Salat Jumat di Islamic Center di Washington baru saja usai siang itu. Para jamaah bersiap-siap meninggalkan masjid ketika Imam salat mengumumkan akan mengenalkan seorang “saudara seiman” yang baru lewat pengeras suara.
Kala itu, bulan Juli tahun 2008. Di samping imam masjid, duduk seorang lelaki mengenakan celana jeans dan kemeja. Para jamaah masjid menjadi saksi ketika sang imam menuntun lelaki itu mengucapkan dua kalimat syahadat dalam bahasa Arab dan Inggris. Setelah prosesi itu selesai, pekikan Allahu Akbar menggema di dalam dan di luar masjid menyambut kehadiran seorang muslim baru (mualaf) di tengah komunitas Muslim Amerika. Para jamaah masjid pun membuat antrian panjang untuk memberikan selamat pada lelaki yang baru saja mendeklarasikan dirinya sebagai muslim.
Tapi siapa lelaki yang baru saja mengucapkan syahadat itu. Dia adalah Jefferson Pinder, seorang profesor di jurusan seni Universitas Maryland. “Saya takjub,” kata Pinder saat berada di halaman masjid sambil menerima ucapan selamat dari jamaah masjid di Washington yang bahkan belum ia kenal sebelumnya.
“Saya kira, mendatangi sebuah tempat ibadah dan berjumpa dengan beragam orang merupakan sesuatu yang menakjubkan sepanjang pengalaman hidup saya yang dibesarkan sebagai penganut Kristen,” kata Pinder, warga Amerika keturunan Afrika.
Perjalanan mencari jati diri Profesor Pinder membawanya pada agama Islam. “Sebuah perjalanan yang panjang, berawal dari perjlanan ke Senegal,” ungkap Pinder yang mengaku kagum melihat nilai-nilai dan disiplin orang-orang Islam yang pernah dijumpainya.
Ia mengatakan, “Saya seorang artis dan saya pernah bekerjasama dengan banyak seniman, termasuk seniman Muslim. Merekalah yang memotivasi saya. Saya melihat bagaimana mereka menjalani kehidupan ini.”
“Ketika saya datang ke sini, ke Universitas Maryland tempat saya mengajar, salah seorang mahasiswa adalah seorang muslimah. Ia menciptakan karya seni dengan sentuhan Islam, yang membuat hati saya tergerak. Saya menemui keluarganya dan mereka dengan sikap terbuka membawa serta membimbing saya ke jalan ini,” tutur Pinder.
Ia mengaku mengaku kagum dengan nilai-nilai, disiplin dan kebaikan kaum Muslimin yang tetap taat dan serius terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan mereka. “Sebuah nilai-nilai asli dari komunitas yang tidak hanya melakukan kewajiban salat, tapi lebih dari itu. Komunitas Muslim adalah sebuah komunitas yang selalu berpikir tentang masyarakat dan ingin menjadi bagian dari masyarakat itu,” tukas Pinder.
Ia berharap keislamannya tidak mempengaruhi hubungan dengan keluarganya. Ayah Pinder adalah seorang pemuka agama Katolik dan Pinder yakin ayahnya bisa memahami keputusannya masuk Islam.
“Saya kira, ayah saya menyadari bahwa Islam memberikan sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh ajaran Kristen dan pada saat yang sama ia juga akan menyadari bahwa banyak kesamaan antara kedua agama itu, dan itu akan tetap membuat hubungan kami kuat,” ujar Pinder.
Pinder melihat keputusannya menjadi seorang muslim sebagai awal dari fase baru kehidupannya. “Ini kesempatan luar biasa bagi saya untuk lebih mengenal diri saya lagi, setelah kehilangan arah selama bertahun-tahun,” ungkapnya.
“Kadang saya berpikir bahwa hidup kita akan kacau di tengah budaya Amerika dan tidak memikirkan ada alternatif lain, cara lain untuk belajar dan cara lain untuk menjalani sebuah kehidupan.”
“Maka, hari ini, saya datang ke sini dan pelan-pelan belajar sebuah cara baru dalam melihat kehidupan dan saya berharap ini akan membuat saya menjadi orang yang lebih kaya,” imbuh Pinder.
Ia menegaskan, masih banyak yang harus ia pelajari tentang agama Islam yang menjadi keyakinan barunya. “Saya baru memulai sebuah proses … ini seperti menceburkan diri ke sebuah samudera dan berusaha untuk berenang di dalamnya,” tukas Pinder yang baru akan belajar tatacara salat.
Untuk belajar banyak hal tentang kewjiban dalam Islam dan bahasa Arab, Pinder akan dibimbing dua orang mentor. “Saya seperti baru lahir saja,” kata Pinder. (ln/oi)