Nourdeen Wildeman masih ingat betul pengalaman pertamanya i’tikaf di masjid, sama menariknya dengan pengalaman pertamanya berpuasa setelah menjadi seorang mualaf.
Keinginan i’tikaf melintas ketika Nourdeen sedang memikirkan banyak rencana yang ingin ia lakukan untuk mengisi hari liburnya. Menjelang hari raya Idul Fitri, Nourdeen sengaja mengambil cuti agar bisa melakukan banyak hal. Tapi ia merasa rencana yang menghampiri pikirannya, yang membuatnya merasa sibuk dan tak punya banyak waktu.
Saat itu, hari pertama di 10 terakhir bulan Ramadan. Nourdeen sedang berkendaraan sambil mendengarkan CD yang ia ambil secara tak sengaja berisi ceramah imam favoritnya. Entah kebetulan atau tidak, ketika CD diputar, kalimat pertama yang ia dengar dari imam di CD tersebut adalah "Hari ini, kita sudah melalui hari pertama paruh ketiga bulan Ramadan dan kita harus membuat keputusan: apakah kita sudah melaksanakan segala rencana yang diniatkan di bulan Ramadan ini? Kalau belum, apa yang akan Anda lakukan?"
"Imam itu seperti bertanya langsung pada saya. Dan saya langsung membuat rencana," kata Nourdeen.
Sore itu juga, Nourdeen datang ke sebuah masjid di Rotterdam. Selama bulan Ramadan, Masjid Rotterdam dibuka selama 24 jam dan kala itu ia muncul satu jam setelah salat tarawih usai.
"Saya berjalan menuju tempat salat dan naik ke lantai dua masjid. Ada beberapa orang di sana yang sudah menggelar matras atau alas tidur di lantai. Saya menyapa mereka sambil tersenyum dan mengatakan bahwa saya ingin ikut i’tikaf," tutur Nourdeen.
Salah seorang teman yang sudah dikenal Nourdeen, seorang Muslim asal Maroko, tertawa melihat apa yang dibawa Nourdeen. Nourdeen memang membawa semacam kasur yang biasa digunakan untuk keperluan alam terbuka dan barang itu mengundang tawa rekan Nourdeen di masjid karena barang yang dibawa Nourdeen termasuk ‘barang mewah’.
"Lihat, lelaki Belanda gila ini," kata rekan Nourdeen sambil bercanda. "Kami selalu pergi ke masjid begitu saja, baru kemudian memikirkan bagaimana dan dimana kami akan tidur. Tapi orang-orang Belanda benar-benar mempersiapkan membuat perencanaan matang dan menyiapkan segalany," sambung rekan Nourdeen yang asli Maroko tadi.
Tapi Nourdeen tidak tersinggung meski diledek "i’tikaf seperti orang pindah rumah". Ia tetap menganggap teman-temannya sebagai saudara-saudarannya seiman. Setiap pagi seusai salat subuh dan tidur sebentar, Nourdeen mengisi i’tikafnya dengan membaca al-Quran bahkan menghapal surat-surat Al-Quran yang belum pernah ia baca sebelumnya. Nourdeen juga membaca buku berisi fatwa-fatwa.
"Saya menemukan kegiatan yang tepat di Ramadan kala itu," ujar Nourdeen.
Ramadan tahun ini, aktivitas Nourdeen bertambah padat karena ia juga sering diundang ceramah dalam acara buka puasa bersama dengan kelompok-kelompok non-Muslim. "Saya masih harus banyak baca Al-Quran, lebih banyak menghapal surat-surat dan harus lebih banyak menghabiskan malam-malam Ramadan saya di masjid," imbuhnya.
Nourdeen saat ini aktif di yayasan ‘OntdekIslam’ (Menemukan Islam), sebuah yayasan yang bergerak dalam dakwah Islam di Belanda. Ia juga aktif sebagai pembicara di organisasi National Islamic Congress, menulis berbagai artikel untuk Dutch Islamic Broadcasting Organization serta membuat database online berisi informasi tentang 400 masjid yang tersebar di seluruh Negeri Kincir Angin.(ln/iol)