Asnawi Ali, Pekerja di komplek perumahan Örebro Bostäder – www.obo.se – melaporkan dari Örebro, Swedia.
RENTETAN serangan terhadap Mesjid di berbagai kota pada akhir dan awal tahun baru 2015 lalu seakan telah meledakkan api dalam sekam di Swedia. Jauh hari telah diprediksi oleh pengamat politik bila populasi Muslim di Swedia semakin meningkat maka akan ada efek Islamofobia seperti penyerangan fisik bangunan. Menurut kantor berita Swedia, sepanjang tahun 2014 lalu terjadi pengrusakkan ringan dan berat rata-rata sekali dalam sebulan.
Tidak salah seluruhnya analisa tersebut yang kemudian terbukti karena seiring makin memanasnya tensi politik, terutama berkenaan isu imigran atau spesifiknya pendatang Muslim di Swedia. Oleh karena itu, kelompok anti Islam mulai terang-terangan menyerang secara terbuka. Sebelumnya, sangat mudah dilihat bila penghinaan kepada Islam di Swedia berbentuk opini, cercaan, makian, komentar negatif di internet yang sangat agresif. Dapat dipastikan bila tindakan tersebut sedikit banyak berhubungan dengan politik terkini di Swedia.
Bila ditilik dari data, hal yang paling spektakuler dalam proses demokrasi Swedia adalah sebuah partai politk berhaluan kanan yang orientasi utama politiknya adalah menolak imigran–termasuk Muslim. Nama partainya Sverigedemokraterna (Swedia Demokrat) dan masih tergolong minoritas. Namun, pada pemilu musim gugur 2014 lalu mereka melejit dengan meraup 49 kursi DPR di parlemen Stockholm. Dengan hasil demikian menjadikan mereka sebagai partai ketiga terbesar di Swedia.
Rakyat Swedia merasa malu hingga terkejut dengan meningkatnya dukungan atas partai yang tergolong rasis ini. Sesuai presentase suara pemilu yang diraih, umumnya publik di luar Swedia menterjemahkan bahwa 12,86% dari penduduk dewasa Swedia secara politik adalah anti terhadap imigran. Kebetulan juga diwaktu yang sama imigran tersebut adalah mayoritas Muslim.
Sudah menjadi kebijaksanan politik luar negeri Swedia sejak tahun 1950, salah satu negara Skandinavia ini bekerja sama dengan lembaga PBB urusan pengungsi (UNHCR), setiap tahunnya akan menerima permohonan suaka 1.700 – 1.900 orang yang tergolong sebagai pengungsi politik. Dari angka tersebut mayoritas pengungsi berasal dari penduduk yang berkecamuk perang seperti dari Syria, Iraq, Somalia, Afghanistan, Palestina, Bosnia, Kurdi dan Iran.
Nah, pengungsi tersebut mayoritasnya adalah Muslim sehingga ketika pindah ke Swedia untuk mempraktekkan agamanya seperti mendirikan rumah ibadah terkendala secara politik oleh kelompok rasis anti Islam.
Sebenarnya, imigran di Swedia tidak monoton Muslim tetapi bercampur dengan non Muslim seperti imigran asal Findlandia, Assyria, Yugoslavia, Serbia, ditambah lagi imigran sesama negara Uni Eropa yang merantau ke Swedia. Ini juga termasuk perkawinan dengan warga non Swedia sehingga menghasilkan data sekitar 16% warga negara Swedia awalnya berasal dari negara lain (Imigran).
Namun, faktor yang terlihat bila imigran di Swedia itu dimonopoli Muslim adalah karena mereka aktif mempraktekkan agamanya. Salah satu gambaran yang kontras terlihat kegiatan aktif di Mesjid seperti shalat berjamaah. Lima kali dalam setiap hari ada saja orang yang berkunjung ke Mesjid untuk beribadah, meskipun ada larangan suara azan menggunakan mic hingga terdengar keluar bangunan.
Dapat dibayangkan, bila penduduk tempatan jarang mengunjungi rumah ibadahnya atau bila pun ada yang berkunjung seminggu sekali, itu pun oleh segelintir manula. Sebaliknya, betapa aktifnya Muslim setiap hari beribadah meskipun diwaktu Subuh dengan temparatur di musim salju saat ini mencecah dibawah nol, namun masih tetap ada jamaahnya di Mesjid.
Fenomena diatas tersebut adalah fakta. Apalagi tidak sedikit penduduk asli Swedia yang menjadi Muallaf. Bagitu juga banyak tempat ibadah non Muslim yang kosong melompong lalu dijual sehingga pada gilirannya berubah menjadi Mesjid. Untuk dana pembelian bangunan, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dana tersebut hasil donasi dermawan dari negeri timur tengah yang kaya raya oleh minyak. Kemudian, hasil dari wakaf itu disulap menjadi Mesjid karena dikelola oleh organisasi Muslim di Swedia.
Fakta lain yang tidak terbantahkan bahwa mayoritas Muslim di Swedia memang berlatar belakang imigran. Perkiraan dalam puluhan tahun kedepan, keberagaman Swedia dapat berubah dengan sendirinya secara damai. Hal inilah yang paling ditakutkan oleh kalangan rasis Swedia yang cenderung bersembunyi dibelakang ideologi nasionalis.
Muslim menjadi ancaman
Sebelum masuk kedalam perlemen, ketua partai Swedia Demokrat, Jimmie Åkesson, pernah mengguncangkan Swedia pada tahun 2009 lalu dalam opini di media nasional dengan judul
”Muslimerna är vårt största utländska hot” (”Muslim adalah ancaman asing terbesar kita”) serta berjanji akan menggunakan segala cara kekuasaannya untuk mengurangi persentase populasi Muslim.
Setelah dua kali pemilu, partainya tersebut meraih prestasi luar biasa dengan langsung menjadi partai ketiga terbesar di Swedia sehingga otomatis sebagai oposisi di parlemen. Disamping mereka, terdapat juga beberapa partai gurem ultra rasis namun tidak lolos mendapatkan 4% suara rakyat sebagai ambang batas perolehan minimal parpol dalam pemilu di Swedia.
Polisi masih bekerja keras untuk mencari pelaku kejahatan pembakaran di sejumlah Mesjid. Begitu juga penguasa akan mencegah kejadian terulang melalui menteri kebudayaan Swedia dengan meluncurkan kebijakan sebuah strategi nasional untuk menandingi Islamofobia. Idenya adalah untuk memberikan pengetahuan kepada orang Swedia mengenai apa itu Islam dan siapa itu Muslim.
Hingga saat ini belum ditemui bukti bila kader partai rasis yang melakukan vandalisme terhadap sejumlah Mesjid di berbagai kota di Swedia.
Secara demokrasi partai anti Islam menang dan legal karena menempuh demokrasi melalui konstitusi. Oleh karena itu, meskipun Muslim di Swedia minoritas, mereka masih mempertahankan diri dengan cara elegan. Kekerasan tidak bisa dibalas dengan kekerasan, apalagi di Swedia. Hematnya, di Swedia demokrasi harus dilawan dengan demokrasi pula .
[email penulis: [email protected]]