La Bianca hanya seorang perempuan desa sederhana yang dibesarkan di sebuah peternakan di Perth, Australia Barat. Ketika masih anak-anak, ia punya hewan kesayangan, seekor kanguru. Ia juga membantu orang tuanya mengurus sapi-sapi dan domba. Meski perempuan, La Bianca senang berburu. Kelinci dan anjing hutan menjadi sasaran buruannya.
Keluarganya tidak terlalu ketat mengajarkan agama. Tapi La Bianca percaya adanya Tuhan dan ia dididik dengan tradisi dan nilai-nilai moral keluarga Italia, dimana seorang anak gadis sangat dijaga dan dilindungi.
Setiap Minggu, La Bianca dan keluarganya mengikuti misa ke gereja. Namun buat La Bianca, kedatangannya ke gereja cuma ikut-ikutan keluarganya saja, karena ia mengaku tidak paham apapun tentang agama yang dianutnya. Yang ia tahu, ia harus mengenakan gaun berwarna putih dan mengucapkan beberapa baris doa saat harus melakukan komuni. Yang ia tahu, Yesus dan Maria hanya patung yang dipajang di gereja. Tapi, La Bianca tetap percaya Tuhan itu ada dan ia tetap berdoa pada Tuhan.
Hingga beranjak remaja, La Bianca tidak pernah pergi ke kota, sehingga ia menjadi remaja yang cenderung lugu dan naif. Meski demikian, ada sisi positif dari kondisi seperti itu. La Bianca menjadi remaja yang sikapnya lebih alamiah dan lebih terbuka. Jika orang-orang kota cenderung bersikap lebih keras dan emosional, orang desa seperti La Bianca cenderung menerima setiap orang apa adanya.
Baru pada usia 16 tahun, La Bianca meninggalkan kehidupan pedesaan. Keluarga besar La Bianca yang keturunan Italia, banyak tersebar dan tinggal di kota-kota Australia dan ia tinggal dengan salah satu bibinya.
La Bianca mendapat pekerjaan pertamanya sebagai resepsionis. Di tempat kerjanya ia bertemu dengan seorang muslimah asal Afrika Selatan bernama Tasneem. Tasneem bukan tipikal muslim yang taat. Ia tidak mengenakan jilbab atau salat, tapi Tasneem selalu memastikan ia tidak makan makanan yang dilarang dalam agama Islam. Tasneem juga tidak minum minuman beralkohol. Namun Tasneem sering pergi klubing. Orang tua Tasneem mengizinkan puterinya klubing, asalkan pulang tidak terlalu larut malam.
Satu hal yang dipelajari La Bianca dari Tasneem adalah puasa di bulan Ramadan. Ia selalu merasa tertarik dengan Muslim, karena setiap muslim yang ia jumpai selalu bersikap hangat, ramah dan menerimanya apa adanya, dan ia melihat seorang muslim selalu cinta keluarga. La Bianca merasa nyaman bersosialisasi dengan teman-teman muslimnya. Suasana kekeluargaan yang ia rasakan, membuatnya selalu teringat akan kehidupan pedesaan yang ia tinggalkan selama ini.
Secara khusus, La Bianca mengaku lebih senang bergaul dengan mereka yang berasal dari atau keturunan orang Afrika. Karena orang-orang Afrika, menurutnya, lebih hangat dan ramah. Sedangkan orang Eropa, kata La Bianca, sikapnya dingin dan banyak menciptakan dinding pemisah di tengah pergaulan dengan orang lain.
Sikap La Bianca sama dengan ayahnya, yang selalu menghormati semua orang, tanpa melihat latar belakang etnisnya. Berbeda dengan ibunya yang agak rasis. Ibu Bianca masih beranggapan bahwa orang-orang Eropa lebih superior dibandingkan dengan bangsa lainnya.
Karena sering bergaul dengan muslim, teman-teman muslim Bianca terus bertambah. Dari mereka, ia tahu bahwa seorang muslim wajib menunaikan salat lima waktu setiap hari. Tapi La Bianca mulai banyak tahu tentang Islam ketika ia menikah dengan seorang lelaki muslim.
“Saya ingat, begitu ia bertemu saya, ia langsung mengenalkan saya pada ibunya dan mengatakan bahwa mereka ingin membuat komitmen jangka panjang–menikah dan membangun keluarga,” tutur La Bianca.
Sejak itu, ia mulai mengikuti kursus agama Islam. Ia juga mulai mengubah cara berpakaiannya. La Bianca mulai mengenakan baju dan rok yang longgar. Ia mengatakan, saat belajar tentang Allah yang Mahabesar, ia merasa semua ajaran Islam masuk akal, indah dan harmonis.
Hal terberat bagi Bianca setelah belajar Islam adalah ketika ia mengenakan jilbab. Jilbab yang dikenakannya, mengubah citra dan sangat mempengaruhi jiwanya. “Di kampung halaman, di peternakan keluarga kami, di tempat kerja, orang selalu menanyakan mengapa saya mengenakan jilbab itu,” ungkap Bianca.
Pertama kali melihatnya berjilbab, ayah Bianca berpikir bahwa Bianca tidak menghormati teman-teman ayahnya jika tidak mengenakan busana yang membuat senang teman-teman ayah Bianca. Bianca mengakui, awalnya ia merasa bersalah karena membuat ayahnya merasa tidak dihormati. Tapi seiring dengan menguatnya keyakinan pada Allah Yang Mahakuasa, Bianca menyadari bahwa ia ingin membuat Allah Swt senang lebih dari keinginannya untuk menyenangkan manusia.
“Saya berkata pada diri saya sendiri, bahwa saya tidak mau membuat konsensi apapun, karena saya tahu bahwa saya sudah melakukan hal yang benar. Saya juga tahu, jika saya mulai melakukan kompromi, maka kompromi itu tidak akan pernah berhenti dan saya akan hidup tanpa Islam sama sekali. Saya tidak mau itu terjadi,” tukas La Bianca.
Meski awal mengenakan jilbab ia merasa repot dan kesulitan. La Bianca merasakan sendiri, setelah mengenakan jilbab, tak ada lelaki yang berani menggodanya dan ia merasa lebih dihormati sebagai perempuan.
“Saya mengagumi konsep bahwa kaum perempuan ibarat harta karun berharga, dan oleh sebab itu harus dilindungi dan hanya boleh dilihat oleh mereka yang berhak melihatnya,” ujar La Bianca.
Ia akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat, disaksikan oleh beberapa orang sahabatnya pada tahun 2008. Bagi Bianca, Islam adalah kebenaran dan ia ingin terus dan terus memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam. Suami dan keluarga suaminya memberikan dukungan moral pada La Bianca untuk mengenakan jilbab, meski butuh waktu untuk La Bianca untuk pada akhirnya mengenakan jilbab dengan benar. (kw/IR)