Khalid Shabazz adalah satu dari lima pembimbing rohani muslim yang bertugas di basis militer AS di Eropa. Perjalanan hidup lelaki asal Alexandria itu, sampai menjadi seorang da’i yang memberikan bimbingan rohani bagi para prajurit AS di Eropa, cukup unik. Ia adalah seorang mualaf yang tekun mempelajari dan memperdalam Islam hingga dipercaya menjadi ustaz.
Nama aslinya adalah Michael Barnes, lulusan perguruan tinggi Jarvis Christian College, menganut aliran Kristen Lutheran. Sebelum bergabung dengan kemiliteran, Ia bekerja di jaringan pertokoan terkemuka di Baton Rouge dengan penghasilan 67 USD per minggu.
“Saat itu, istri saya sedang mengandung anak kedua. Saya harus melakukan sesuatu untuk hidup saya. Saya menemui tenaga rekrutmen dan akhirnya bergabung dengan kemiliteran. Saya masuk ke bagian artileri. Masuk ke kemiliteran adalah hal terbaik dalam kehidupan saya,” ujar Shabazz.
Sebagai seorang prajurit artileri, Shabazz hidup prihatin. Tidur di tempat yang kondisinya sangat buruk, disumpahi, dibentak-bentak, tapi itu semua justru mendewasakannya sebagai manusia dan menjadi titik awal ia mengkaji ulang kehidupan religiusnya.
Suatu hari, Shabazz yang waktu itu belum masuk Islam bertanya pada seorang prajurit yang muslim tentang konsep-konsep ajaran Islam. Shabazz terpesona dengan respon dari prajurit muslim itu dan memutuskan untuk mempelajari agama Islam.
Selama dua tahun Shabazz menekuni agama Islam, dan dalam perjalanananya mempelajari Islam, ia memutuskan untuk menjadi staf di kemiliteran. “Saya masuk sekolah staf militer, karena saya ingin keluar dari pasukan artileri,” ujarnya.
Dalam kurun waktu dua tahun itu pula, Shabazz memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang muslim. Ia pun mengganti nama Michael Barnes menjadi Khalid Shabazz. Ujian pertamanya setelah menjadi seorang muslim adalah, ketika ia ditolak untuk meningkatkan skornya agar bisa masuk ke Sekolah Kandidat Opsir. Keislaman dan rutinitas Shabazz menunaikan salat Jumat, menjadi alasan penolakan itu.
Shabazz merasa sangat kecewa. Ia lalu mengadukan persoalannya dan bermaksud minta bantuan pada seorang pembimbing rohani Islam yang bertugas di kemiliteran. Ustaz yang ditemui Shabazz malah menanyakan, mengapa Shabazz tidak mencoba menjadi pembimbing rohani saja, jika ditolak masuk Sekolah Calon Opsir, agar ia bisa membantu orang yang menghadapi persoalan seperti dirinya.
Itulah awal cerita Shabazz menjadi seorang pembimbing rohani di dinas kemiliteran AS. “Saya kira hidup ini begitu menakjubkan. Kalau waktu itu saya dibolehkan meningkatkan skor nilai saya agar diterima di sekolah calon opsir, saya mungkin tidak akan pernah menjadi seorang pembimbing rohani atau ustaz di sini,” ungkap Shabazz.
Bertugas Sebagai Ustaz di Kemiliteran
Shabazz lalu belajar metodologi Al-Quran, hadis dan perbandingan agama selama dua setengah tahun, untuk menjadi imam di Graduate School of Islamic and Social Sciences di Ashburn. Ia juga belajar bahasa Arab selama dua tahun di Universitas Yordania di Amman.
Shabazz resmi menjadi pembimbing rohani di kemiliteran AS pada tahun 1999. Ia ditugaskan ke berbagai negara untuk mendampingi para tentara AS yang bertugas di Afrika, Bosnia, Kosovo, Polandia dan Timur Tengah. Ia juga pernah ditugaskan di kamp penjara angkatan laut AS, kamp Guantanamo di Kuba, juga ke Irak selama 15 bulan.
Selama di Irak, Shabazz berkeliling ke barak-barak militer AS, memberikan pemahaman tentang Islam dan aspek budaya Islami pada para komandan dan prajurit nonmuslim. “Saya sampaikan pada para komandan pasukan AS di Irak, apa yang boleh dan tidak boleh berdasarkan ajaran agama Islam,” tukasnya.
Shabazz mengatakan, prajurit yang muslim tidak berbeda dengan prajurit yang berlatar belakang agama lain. Tujuan utama mereka adalah ibadah. “Setiap Jumat, kami salat berjamaah. Kami saling memberikan dukungan satu sama lain, berusaha menciptakan kenyamanan bagi para jamaah dan memastikan jika para prajurit sedang menghadapi masalah dan kesulitan, kami selalu ada buat mereka,” tandas Shabazz.
Dalam melaksanakan tugasnya, Shabazz mengaku lebih banyak menghabiskan waktunya untuk para prajurit yang nonmuslim. “Saya main bola basket dan angkat berat bersama mereka. Kebanyakan dari mereka dekat dengan saya bukan untuk alasan spiritual, tapi untuk mendapatkan pengarahan, saya menjadi mentor mereka,” ujar Shabazz. (kw/IE)