yang telah ditakdirkanNya untuk saya. Pengalaman hidup ini betul-betul membuat saya belajar," tegas Espin. (ln/readislam)