Mereka, generasi pertama itu, memandang al-Qur’an bukan untuk tujuan menambah pengetahuan atau memperluas pandangan. Bukan untuk tujuan menikmati keindahan sastranya dan menimati rasa nikmat yang ditimbulkannya. Tidak ada di antara mereka yang mempelajari al-Qur’an untuk menambah perbendaharaan ilmu hanya karena ilmu saja. Bukan untuk menambah perbendaharaannya dalam masalah ilmu pengetahuan dan ilmu fikih. Sehingga otaknya menjadi penuh.
Mereka mempelajari al-Qur’an untuk menerima perintah Allah tentang urusan pribadinya, tentang urusan golongannya di mana ia hidup, tentang persoalan kehidupan yang dihidupinya. Ia dan golongannya. Ia menerima perintah untuk segera dilaksanakan setelah mendengarnya. Persis sebagaimana prajurit lapangan menerima “perintah harian”nya untuk dilaksanakan setelah diterima. Karena itu, tidak seorangpun yang meminta tambah perintah sebanyak mungkin dalam satu pertemuan saja. Karena ia merasa hanya akan memperbanyak kewajiban dan tanggung jawab di atas pundaknya. Ia merasa puas dengan kira-kira sepuluh ayat saja, dihafal dan dilaksanakan.