Bulan Ramadan tahun 2005, Molly Carlson baru tujuh bulan menjadi seorang muslimah. Saat itu ia masih tinggal bersama ibunya dan belum punya keberanian untuk menceritakan keislamannya. Jadilah Ramadan tahun 2005 itu menjadi Ramadan tak terlupakan bagi Molly, karena ia harus sembunyi-sembunyi berpuasa karena khawatir ketahuan sang ibu.
"Waktu itu saya sudah bekerja dengan jam kerja penuh sehingga saya bisa berpuasa saat tidak berada di rumah. Saya memberitahu boss saya bahwa saya berpuasa beserta alasanya. Saat jam makan siang, saya menyelinap ke ruang salat dan mendengarkan ceramah agama dan berusaha melupakan betapa hausnya saya siang itu," ungkap Molly mengenang puasa Ramadan pertamanya.
Hal yang paling berat bagi Molly adalah saat sahur, karena ia harus mencari alasan yang rasional bagi ibunya mengapa ia harus bangun jam empat dinihari, memasak dan makan kecuali ia harus menjelaskan bahwa ia sedang berpuasa Ramadan sebagai seorang muslim.
Untuk menghindari pertanyaan ibunya, Molly akhirnya membeli persediaan air galon, roti, selai kacang dan kue kering oatmeal. Makanan-makanan itu ia bungkus dalam satu kantong plastik besar dan ia sembunyikan di kolong tempat tidurnya.
"Saya memasang alarm agar terbangun pada waktu sahur. Begitu alarm berbunyi, saya membuka makanan-makanan itu, memakannya. Saat waktu subuh, saya ke kamar mandi untuk wudhu. Semuanya saya lakukan pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan ibu saya," tutur Molly.
"Tapi beberapa kali ibu saya bangun dan memergoki saya. Dan saya berusaha meyakinkannya dengan mengatakan bahwa saya agak susah tidur malam itu," sambungnya.
Saat berada di kantor, Molly tidak menemui kendala berarti saat menjalankan ibadah puasa. Petang hari, saat waktu berbuka, Molly bersama beberapa temannya berbuka puasa di masjid dan menunaikan salat tarawihnya di masjid itu. Persoalan kembali datang saat hari libur pada akhir pekan.
"Ibu saya akan memperhatikan mengapa saya tidak makan siang dan tidak mau sarapan pagi bersamanya. Pernah dua kali saya terpaksa membatalkan puasa karena keluarga kami mengadakan perayaan dan saya tidak bisa menghindar," ujar Molly.
"Tapi Allah Maha Tahu dan Maha Penyayang. Di bulan Ramadan, saya sering menghabiskan hari-hari saya dengan satu keluarga asal Pakistan. Hubungan kami sudah dekat, mereka sangat baik dan memberikan semangat pada saya seperti anak perempuan mereka sendiri," ungkap Molly.
Hari terus berganti. Tak terasa, bulan Ramadan sudah memasuki 10 hari terakhir. Ketika itu Molly harus mengantarkan ibunya ke rumah sakit untuk menjalani pembedahan rutin. Di dalam kendaraan sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Molly gelisah untuk segera menceritakan pada ibunya bahwa sekarang ia seorang muslim. Molly takut sesuatu yang buruk menimpa ibunya saat menjalani operasi dan ibunya tidak pernah tahu puterinya sudah pindah agama ke Islam, sesuatu yang penting diketahui sang ibu.
Molly akhirnya memutuskan untuk menceritakan semuanya dalam perjalanan itu. Tapi di luar dugaan, sebelum Molly sempat mengatakan apapun, ibunya tiba-tiba berkata,"Tak perlu menceritakannya padaku, kamu seorang muslim bukan?" tanya sang ibu.
Molly syok mendengarnya. Ibunya mengatakan bahwa dirinya sudah menduga bahwa Molly sudah masuk Islam. Meski tidak terlalu menyukainya, Ibu Molly menyatakan menghormati keputusan itu dan akan tetap mencintai Molly sebagai puterinya.
"Sejak hari itu, ibu menjadi segalanya buat saya. Ia mendukung semua keputusan saya dan selalu berada di samping saya dalam situasi apapun," ujar Molly bahagia.
Sepuluh hari terakhir Ramadan dijalani Molly dengan lebih mudah. Ia tak perlu sembunyi-sembunyi lagi saat sahur. Kadang sang ibu ikut membantu menyiapkan makanan untuk berbuka puasa Molly. Pada hari raya Idul Fitri, ibunya juga menyampaikan ucapa selamat.
"Butuh waktu beberapa tahun buat saya untuk memberitahu seluruh keluarga bahwa saya seorang muslim. Syukurlah mereka semua menerimanya dengan terbuka. Pada akhirnya, orang yang bagi saya paling penting mengetahui saya seorang muslim adalah ibu saya," tandas Molly.(ln/iol)