Latasha dibesarkan di tengah keluarga Kristen yang taat. Sejak kecil ia biasa membaca dan mempelajari Alkitab dengan teratur. Tak heran ketika menginjak usia remaja, Latasha menjadi seorang penganut Kristen yang taat. Gereja sudah seperti rumahnya sendiri.
Latasha menikmati kehidupan relijiusnya, meski ia banyak menemui kesalahan-kesalahan dari Alkitab. Banyak kisah-kisah dalam Alkitab yang menurutnya saling bertentangan. Biasanya, ia menanyakan kebingunannya itu pada neneknya atau pastor gereja. Tapi ia tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Pada usia 20 tahun, Latasha ditunjuk untuk menjadi pastor muda di gerejanya. Ia makin giat memdalami Alkitab dan mendaftarkan diri ke Akademi Alkitab. Ia berharap dengan mendaftarkan diri ke akademi itu, ia akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya yang belum terjawab tentang hal-hal yang membingungkan dalam Alkitab.
Tapi di akademi itupun ia tidak menemukan jawaban yang memuaskan. Sehingga ia memutuskan mundur sebagai pastor muda. “Saya merasa tidak bisa memimpin lagi anak-anak muda itu karena saya sendiri bingung dan merasa ragu. Sayalah yang masih membutuhkan seorang pemimpin. Hati saya menangis di tengah kebingunan itu, karena saya merasa tidak menemukan kedamaian,” ungkap Latasha.
Sampai suatu malam, Latasha secara tak sengaja menyaksikan tayangan di CNN tentang laporan langsung dari Irak. Dalam tayangan itu, ia melihat seorang perempuan yang mengenakan pakaian berwarna hitam, pakaian yang biasa dikenakan muslimah di negara-negara Arab.
“Saya melihat perempuan itu sangat sederhana dan cantik. Saya tahu dia seorang muslimah. Tapi ketika itu saya tidak tahu agama apa yang mereka anut,” aku Latasha.
“Tapi saya benar-benar tertarik dengan pakaian yang dikenakannya, menimbulkan rasa keingintahuan saya. Tiba-tiba saja saya merasa ingin seperti perempuan yang saya saksikan di televisi itu. Telihat alim dan rendah hati,” sambung Latasha.
Sejak itulah pencariannya dimulai. Ia mulai mencari berbegai informasi dengan kata kunci “Muslim Woman Dress” dan “Muslim Woman Face Veil” di internet. “Dari situ saya menemukan kata ‘hijab’ dan ‘niqab’,” ujar Latasha.
Saking senangnya dengan busana muslimah yang serba hitam itu, Latasha mengganti nama online-nya dengan “hijabi” atau “niqabi”. Meski demikian, ia belum berusaha mencari tahu tentang agama Islam. Hingga pada suatu sore, ia dan beberapa tetangganya ikut pesta kebun. Dalam acara itu Latasha berbincang dengan salah seorang tetangganya dan kebetulan topiknya tentang agama.
“Tetangga saya bilang ‘Kamu tahu, kita ini orang-orang Kristen mungkin akan menghadapi masalah ketika menghadap Tuhan?,” Latasha mengulang pernyataan tetangganya itu yang cuma dijawabnya dengan anggukan.
“Lalu, dia bilang lagi bahwa Muslim salat lima kali sehari, sedangkan orang Kristen cuma menyempatkan berdoa satu kali sehari,” sambung Latasha.
Mendengar perkataan tetangganya, Latasha langsung pulang ke rumah, membuka komputer dan mulai mencari tahu tentang Islam di internet. “Saya kagum dengan Islam dan seperti agama ini cocok buat saya,” kata Latasha mengingat kembali saat pertama kali mengenal Islam.
Beberapa minggu setelah itu, Latasha memutuskan untuk mendatangi masjid terdekat yang jaraknya sekitar 50 mil dari tempat tinggalnya dan bertanya banyak hal di masjid itu. Ia juga terus menggali informasi dari buku-buku dan internet.
Dua bulan kemudian, Latasha memutuskan untuk memeluk Islam. Ia kembali ke masjid dan mengucapkan dua kalimat syahadat. “Subhanallah, ada damai yang langsung merasuk ke hati dan jiwa saya. Rasa damai yang belum pernah saya rasakan sebelumnya,” tandas Latasha dengan penuh rasa syukur. (ln/readislam)