“Orang tua saya selalu menganggap saya tidak normal, bahkan sebelum saya menjadi seorang muslim,” kata Chatherine Huntley memulai kisahnya menjadi seorang muslimah.
Perempuan asal Bournemouth–sebuah kota di pesisir pantai selatan Inggris–ini mengungkapkan, saat remaja ia banyak menghabiskan waktunya di rumah, menyaksikan siaran televisi. Tidak seperti remaja lainnya yang menikmati akhir pekan dengan berkumpul atau bepergian dengan teman-teman sebayanya.
“Apa yang kau lakukan di rumah? Apa kamu tidak punya teman untuk diajak jalan-jalan?” kata Catherine menirukan pertanyaan kedua orang tuanya.
Jawaban sebenarnya, ungkap Catherine, ia tidak suka berkumpul dengan teman-teman sebayanya, karena ia tidak suka minum minuman beralkohol, tidak suka merokok dan tidak suka berkumpul dengan teman-teman lelaki.
“Saya termasuk orang yang religius. Makanya, ketika saya mulai mempelajari Islam di tahun pertama kuliah, saya merasakan kecocokan. Saya menghabiskan setiap waktu makan siang saya dengan mencari informasi tentang Islam lewat internet …”
“Saya merasakan kedamaian dalam jiwa saya, dan tidak ada lagi yang membuat saya merasa gelisah. Ini merupakan pengalaman yang ajaib–saya seperti menemukan jati diri saya, tapi jati diri yang saya temukan tidak sama dengan orang lain yang saya kenal,” tutur Catherine yang sekarang bekerja sebagai asisten di sebuah toko grosiran.
Ia mengaku tidak pernah berinteraksi dengan seorang muslim pun selama hidupnya, sehingga ia tidak memiliki prasangka apapun tentang Islam dan Muslim. Orang tuanya juga termasuk orang yang bersikap terbuka. Meski demikian, saat memdalami Islam, Catherine harus menyembuntikan buku-buku Islam yang dibacanya, termasuk kerudung yang biasa digunakannya, ia simpan dengan hati-hati di laci lemarinya agar tidak ketahuan ayah-ibunya.
Sudah bisa diduga, ketika Catherine menceritakan keinginannya masuk Islam, orang tuanya terkejut dan marah. “Kita akan membahas ini saat kamu berusia 18 tahun,” kata Catherine menirukan ucapan ayah-ibunya.
Tapi minat Catherine pada Islam makin kuat. Ia mulai mengenakan busana tertutup, seperti busana muslimah yang dianjurkan dalam Islam meski belum dengan jilbabnya. Catherina diam-diam juga ikut puasa pada bulan Ramadan. Lama-lama, ia tidak kuat hidup dalam dua peran dan pada usia 17 tahun, ia menyelinap ke luar rumah.
“Saya membawa jilbab di dalam tas dan naik kereta ke Bournemouth. Saya benar-benar kelihatan seperti orang gila saat mengenakan jilbab di dalam kereta, sebuah tempat sampah yang tutup mengkilat saya gunakan sebagai cermin. Dua pasangan lanjut usia, menatap saya dengan pandangan sinis, tapi saya tidak peduli. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya merasa ingin menjadi diri saya sendiri,” papar Catherine.
Ia memutuskan mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang muslimah. Namun ia belum berani menceritakan keislamannya pada kedua orangtuanya. Hingga seminggu kemudian, ibunya masuk kamar dan berkata.”Ada yang bisa kamu ceritakan padaku?” sambil memperlihatkan sertifikat yang menyatakan bahwa Catherine telah resmi masuk Islam.
“Saya bisa melihat kemarahan di mata ibu saya. Ia tidak bisa memahami mengapa saya melepas kebebasan diri saya hanya demi sebuah agama yang asing. Pertanyaan yang ada di benak ibu saya, mungkin, mengapa saya mau-maunya bergabung dengan para teroris dan pelaku bom bunuh diri?” ungkap Catherine.
Sejak orang tuanya tahu putrinya masuk Islam, kehidupan Catherine berubah total. “Menjadi seorang muslim di rumah orang tua saya, sungguh berat. Saya tidak akan pernah lupa, suatu malam, ketika ayah-ibu saya melihat dua muslimah mengenakan burka di halaman depan sebuah koran, mereka mulai meledek saya dengan mengatakan, ‘Catherine akan segera menjadi orang ini (mengenakan burka)’,” tutur Catherine menceritakan sikap orang tuanya.
Kedua orang tua Catherine juga tidak senang melihat Catherine salat lima waktu. Mereka menyebut Catherine terlalu terobsesi. Catherine selalu sengaja salat di depan pintu kamarnya, agar ibunya tidak bisa masuk saat ia salat. Tapi saat Catherine salat, ibunya selalu berteriak dari lantai bawah, “Catherine, kamu mau segelas teh?” hanya agar Catherine menghentikan salatnya.
Selang empat tahun Catherine menjadi muslimah, kakeknya masih mengatakan bahwa perempuan Muslim harus berjalan dengan jarak tiga langkah di belakang suaminya. Pandangan kakeknya itu membuat Catherine berang, karena apa yang dikatakan kakeknya bukan ajaran Islam tapi tradisi yang berlaku di sejumlah masyarakat Muslim. Namun Catherine memahami ketidakpahaman sang kakek tentang Islam.
Puncak kegeraman orang tuanya adalah ketika Catherine akhirnya menikah dengan seorang lelaki muslim keturunan Afghanistan. Ayah-ibu Catherine menilai putrinya sudah benar-benar gila. Namun Catherine tetap melanjutkan rencananya menikah di sebuah masjid, meski kedua orang tuanya tidak hadir.
“Sedih memang, memikirkan bahwa saya tidak akan mengalami sebuah pernikahan yang indah seperti dalam kisah dongeng, dimana pengantin perempuan dikelilingi oleh seluruh anggota keluarganya. Tapi saya berharap, pernikahan ini akan memberikan kehidupan yang bahagia buat saya. Saya akan membangun rumah tangga yang saya inginkan, tanpa harus merasakan luka hati karena orang-orang yang hanya bisa menghakimi saya,” tandas Catherine. (kw/nmc)