Dia tidak ingin merepotkan ibunya untuk membeli dapur baru lengkap dengan peralatan yang berbeda. Namun, ibunya memahami sehingga ketika memasak makanan untuk Mak dia memasak dengan cara yang berbeda.
Begitu juga ketika berkunjung ke rumah neneknya. Neneknya memahami cara hidup seorang Muslim. Sehingga ketika makan bersama di meja makan terhidang dua makanan yang berbeda.
Menjadi seorang Muslim China juga memberi Mak perspektif unik tentang perjuangan komunitas Muslim, seperti menemukan tempat makan di Singapura. “Makanan halal tidak murah. Setidaknya dua hingga tiga dolar lebih mahal rata-rata per makan. Dan ketika saya menyadari saya hanya bisa makan dari satu restoran di sekolah saya selama empat tahun berikutnya dalam hidup saya, saya seperti(menghela nafas),” katanya.
Mak mengaku antusias menyambut Idul Fitri dan Idul Adha. Namun, biasanya dia menghabiskan Hari Raya sendirian karena kebanyakan orang sibuk dengan keluarganya masing-masing.
“Saya biasanya menghabiskan waktu sendiri atau bersama beberapa teman yang tidak bisa berkumpul bersama keluarga,” katanya.
Mak tidak terlihat seperti tipikal Muslim atau Melayu di Singapura. Ia bersyukur, terhindar dari perundungan yang sering dihadapi rekan-rekan Muslimnya sehari-hari.
Namun, ketika seorang sopir taksi mengetahui Mak adalah seorang Muslim, ia memperingatkannya untuk berhati-hati karena ‘Islam selalu mendapatkan sesuatu’. Dia tidak menjelaskan lebih lanjut, tetapi jelas bagi Mak ke mana arah pembicaraan itu.
“Ini membuka mata saya pada kesulitan yang dialami umat Islam di sini. Dan ini adalah hal-hal yang tidak harus dipikirkan oleh non-Muslim,” katanya. (rol)