Meski pernah menjadi pusat kekhalifahan Islam, di negara sekular Turki isu-isu agama menjadi isu yang sangat sensitif, termasuk isu jilbab. Namun bagi Muslimah-Muslimah Turki yang memiliki keimanan yang teguh, jilbab tetap mereka gunakan meski resikonya mereka tidak bisa kuliah di perguruan tinggi. Para Muslimah itu juga tak lelah memperjuang hak berjilbab di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim itu.
Hawa Yilmaz, tidak pernah menyesali keputusannya mengenakan jilab ketika ia berusia 16 tahun. Meski ketika itu belum tidak menyadari, bahwa keputusannya itu akan membawa perubahan pada dirinya. Sebuah keputusan yang kemudian membawanya menjadi seorang Muslimah yang ikut memperjuangan hak-hak berjilbab bagi Muslimah di negerinya, Turki.
Seperti kebanyakan remaja umumnya, Yilmaz merasa bingung dengan karakter dan jati dirinya. Ia merasa tidak ada ketulusan dan penuh kepura-puraan dalam hidup ini. Hingga ia memutuskan untuk mengenakan jilbab.
"Setelah saya mengenakan jilbab, saya akhirnya menemukan jati diri saya," kata Yilmaz
Namun, seiring dengan bertambahnya usia, Yilmaz menemui banyak kendala yang dihadapinya karena ia berjilbab. Terutama ketika ia ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi karena Turki melarang Muslimah mengenakan jilbab di sekolah maupun universitas. Orangtua Yilmaz sangat marah ketika ia keluar dari sekolah. Tapi Yilmaz tidak mau menuruti aturan sekolah yang mengharuskannya melepas jilbab.
Keluar dari sekolah, Yilmaz yang tetap berjilbab ikut dalam kelompok pembaca filosofi politik dan banyak mempelajari pemikiran dan buku-buku yang ditulis para pemikir serta filsuf Barat yang terkenal. Yilmaz juga mengambil kelas sosiologi di sebuah lembaga pendidikan.
Dengan sikap relijius dan rasa percaya dirinya yang tinggi, Yilmaz mulai menemukan jalan untuk ikut serta dalam aktivitas-aktivitas politik dan hak asasi di negaranya. Ia ikut mengkampanyekan agar kampus-kampus mengizinkan mahasiswinya mengenakan jilbab.
Ketika Partai Pembangunan dan Keadilan (AK)-partai yang sekarang berkuasa di Turki-mengajukan draft undang-undang untuk melindungi hak berjilbab, Yilmaz dan dua orang sahabatnya ikut long-march ke Istanbul untuk mendukung draft tersebut.
"Rasa menyakitkan saat kita mengalami situasi dimana pintu-pintu universitas dengan kasar ditutup tepat di muka kita, mengajarkan kami satu hal, bahwa problem kita yang sesungguhnya adalah mental melarang, sikap mental yang merasa punya hak untuk mengintervensi kehidupan orang lain," ujar Yilmaz.
Pernyataan-pernyataan Yilmaz dan dua rekannya yang menyentuh, membuat ketiganya kerap diundang dalam program talk-show di televisi dan diwawancarai oleh koran dan radio.
Yilmaz, adalah sosok muda yang mulai banyak tumbuh di Turki, yang buka semata-mata memperjuangkan Islam. Mereka adalah anak-anak muda yang menuntut persamaan hak untuk semua kelompok minoritas. Yilmaz dan rekan-rekannya membentuk organisasi Young Civilians, sebuah kelompok yang mengkritisi isu-isu nasional di Turki, misalnya sikap Turki terhadap kelompok minoritas Kurdi di negeri itu.
Meskipun kampanye jilbab belum sukses, Yilmaz menyatakan tidak akan pernah menyerah. "Apa yang kita lakukan adalah sesuatu yang berharga. Banyak orang yang mendengar suara kita. Jika kita bekerjasama, kita bisa memperjuangkannya," tandas Yilmaz.
Seperti diketahui, bulan Juni kemarin, pengadilan tertinggi di Turki menganulir undang-undang yang telah dimenangkan Partai Pembangunan dan Keadilan. Dengan adanya undang-undang itu, seharusnya sekolah dan universitas-universitas di Turki mencabut larangan berjilbab. Tapi setelah undang-undangnya dianulir atas tuntutan kelompok sekuler di Turki, larangan berjilbab tetap diberlakukan. Perjuangan para aktivis jilbab di Turki pun nampaknya masih panjang. (ln/iol)