Guratan penasaran dari wajah peserta karena diskusi yang terputus dilantai 2 masih tersisa saat semua peserta, baik putra maupun putrid, kembali ke ruang workshop di lantai dasar. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama karena pemandu acara mengumumkan bahwa program berikutnya adalah diskusi dan tanya-jawab dalam kelompok kecil.
Para peserta segera membentuk beberapa kelompok kecil dengan anggota gabungan. Gabungan anggota diskusi tersebut terdiri dari 3-5 orang bukan muslim dan 3-4 muslim/muslimah internasional, yang salah satunya harus muslim/muslimah Jepang. Pada kesempatan diskusi kali ini, kelompok kami terdiri dari 5 orang Jepang bukan muslim dan 4 muslimah (Jepang, Indonesia dan 2 Mesir).
Diskusi yang Hidup
Berbeda dengan diskusi pada workshop 1, pada diskusi kali kami bisa bertanya balik ke peserta hingga suasananya lebih interaktif dan akrab. Salah satu peserta dalam kelompok kami rupanya adalah seorang wartawati yang sudah sering melanglang ke negara-nagara Asia maupun Eropa. Kami merasa diuntungkan dengan keberadaannya karena dia ikut aktif menjawab pertanyaan dari peserta lain sebelum kami hingga menambah semarak acara diskusi di kelompok kami.
Sebagai contoh, saat ada pertanyaan tentang mengapa sebagaian wanita muslimah ada yang bercadar? Dengan ringannya wartawati itu langsung berujar bahwa sebenarnya itu merupakan kelebihan untuk pihak wanita. Dia menamakan kelebihan tersebut sebagai “power” wanita bercadar karena sang wanita bebas mengamati dan melihat apa saja disekelilingnya; sementara tidak demikian halnya dengan orang yang menatapnya. Mereka hanya akan melihat mata dan sosoknya saja. Kami mengiyakan jawabannya dan peserta lain tampak menemukan sebuah jawaban yang sangat logis dan masuk diakal. Apalagi saat wartawati tersebut mengungkapkan pengalamanya saat mencoba busana muslimah tersebut di salah satu negara yang dikunjunginya. Tentu saja kami juga menyelipkan beberapa gambaran dan alasan kenapa seseorang memilih untuk memakai cadar.
Pengalaman Menarik Sang Wartawati
Sebuah pengalaman menarik sempat terjadi pada sang wartawati saat dia berada di Filipina. Karena cuaca sangat panas, dia memutuskan untuk memakai penutup kepala seperti jilbab, lengkap dengan cadar karena hendak melindungi kepala dan wajahnya dari teriknya sinar matahari. Uniknya, dia memadukan perlengkapan hijab tersebut dengan celana pendek dan T-shirt pendek khas musim panas. Penampilannya tersebut menuai teguran dari warga muslim setempat karena mereka mengira bahwa sang wartawan adalah seorang muslimah dengan gaya baru.
Kami semua tertawa mendengar penuturannya. Lalu dengan sediplomatis mungkin kami berujar, “Kalau begitu sebenarnya anda sadar juga ya bahwa busana muslimah itu sebagai pelindung diri?” dia mengangguk sambil tersenyum. Kami juga menyarankannya untuk mencoba saja hal serupa di Jepang, pasti tidak akan ada yang protes, kata kami diselingi tawa para peserta.
“Atau anda juga boleh mencoba busana muslimah lagi saat diluar negeri tapi yang selengkapnya. Dan mohon jangan berbuat tidak baik saat mengenakannya karena itu akan merugikan nama kami” timpal kami sambil tersenyum. Sang wartawati tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kesan-kesan
Berikutnya, kami bertanya balik tentang apa yang ada di benak mereka sebelum datang ke Masjid. Salah seorang peserta mengungkapkan bahwa dalam benaknya, Masjid adalah sebuah bangunan yang dalamnya gelap dan tidak moderen atau (maaf) kumuh. Tapi pandangan tersebut langsung berubah saat mereka masuk dan mendapati fasilitas yang bagus dan moderen; sama seperti bangunan-bangunan lain yang biasa mereka lihat selama ini. Ada juga peserta yang berujar bahwa “Muslim juga ternyata sama dengan kami ya, orang biasa!” “Tentu saja!” jawab kami sambil tersenyum.
Tiba-tiba sang wartawati menyahut lagi “Tapi orang-orang ini muslim yang taat loh, karena tidak satupun dari mereka memakai make-up”. Kontan saja komentarnya disambut dengan pertanyaan dari peserta lain. “Memang wanita Islam tidak boleh berdandan ya?” Tanya seorang peserta antara terkejut dan ingin tahu. “Tentu saja boleh” ujar teman saya, “tapi kami berdandan hanya dirumah saat bersama suami atau keluarga dekat saja”.
Seorang wanita muda langsung menyahut “Wach kebalikan dengan kami. Kalau kami berdandan saat keluar rumah karena kami ingin memperlihatkan kecantikan kami kepada orang lain dan agar merekapun menikmati keindahan yang ada pada kita. Saat dirumah, baru kami apa adanya tanpa make-up”. Kami semua tersenyum maklum mendengar uraiannya.
“Apa kesan anda sebagai muslim yang tinggal di Jepang ini, kira-kira apa kelebihan dan kekurangan/tantangannya?” seorang peserta balik bertanya kepada kami. Jawaban-jawaban dari kami sungguh membuat mereka terkejut dan sekaligus senang. Beberapa jawaban tersebut adalah sebagai berikut.
- Kelebihan tinggal di Jepang: udara yang bersih, fasilitas pemandian air panas untuk keluarga, taman-taman yang bagus dan luas, lingkungan tenang, orang Jepang yang rata-rata baik dan sopan, kebebasan individu yang dalam banyak hal menguntungkan kaum muslim untuk menjalankan ibadahnya sepanjang tidak mengganggu kepentingan umum.
- Tantangan tinggal di Jepang: masalah makanan harus benar-benar selektif, bahasa
Forum diskusi diakhiri dengan laporan singkat dari tiap kelompok tentang hal-hal menarik yang berkembang dalam diskusi kelompok. Kemudian acara ditutup oleh panitia penylenggara dan para hadirin dipersilahkan untuk menikmati jamuan makan malam internasional di lantai 3.
Jamuan Makan Malam
Rata-rata peserta merasa terkejut dan sekaligus senang saat mendengar bahwa ada jamuan makan malam diakhir acara. Semua masakan andalan dari Banglades, Indonesia, Jepang, Malaysia dan Mesir meramaikan sajian di meja. Mereka sangat menikmati hidangan dari berbagai negara yang kami sajikan.
Acara makan malam yang dijadwalkan selesai jam 18.30 molor sampai hampir jam 19.30 malam karena beberapa tamu masih tetap tinggal dan menikmati jamuan dan bincang-bincang santai dengan muslimah internasional maupun sesama peserta. Mendekati jam 20.00, tamu satu-persatu mulai minta diri.
***
Malam itu terasa sangat spesial bagi sahabat Banglades saya yang duduk menikmati makan malam disudut ruangan. Wajahnya tampak cerah dan tak henti-hentinya bersyukur karena malam itu, 4 orang temannya ikut berpartisipasi dalam acara workshop. Padahal, biasanya dia selalu jadi “single fighter” di setiap acara dakwah internasional maupun beberapa acara lainnya. Saya yang duduk disebelahnya ikut merasakan pancaran kebahagiaan di matanya yang terus tersenyum.
Selain itu, malam itu juga banyak teman mualaf Jepang yang ikut berpartisipasi. Jumlahnya jauh melebihi muslimah Jepang yang berpartisipasi di workshop pertama, Alhamdulillah. Banyak diantara mereka yang tinggal sampai acara bersih-bersih dan beres-beres. Jalinan ukhuwah terasa begitu indah dan akrab karena kami bekerja sama diselingi canda dan senda gurau yang saling menyemangati.
Dalam hati saya berdoa, semoga acara dakwah seperti ini bisa terus berlanjut dan memperkuat jalinan ukhuwah kami semua; disamping memperluas gaung syiar Islam di bumi Sakura, InshaAllah,amin.
Teriring juga harapan dan doa agar workshop serupa kedepannya bisa lebih ditingkatkan lagi baik dari segi kualitas, manajemen dan variasi program maupun kuantitas peserta yang hadir, InshaAllah, amin.
Fukuoka, Awal Juni 2010.
Hanik Utami Morise