Lynette Wehner mengakui terjadi pergulatan batin ketika ia pertama kali mendapatkan tugas mengajar di sebuah sekolah Islam. Wehner lahir dari keluarga Amerika yang menganut agama Kristen Katolik. Kedua mertuanya mengingatkan agar Wehner tidak terpengaruh dengan ajaran Islam meski ia cuma menjadi tenaga pengajar paruh waktu di sekolah Islam itu.
"Yang penting, kamu tidak masuk Islam," begitu kata ayah mertuanya.
Selama dua hari Wehner merasa gelisah untuk mengambil keputusan apakah ia akan menerima tugas tersebut, apalagi pihak sekolah mewajibkannya mengenakan jilbab saat mengajar. Jilbab adalah sesuatu yang sangat asing baginya. Tapi akhirnya ia menerima pekerjaan mengajar di sekolah Islam itu dengan pertimbangan bahwa pengalaman mengajarnya yang pertama ini akan menjadi batu loncatan baginya kelak.
Hari pertama mengajar, seorang staf di sekolah Islam itu membantunya mengenakan jilbab di ruang guru. "Kami tertawa sambil mencoba berbagai gaya berjilbab," ujar Wehner yang mengaku pagi itu merasa sangat rileks berada di lingkungan muslim. Selama ini, Wehner selalu berpandangan bahwa orang-orang Islam tidak ramah dan selalu serius. Hari pertamanya di sekolah Islam membuat Wehner berbalik mempertanyakan, mengapa seseorang bisa sedemikian mudah membuat stereotipe terhadap orang lain tanpa mengenal lebih jauh orang yang bersangkutan.
"Saya belajar banyak hal di hari pertama mengajar. Saya terkesan dengan sikap para siswa, pengetahuan mereka tentang agama saya (Kristen) lebih baik dibandingkan pengetahuan yang saya miliki dan saya bertanya dalam hati, darimana mereka tahu semua itu," tutur Wehner.
"Murid-murid saya selalu menanyakan tentang ajaran agama saya dan itu membuat saya berpikir ‘apa yang saya yakini?’" sambung Wehner.
Sejak kecil Wehner dididik dengan ajaran Katolik, tapi ketika dewasa ia meninggalkan ajaran agamanya itu. Wehner mengaku merasa tidak nyaman dengan ajaran Katolik dan merasa ada sesuatu yang salah. Ia lalu beralih ke aliran Kristen lainnya yang lebih modern, tapi aliran itu juga tidak memuaskan hatinya.
"Yang saya tahu, saya hanya ingin berhubungan dengan Tuhan. Saya tidak mau agama saya menjadi sesuatu yang hanya membuat saya merasa bahwa saya harus ‘menjadi orang baik’ di hadapan para kerabat. Saya ingin merasakan agama itu di hati saya. Ketika itu, saya kehilangan arah tapi saya tidak menyadarinya," papar Wehner.
Di sekolah Islam tempatnya mengajar, Wehner banyak berinteraksi dengan para siswanya yang masih usia anak-anak. Anak-anak itulah yang mengantarkan Wehner ke cahaya Islam. Namanya anak-anak, mereka seringkali meninggalkan buku-buku pelajaran mereka di sekolah. Diam-diam, Wehner sering membaca buku-buku yang berisi ajaran Islam, yang ditinggalkan murid-muridnya itu usai pelajaran sekolah. Saat itu Wehner mulai merasakan bahwa apa yang ia baca mengandung banyak kebenaran.
Selanjutnya, Wehner jadi sering bertanya soal Islam dengan seorang guru perempuan dan seorang guru lelaki di sekolah itu. Ia bahkan bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdiskusi dan memuaskan rasa ingin tahunya tentang Islam. "Perbicangan kami sangat intelek dan mendorong rasa ingin tahu saya. Saya merasa telah menemukan apa yang selama ini saya cari. Tiba-tiba saja, ada rasa damai yang menyebar di dalam hari saya …" ungkap Wehner.
Di rumah, Wehner mulai membaca terjemahan Al-Quran. Suami Wehner (kala itu ia belum belum bercerai) tidak suka melihat minatnya pada Islam, sehingga Wehner harus mencari tempat tersembunyi jika ingin membaca Al-Quran. Awalnya, Wehner merasa takut telah melakukan pengkhiatan terhadap agamanya dan ragu untuk percaya bahwa ada kitab suci lain, selain Alkitab yang diturunkan Tuhan.
"Namun saya berusaha mendengarkan apa kata hati saya yang menyuruh saya membaca Al-Quran. Saat saya membacanya, saya merasa beberapa bagian dalam Al-Quran itu dituliskan khusus untuk saya. Seringkali saya membacanya sambil menangis. Tapi setelah itu, saya merasa tenang, meski masih bingung. Sepertinya masih ada sesuatu yang menahan saya untuk menerimanya sepenuh hati," tutur Wehner.
Butuh waktu berbulan-bulan lagi bagi Wehner untuk meyakinkan hatinya. Ia terus membaca, bertanya pada banyak orang dan melakukan pencarian jiwa, sampai ada satu momen yang menjadi menentukan keputusannya untuk menjadi seorang muslim.
"Saya mencoba salat di kamar anak lelaki saya. Tangan saya memegang sebuah buku tentang tatacara salat. Saya berdiri dengan konflik batin dalam diri saya. Saya tidak biasa berdoa secara langsung pada Tuhan. Sepanjang hidup saya, saya diajarkan untuk berdoa pada Yesus. Yesuslah yang akan menyampaikan doa saya pada Tuhan. Saya takut telah melakukan tindakan yang salah. Saya tidak mau Yesus marah. Saya merasa ada gelombang besar yang menghantam saya," ungkap Wehner mengungkapkan kekhawatirannya saat itu.
Tapi Wehner kemudian berpikir lebih dalam, bagaimana mungkin Tuhan marah pada hambanya yang ingin lebih mendekatkan diri padaNya. Bagaimana mungkin Yesus marah pada orang yang ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Bukankah itu yang Yesus inginkan? Hari itu, Wehner yakin bahwa Tuhan sedang bicara padanya dengan suara yang kuat, yang menggema dalam hati dan pikirannya, bahwa tidak ada yang perlu ia takutkan jika memang ia ingin berpindah ke agama Islam.
"Ketika itu saya mulai menangis dan menangis. Suara itulah yang ingin saya dengar. Dan mulai hari itu saya yakin bahwa saya harus memeluk Islam. Keputusan inilah yang benar dan tidak ada yang perlu dipersoalkan lagi," ujar Wehner.
Wehner mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan seluruh siswa sekolah Islam tempat ia mengajar. "Saya menjadi orang yang baru. Semua keraguan dan pertanyaan saya ada di mana dan apa yang sebenarnya saya yakini, sirna. Saya yakin telah membuat keputusan yang benar. Saya tidak pernah begitu dekat dengan Tuhan, sampai saya menjadi seorang muslim. Alhamdulillah, saya sangat beruntung," tukas Wehner menutup kisahnya menjadi seorang mualaf. (ln/IfT)