“Mereka masih takut untuk membuka diri, terutama kepada orang tua mereka,” kata pria berusia 50 tahun itu.
Mahdi sendiri masuk Islam ketika dia duduk di kelas empat SD. Ia terlahir sebagai Kwee Giok Yong. Seperti banyak orang Indonesia, Mahdi hanya menggunakan satu nama.
Ia mengatakan, keluarganya mungkin telah menerima keputusannya berpindah keyakinan ke agama lain, seperti Kristen. Akan tetapi, memeluk Islam dipandang hal yang memalukan. Karena itulah, orang China yang baru berpindah agama sering takut menjadi minoritas di komunitas mereka sendiri.
“Banyak yang mengalami penganiayaan, termasuk intimidasi. Beberapa telah dikeluarkan dari keluarga, dicoret dari daftar penerima warisan, diejek, kepala mereka dicukur secara paksa, dan seterusnya. Dan inilah saat dukungan dari sesama Muslim lainnya sangat dibutuhkan,” ujarnya.
Menurut Mehdi, dukungan itu begitu penting bagi Muslim China. Dukungan diperlukan termasuk memberikan bantuan untuk memperbarui dokumen hukum atas perubahan status, seperti identitas nasional dan kartu keluarga, yang keduanya berisi data tentang agama pemegang kartu.
“Memperbarui agama sangat penting karena ini adalah identitas baru mereka. Mengabaikan untuk memperbarui data resmi dapat menyebabkan kebingungan dan kesalahpahaman keluarga,” ujarnya. (rol)