Sejak kecil, Aisha sudah tertarik dengan filsafat dan sains karena ia ingin memahami bagaimana sesuatu bekerja dan menganalisa bagaimana kehidupan dunia ini berjalan. Usia 15 tahun, Aisha mulai mengeksplorasi dan mempelajari beragam agama dan sering melontarkan pertanyaan kritis tentang kehidupan serta ajaran Gereja Katolik, agama yang dianutnya sebelum ia masuk Islam. Itulah sebabnya, meski berlatar belakang pendidikan sains, Aisha lebih senang melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan aktivitas kemanusiaan. Pekerjaannya inilah yang membawanya keliling dunia dan mengantarkannya pada ajaran Islam.
Sebagai humanis, Aisha pertama kali melakukan perjalanan ke Nepal dan India. Di kedua negara ini, ia merasakan kehidupan yang berbeda. Di kedua negara itu, ia melihat kehidupan manusia yang sangat sederhana jauh dari modernitas dan materialistis seperti yang ia jumpai di negeri asalnya, Australia. Pengalaman ke Nepal dan India meninggalkan kesan mendalam bagi perempuan kelahiran Melbourne itu dan ia merasakan bahwa sesungguhnya seluruh manusia memiliki derajat yang sama.
Ketika masuk Islam, Aisha baru paham bahwa saat itu ia sudah merasakan Islam karena Islam mengajarkan bahwa derajat manusia itu sama, hanya amal ibadah masing-masing orang yang membedakannya. Tapi ketika itu Aisha belum mengerti dan menganggap perasaan itu biasa-biasa saja.
Pulang dari Nepal dan India, Aisha mendaftarkan diri pada lembaga pelatihan kerja sosial. Setelah pelatihannya selesai, ia bekerja dengan beragam komunitas. “Saya bekerja untuk masyarakat yang termarginalkan, masyarakat yang tidak berdaya untuk menyuarakan keinginannya, bekerja untuk orang-orang yang mengalami sakit mental, cacat dan anak-anak muda yang rentang melakukan tindak kriminal,” tutur Aisha.
“Saya ingin banyak memberi pada orang lain. Saya berpikir, makin banyak orang yang saya bantu, makin banyak pula orang yang akan membantu saya. Perasaan saya terhadap Islam saat itu makin kuat,” sambungnya.
Ia lalu bekerja pada komunitas Arab di Melbourne dan berteman dengan banyak Muslim. “Mereka tidak pernah membicarakan Islam pada saya dan setelah empat tahun bekerja, saya memutuskan untuk pergi ke Timur Tengah agar bisa lebih banyak belajar,” ungkap Aisha.
Enam bulan ia berkeliling Timur Tengah, Aisha mulai menaruh perhatian pada Islam. “Saya bicara dengan banyak orang tentang Islam selama berkeliling di Timur Tengah. Saya merasa sulit sekali untuk mengubah identitas saya sebagai seorang humanis spiritual untuk menjadi seorang Muslim. Tapi saya tidak bisa menghindar, Islam sudah menarik saya begitu dalam,” ungkap Aisha.
Ia merasa telah menemukan apa yang dicari seumur hidupnya dalam Islam, karena dalam Islam derajat manusia sama dan tidak mengenal hirarki. Islam juga mengajarkan kedekatan seseorang pada Sang Pencipta. “Tidak ada perantara antara kita dan Tuhan,” ujarnya.
Sepulangnya dari Timur Tengah, Aisha belum bisa memutuskan apakah akan memeluk Islam. Dan ia baru memutuskan untuk menjadi seorang Muslim pada 11 Agustus 2009. “Indah sekali. Saya mengucapkan syahadat dan bisa tidur dengan senyum di bibir saya,” kenang Aisah.
Aisah menyatakan bangga menjadi seorang muslimah. Setelah masuk Islam, banyak perubahan terjadi dalam dirinya. Ia kini merasa lebih dekat pada Allah, merasa lebih kuat sebagai seorang perempuan dan lebih menyadari apa perannya sebagai muslimah.
Di sisi lain, Aisah merasa sedih karena hubungannya dengan keluarga dan banyak teman jadi jauh. Perasaan terisolasi terutama ia rasakan saat Ramadan. “Buat saya situasi semacam ini sangat berat. Ramadan pertama saya sangat sulit. Tapi Allah selalu membimbing dan menguatkan saya,” imbuhnya.
Aisah menghadapi beragam reaksi yang negatif dari keluarganya ketika tahu ia masuk Islam. Ibunya khawatir jika Aisah mengenakan jilbab dan tidak senang dengan Islam karena Islam membolehkan kaum lelaki beristeri empat. Ayah Aisah sangat marah begitu tahu puterinya menjadi seorang Muslim. Sang ayah selalu menyinggung soal penindasan perempuan dan terorisme jika bicara soal Islam. Saudara perempuan Aisah, bisa menerima keislamannya tapi tetap khawatir pada Aisah.
“Saat itu, saya mengalami pasang surut. Setiap hari berubah-ubah. Saya seperti sebagai seorang minoritas, meski saya sering berkumpul dengan sesama muslimah yang begitu hangat dan perhatian pada saya. Kadang saya merasa sendirian dan takut,” ungkap Aisah.
Tapi Aisah tak mau mundur. Ia yakin Allah Swt selalu bersamanya. Setiap merasa takut, ia langsung mengingatkan dirinya pada Allah yang telah membawanya pada cahaya Islam dan saat itu pula ia mengucap syukur Alhamdulillah.
“Saya berharap bisa mengenakan jilbab suatu saat nanti, karena saya suka mengenakan jilbab. Tapi di tengah lingkungan saya sekarang ini, saya masih takut mengenakannya,” tukas Aisah. (readislam)