Nama Muhammad Hamidullah dikenal lewat karya-karyanya berupa buku-buku Islam yang ditulisnya. Tapi bagi generasi muda Muslim di Prancis, sosok Hamidullah merupakan sosok intelektual Muslim yang menjadi misteri.
Ketika Hamidullah tiba di Paris tahun 1946, isu-isu tentang Islam sudah menjadi bahan pembicaraan kalangan intelektual yang disegani di Paris, seperti Louis Massignon, Jacques Berque, Henri Laoust dan Régis Blancher. Pada tahun 1947, Blancher bahkan sudah menerjemahkan terjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Prancis.
Tapi, seperti pakar-pakar Islam di Barat, Blancher bukan seorang muslim. Dan seperti di negara-negara sekuler pada umumnya, pandangan para akademisi non-Muslim tentang isu-isu Islam selalu menarik tapi tidak lengkap karena mereka tidak bisa merasakan pengalaman spiritual dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang paling mendasar.
Latar belakang Hamidullah yang berasal dari keluarga muslim tradisional dengan budaya akademis yang kuat sebagai lulusan Universitas Osmania di Hyderabad, India, membuat kehadirannya memperkaya khasanah pemikiran kalangan intelektual di Prancis tentang isu-isu Islam.
Selama 23 tahun Hamidullah bekerja sebagai peneliti profesional di French National Scientific Research Centre (CNRS). Di lembaga itu ia menjadi direktur riset, setaraf dengan posisi seorang profesor di universitas.
Tahun 1959, ia membuat terjemahan Al-Quran dalam bahasa Prancis dan menjadi terjemahan Al-Quran pertama yang ditulis seorang muslim di Prancis. Hamidullah juga melakukan riset tentang kehidupan Rasulullah Muhammad Saw (Sirah) dan mengumpulkan hasil risetnya dalam buku berjudul “Le Prophète de l’islam” (Nabi Islam).
Buku itu merupakan buku terlengkap tentang kehidupan Rasulullah yang ditulis dalam bahasa Prancis. Dalam pengantar buku tersebut, Hamidullah menulis bahwa buku itu adalah hadiah untuk Prancis yang telah menerimanya sebagai tamu.
Profesor Hamidullah juga aktif dalam dialog-dialog tentang Muslim-Kristiani dengan Louis Massignon, yang menulis pengantar di terjemahan Al-Quran yang disusun Hamidullah. Selain aktif dalam dialog, Hamidullah juga mendirikan Islamic Cultural Centre (CCI) di Paris.
Selama 50 tahun tinggal di Paris, Hamidullah mengabdikan dirinya dalam bidang pengajaran agama Islam lewat riset-riset yang dilakukannya. Ia selalu menghindari ikut terlibat dalam polemik tentang kehadiran komunitas Muslim di tengah masyarakat Barat yang kerap muncul.
Pada mereka yang menyerang pandangan-pandangannya, Hamidullah punya jawaban khas “Saya tahu Anda pasti tidak sepakat dengan saya” dan polemik pun berakhir. Tapi ketika ia tidak bisa menghindar dari sebuah kontroversi, Hamidullah lebih senang menuliskan pandangan-pandangannya dalam bentuk buku dimana ia merahasiakan namanya.
“Saya punya alasan yang islami untuk tidak mencantumkan nama saya pada buku-buku itu. Saya menulis buku dalam bahasa Inggris dan Prancis. Ide bagus jika buku-buku itu diterjemahkan dalam bahasa Jerman, Arab, Indonesia bahwa Italia agar bisa disebarluaskan di Vatikan …” jawab Hamidullah seperti dikutip dari buku “Muhammed Hamidullah, Hocam’dan Mektuplar” karya Ihsan Sürreya Sırma, ketika ditanya mengapa ia menulis buku dan tidak mencantumkan namanya sebagai penulis.
Hamidullah lahir pada 9 Februari 1908 dan wafat pada 17 Desember 2002 di Jacksonville, Florida, AS. Selama hidupnya, ia menulis lebih dari 130 judul buku yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa antara lain bahasa Inggris, Jerman, Arab, Turki dan Urdu.
Tapi hari ini, cuma dua bukunya yang bisa ditemui di toko-toko buku di Prancis. Sementara di Turki, lebih dari 20 buku karya Hamidullah bisa dengan mudah dibeli di toko-toko buku.
Pribadi yang Misterius
Meski banyak menghasilkan karya yang menjadi bahan diskusi kalangan terpelajar dan berperan besar dalam dakwah Islam di Prancis, sampai tujuh tahun setelah wafatnya, sosok Hamidullah tetap menjadi pribadi yang misterius di kalangan intelektual Prancis.
Hanya sedikit orang yang bisa bicara secara personal dengan Hamidullah. Ia selalu menolak publikasi media dan menolak difoto. Setiap melakukan konferensi pers, Hamidullah selalu melarang penggunaan kamera.
Satu-satunya peristiwa dimana ia mengijinkan para wartawan dan juru kamera mengambil gambarnya adalah ketika ia hadir dalam aksi unjuk rasa atas penangkapan Imam Masjid Adda’wa, masjid kedua terbesar di Paris dan sering dikunjungi Hamidullah jika ada undangan pernikahan atau jika ada yang akan masuk Islam.
Peristiwa itu terjadi tahun 1994 dan aksi protes bukan hanya dilakukan oleh pemuka muslim di Prancis tapi juga para pemuka agama lain seperti pendeta dan rabbi.
Panitia aksi protes sempat panik ketika Hamidullah yang hadir dalam aksi tersebut naik ke atas panggung. Pihak pengamanan dibuat sibuk meminta para fotografer dan juru kamera yang meliput acara itu untuk tidak mengambil gambar.
Tapi Hamidullah menenangkan panitia dan membiarkan para juru foto dan juru kamera televisi mengambil gambarnya saat ia berorasi.
Saking misterius dan jauhnya sosok Hamidullah dari publikasi media. Banyak spekulasi bermunculan tentang darimana sebenarnya asal-usulnya. Masyarakat Prancis menganggap Hamidullah adalah keturunan Arab atau Afrika Utara.
Komunitas Pakistan mengklaim Hamidullah asli Pakistan dan menolak klaim orang-orang India bahwa Hamidullah kelahiran India. Uniknya, di Turki, sebagian Muslim Turki meyakini bahwa Hamidullah orang Turki.
Hamidullah sendiri punya jawaban khas tiap kali ditanya apa kebangsaannya. “Saya datang dari surga. Ibu saya Hawa dan ayah saya Adam,” begitulah jawaban Hamidullah. Tapi di buku “Abraham”, Hamidullah memperkenal dirinya sebagai orang India yang lahir di Hyderabad tahun 1948 dan menuntut ilmu di Universitas La Sorbonne, Prancis. “Saya seorang intelektual muslim Sunni yang berminat pada masalah-masalah sains,” tulisnya.
Seorang filsuf Prancis René Guénon yang masuk Islam memberikan komentar tentang Hamidullah. Ia mengatakan, Hamidullah tidak membanding-bandingkan antara Timur dan Barat. “Dia melihat Islam sebagai karunia bagi seluruh umat manusia.
Dengan mengabdikan dirinya pada riset-riset ilmiah tentang Islam dan menuliskan hasilnya dalam berbagai bahasa asing, Profesor Hamidullah telah menyemai benih-benih intelektualitas di Prancis, meski pribadinya sangat misterius hingga kini,” kata René Guénon yang sejak menjadi seorang muslim menetap di Mesir. (ln/zaman/isc)