Mohammad Ali Salih tinggal di Washington, AS sejak tahun 1980 dan bekerja sebagai wartawan koresponden untuk sejumlah surat kabar berbahasa Arab dan beberapa majalah yang terbit di Timur Tengah. Peristiwa serangan 11 September 2001 di AS membuatnya sedih, marah dan frustasi karena tidak mendapatkan ruang untuk menyuarakan opininya di media masa AS bahwa serangan 11 September itu hanya "kendaraan" buat George.W Bush-presiden AS ketika itu-untuk mengobarkan perang di negara-negara Muslim.
Untuk mengobati rasa marah dan kecewanya, Mohammad Ali Salih memutuskan untuk melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Putih. Tak seperti para aktivis lainnya yang juga menentang perang AS di negeri-negeri Muslim, mereka berunjuk rasa beramai-ramai, meneriakan slogan-slogan, berjalan kaki atau berorari, Ali berunjuk rasa sendirian saja.
"Beberapa hari menjelang berakhirnya pemerintahan Bush, saya memulai kampanye saya di depan Gedung Putih setiap akhir pekan. Saya cuma diam sambil membentangkan spanduk, yang satu bertuliskan ‘Apa Itu Terorisme?’ dan satunya lagi bertuliskan "Apa Itu Islam?’," tulis Alih Salih dalam tulisannya yang dimuat surat kabar The Washington Post edisi Sabtu (16/1).
Di bawah spanduk itu, terdapat tulisan dengan huruf-huruf berukuran kecil "Saya akan berada di sini sampai mati". Saat melakukan aksi protesnya, Ali mengenakan setelan jas rapi berwarna gelap, tidak mau terlibat dalam perdebatan dan hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang dengan jawaban pendek-pendek saja dan suara yang pelan.
Ali meyakini apa yang dilakukannya itu adalah bagian dari pesan yang ingin disampaikannya. "Tujuan saya adalah mendapatkan perhatian dari media massa dan menggalang donasi secara online agar ketika saya memutuskan untuk berhenti bekerja, saya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari," tulis Ali.
Ali tidak mau mengganggu rencana isterinya yang ingin menghabiskan masa pensiun mereka di Florida. Ali sudah memperhitungkan bahwa ia sudah akan pensiun dari pekerjaannya pada musim dingin, lalu membuka usaha sendiri dan merancang jadwal "jihad"nya di depan Gedung Putih.
"Saya akan bertambah tua dan mungkin tidak bisa berdiri lagi atu menggunakan kursi roda. Saya sudah membayangkan, saya akan meninggal di depan Gedung Putih sambil membawa spanduk saya ini," sambung Ali.
Tetapi Ali berubah pikiran ketika Barack Obama terpilih menjadi presiden AS. Ia terpesona dan yakin akan janji-janji Obama saat berkampanye, yang katanya akan mengakhiri kebijakan-kebijakan militeristik dan antagonis yang diterapkan Bush, mengubah tensi politik di Washington, memberikan harapan dan meringankan kesulitan rakyat AS yang saat itu sedang dilanda krisis ekonomi. Apalagi ketika Obama berkunjung ke Kairo dan menjanjikan hubungan yang damai dengan dunia Islam serta menyerukan Israel agar menghentikan kebijakan ekspansinya.
"Obama ketika itu, konon menginstruksikan para pejabat pemerintahannya untuk tidak lagi menggunakan istilah ‘perang melawan teror’," tulis Ali dalam artikelnya.
Tapi setelah satu tahun mengamati pemerintahan Obama, Ali berkesimpulan bahwa Obama sama saja dengan para politisi pada umumnya yang memiliki tipikal banyak mengumbar janji hanya untuk mendapatkan dukungan suara banyak dari rakyat. Ali sampai pada kesimpulannya itu setelah melihat sikap Obama dan pemerintahannya yang ternyata tidak punya nyali untuk menciptakan perdamaian bagi dunia Islam dan tidak berniat untuk mengakhiri ketidakadilan yang telah dilakukan AS terhadap umat Islam atas nama "perang melawan terorisme".
"Saya melihat tidak semua umat Islam senang pada Obama atau mau bekerjasama dengan Obama. Sebagian Muslim tetap mendukung penjajahan AS di Irak dan Afghanistan sebagian lagi tidak dan membenci bombardir yang dilakukan AS di Pakistan dan Somalia, membenci tekanan yang dilakukan AS terhadap Suriah dan Iran dan membenci campur tangan AS di negara-negara Muslim, misalnya Yaman," papar Ali.
Ali berpendapat, persoalan dasar yang dihadapi Obama dan pemerintahannya adalah ketidakmampuan mereka untuk memahami atau mungkin penyangkalan mereka terhadap apa yang diajarkan kitab suci Al-Quran pada umat Islam, bahwa seorang Muslim harus berani melawan ketidakadilan, terutama jika Muslim diperlakukan tidak adil oleh non-Muslim. Dan ajaran itu terwujud dalam bentuk perlawanan umat Islam terhadap penjajahan dan serangan militer yang dilakukan AS di negeri-negeri Muslim. Tapi bagi AS, perlawanan itu mereka definisikan sebagai terorisme.
Kesadaran Ali atas penindasan yang dilakukan Barat, khususnya AS di negeri-negeri Muslim muncul kembali ketika ia membaca berita tentang lima Muslim AS yang ditangkap di Pakistan bulan Desember lalu. Di pengadilan Pakistan, lima pemuda Muslim AS menegaskan bahwa mereka bukan anggota Al-Qaida seperti yang dituduhkan dan bahwa mereka tidak berniat menimbulkan kekacauan di Pakistan. Kelima pemuda itu mengatakan bahwa mereka sedang dalam perjalanan menuju Afghanistan untuk melakukan jihad melawan penjajahan pasukan asing di negeri itu.
Salah seorang pemuda Muslim itu mengatakan bahwa mereka bukan teroris tapi mereka adalah para jihadis dan jihad bukanlah terorisme. Kuasa hukum kelima pemuda itu juga mengatakan bahwa kliennya hanya "ingin membantu sesama Muslim yang tidak berdaya".
Pernyataan kuasa hukum kelima pemuda Muslim itu mengingatkan Ali kembali pada aksi protes di depan Gedung Putih yang pernah dilakukannya. "Saya tidak mau berdebat apakah mereka ‘jihadis’ atau ‘teroris’. Apakah mereka ‘seorang martir’ atau ‘pengkhianat’ . Apakah mereka seharusnya mereka diadili di pengadilan sipil atau militer ketika dideportasi ke AS. Tapi yang saya yakini seperti yang mereka katakan bahwa jihad bukan terorisme," tukas Ali.
Ali menegaskan bahwa istilah terorisme itu sendiri belum jelas definisinya bahkan PBB belum sepakat soal definisi terorisme. Ia mengutip isi Al-Quran yang menyebutkan bahwa seorang Muslim yang beriman lebih dekat pada Allah dibandingkan mereka yang tidak beriman. Seorang Muslim yang beriman harus bersedia mengorbankan harta, waktu, keluarga bahwa hidupnya untuk melawan ketidakadilan.
"Saya mungkin belum cukup beriman untuk mengorbankan harta, keluarga atau hidup saya. Tapi saya akan melanjutkan jihad saya di depan Gedung Putih pada pekan ini dengan tenang, damai dan sendirian saja," tandas Ali. (ln/isc/twp)