Awal tahun 2002, Karen Bujairami sedang terburu-buru menuju ruang kuliah akuntansi. Ia baru saja pindah tempat tinggal dan hari itu adalah hari pertamanya di kelas yang baru. Sebagai orang baru, ia belum punya kenalan dan belum terbiasa dengan tempat kuliahnya.
Sekitar 15 menit kuliah berjalan, seorang gadis masuk ke ruang kuliah, ia terlambat datang ke kelas. Karena tidak terlalu memperhatikan gadis itu, sampai akhirnya ia mengenalnya sebagai Fatima, seorang muslimah asal Lebanon dan berjilbab.
Hari itu, Karen akan mengikuti mata kuliah kedua. Ia melihat Fatima saat masuk kelas dan hatinya tiba-tiba merasa “terikat” dengan gadis muslim itu. Karen lalu bertanya apakah ia boleh duduk di sebelah Fatima. Itulah awal persahabatan Karen dan Fatima. Mereka berdua sangat akrab seolah tak bisa terpisahkan, sehingga para dosen kerap mengomentari mereka dan bertanya apakah mereka berdua bersaudara kandung.
Kala itu, Karen masih memeluk agama Kristen, tapi ia tertarik untuk mempelajari agama Islam yang dianut Fatima. “Fatima selalu menjawab keingintahuan saya dan matanya selalu memancarkan semangat ketika bicara tentang Islam. Hal itu membuat saya kagum, karena saya sendiri tidak terlalu bersemangat dengan agama saya sendiri,” kata Karen.
Ia mengaku sering terlibat perdebatan sengit dengan Fatima saat membahas masalah agama. Perdebatan itu kadang berakhir dengan kemarahan Karen, karena ia tidak mampu memberikan jawaban atau memberikan argumen dalam banyak topik pembicaraan. Karen juga kadang merasa kesal sendiri karena ia tidak mampu memberikan jawaban yang tepat terkait agama Kristen, agamanya sendiri.
“Saya sangat menghormati Fatima. Saya masih ingat ketika melihat Fatima berwudu dan salat lima waktu sehari, tetap berjilbab di tengah musim panas dan tidak pernah menyebut-nyebut dirinya sedang berpuasa saat bulan Ramadan. Sedangkan saya, berusaha keras untuk bisa rajin gereja setiap minggu, meski saya merasa sebagai penganut Kristen yang taat,” ujar Karen.
Karen mengungkapkan, meski agama mereka berbeda, ia dan Fatima punya banyak kesamaan dalam banyak hal. Karen misalnya, tidak pernah berkumpul dengan teman-teman lelakinya, tidak suka mengenakan pakaian yang agak “terbuka” dan itu membuat Fatima merasa nyaman berteman dengan Karen.
Mimpi Itu
Suatu hari, Karen dan Fatima sedang berjalan berdua di kampus, menuju ke tempat mereka biasa menikmati makan siang. Mereka berdua sudah sering melakukannya, tapi hari itu, Karen merasakan sesuatu yang menarik perhatiannya. Sesuatu yang mengingatkannya pada mimpi-mimpi yang selalu hadir dalam tidurnya, di awal tahun sebelum ia memulai kuliahnya di kampus itu.
Dalam mimpinya, Karen berjalan bersama dengan seorang perempuan yang mengenakan jilbab. Gadis berjilbab itu berjalan di sisi kanannya. Karen melihat area yang ia lewati saat berjalan dengan gadis itu dalam mimpinya, sama persis dengan area yang ia lihat sekarang, saat berjalan dengan Fatima.
“Orang biasanya tidak terlalu menaruh perhatian pada mimpi, tapi apa yang terjadi hari itu membuat saya syok. Saya menghentikan langkah dan berkata pada Fatima ‘Oh Tuhan, Oh Tuhan. Saya pernah melihat ini semua dalam mimpi-mimpi saya dulu’,” imbuh Karen.
Saat itu, Karen tidak pernah teman seorang muslim, atau bergaul dengan Muslim. Bermimpi tentang muslim sungguh aneh buat Karen. Tapi apa yang ia lihat dalam mimpinya, benar-benar sama dengan apa yang terjadi siang itu, saat ia berjalan di kampus bersama Fatima.
“Orang mungkin berpikir itu cuma mimpi, siapa yang peduli. Tapi saya meyakini, mimpi itu murni petunjuk dari Tuhan dan atas kehendakNya, persahabatan saya dengan Fatima adalah sebuah perkenalan saya dengan Islam,” ujar Karen.
Sejak hari itu, dengan alasan yang Karen sendiri tidak memahaminya, ia makin tertarik dan lebih tertarik lagi pada Islam. Karen mulai banyak melontarkan pertanyaan tentang Islam, dan makin kehilangan kehilangan keyakinannya pada agamanya sendiri. Karen memegang teguh prinsip hidupnya, jika ia ragu dengan agamanya sendiri, maka ia harus mencari jawaban atas keraguannya itu dan pasti ada sesuatu yang salah dengan agama yang membuatnya ragu.
Karen lalu mendapat sebuah DVD dari Fatima, DVD Syaikh Ahmad Deedat yang berdebat dengan sejumlah pendeta Kristen. Setelah menyaksikan DVD itu, Karen menyadari bahwa agama yang dipeluknya bukanlah agama yang benar, karena para pendeta Kristen yang ia lihat di DVD itu tidak bisa memberikan jawaban meyakinkan terhadap pertanyaan-pertanyaan seputar ajaran Kristen, yang selama ini diyakini Karen sebagai agamanya.
Waktu itu, Karen hidup bersama dengan mantan pacarnya yang juga seorang Kristiani yang taat. Lelaki itu mencoba menenangkan Karen dan menuding Fatima sudah menyuci otak Karen dengan ajaran Islam. Karen yang masih bingung, mendatangi Fatima keesokan harinya dan mengatakan bahwa ia tidak mau membicarakan soal agama lagi.
“Fatima merespon perkataan saya dengan tenang. Ia mengatakan, ‘Kewajiban saya untuk menyampaikan pesan-pesan Islam, jika kamu tidak mau menerimanya, itu adalah pilihanmu. Tapi saya sudah melakukan kewajiban saya. Jadi, di hari Kiamat nanti, kamu tidak menuduh bahwa saya tidak menyampaikan pesan Islam itu,” tutur Karen menirukan jawaban Fatima.
Hidayah yang Indah
Tahun berganti tahun, Karen dan Fatima tetap bersahabat baik. Karen mulai sering menghabiskan waktunya bersama keluarga Fatima. Melihat sikap dan perilaku keluarga Fatima, apresiasi Karen terhadap Islam makin bertambah.
“Saya senang menghabiskan waktu dengan keluarga Fatima. Mereka tidak minum minuman keras, tidak melakukan hal-hal yang haram. Saya merasa itulah masa-masa terbaik sepanjang hidup saya. Selama delapan tahun, saya melewati banyak tahapan dan saya meyakini, ini adalah kehendak Tuhan, ini adalah ujian-Nya untuk menunjukkan dan membimbing saya pada jalan Islam,” tukas Karen.
Tahap pertama, kata Karen, adalah ketidaktahuannya, ia menolak semua agama, termasuk Kristen atau Islam. Ia tidak mau menerima ajaran apapun dari kedua agama itu. Tahap kedua, merupakan tahap pemberontakannya. “Saya mulai berontak, melawan orang-orang yang saya cintai dan menyerahkan diri pada hasutan-hasutan setan,” ujar Karen.
Tahap pemberontakan itu mencapai puncaknya pada tahun 2008, yang ia sebut sebagai tahun terburuk. Karena mengalami banyak masalah dan ia berjuang untuk mengatasinya sendiri. Kehidupan Karen mencapai titik terendah. Ia memutuskan hubungan dengan kekasihnya yang sudah terjalin selama 7 tahun, pekerjaannya kacau, kehilangan teman yang baik dan bergaul dengan orang-orang yang buruk dan hubungan dengan keluarganya juga jadi memburuk. Saat itu, Karen sembunyi dari Fatima. Karen merasa bersalah dan ia tidak mau sahabatnya itu kecewa melihat perilaku buruknya.
Tahap ketiga kehidupan Karen adalah tahap “terbangun dari tidur’. Karen bertemu dengan seorang muslim lagi, yang berani memaksanya untuk menghentikan perilaku buruknya. Bagi Karen, apa yang dilakukan muslim itu sedikit kasar, tapi saat itu Karen tidak mau mendengar nasehat siapa pun. Ia bersyukur akhirnya ada orang yang bisa “memaksa” dan “mengontrol” dirinya sehingga ia bisa keluar dari kehidupannya yang kacau.
“Di hari saya menyaksikan DVD Ahmad Deedat, saya sudah tahu bahwa saya akan menjadi seorang muslim. Saya cuma perlu tekad yang bulat untuk menuju arah yang benar. Tuhan bekerja dengan caranya yang terbaik. Dia menunjukkan Islam pada saya delapan tahun yang lalu, ketika saya pertama kalinya bermimpi tentang seorang muslimah berjilbab yang kemudian menjadi sahabat baik saya …”
“Dia menunjukan pada saya bagaimana rasanya tidak percaya dengan apapun. Dia menunjukkan pada saya, seperti apa rasanya menjalani gaya hidup yang haram, dan sekarang ia menunjukkan pada saya, bagaimana rasanya menjalani kehidupan yang halal dan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki dari kehidupan yang halal itu,” papar Karen.
Akhirnya, pada tanggal 1 Januari 2009, Karen mengucapkan dua kalimat syahadat, disaksikan oleh ayahnya dan sahabatnya, Fatima. “Alhamdulillah, saya bangga menjadi seorang muslim,” tandas Karen Bujairami. (ln/oi)