Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ustadz, pertanyaan saya singkat saja, wajibkah beasiswa untuk melanjutkan sekolah diambil zakatnya? Bila iya, bagaimanakah perhitungannnya?
Terima kasih banyak atas bantuannya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Di dalam masalah zakat modern dewasa ini, berkembang beberapa paham baru tentang zakat. Misalnya, dahulu belum dikenal zakat profesi secara baku di dalam karya klasik fiqih Islam, namun sekarang bermunculan ijtihad tentang wajibnya zakat profesi.
Demikian juga halnya dengan zakat dari beasiswa. Yang ini malah lebih tidak lazim lagi ketimbang zakat profesi.
Tentu saja ijtihad itu dibuat bukan asal-asalan. Yang berijtihad pun bukan orang sembarangan. Sehingga kalau pun ijtihad itu diikuti, insya Allah bukan termasuk bid’ah atau mengada-adakan sesuatu yang baru.
Namun meski demikian, tetap saja ada kalangan ulama yang tidak sepenuhnya sependapat dengan adanya zakat model baru. Termasuk zakat profesi. Yang menolak keberadaan zakat profesi ini tidak kalah banyaknya. Dan yang menolak adanya kewajiban zakat dari beasiswa juga lebih banyak lagi.
Kalau pun ada sebagian ulama yang mewajibkan zakat profesi, maka landasannya memang sangat masuk akal dan nalar. Sebab dalam banyak kasus, para pekerja profesional memang umumnya jauh lebih berada dan lebih banyak duitnya dari pada petani, peternak, pedagang kecil dan lainnya.
Maka sangat masuk akal bila para profesional yang duitnya bertumpuk diwajibkan untuk berzakat lewat zakat profesi.
Tapi dari mana logikanya kalau kita harus mewajibkan zakat kepada para pelajar dan mahasiswa, yang kantongnya senin kamis?
Bukankah mereka itu justru mendapat beasiswa karena mereka tidak mampu? Kalau orang sudah tidak mampu, lalu dapat sedekah berupa beasiswa, maka tidak perlu lagi dimintai sedekah (zakat) lagi.
Sebab tidak semua harta yang dimiliki wajib dizakatkan. Paling tidak ada 5 kriteria harta yang wajib dizakatkan. Dua di antaranya yang paling terkait dengan apa yang anda tanyakan adalah masalah
1. Harta itu memenuhi jumlah standar minimal (nisab)
Bila suatu harta belum memenuhi jumlah tertentu, maka belum ada kewajiban zakat atas harta itu. Namun sebaliknya, bila jumlahnya telah sampai pada batas tertentu atau lebih, barulah ada kewajiban zakat atasnya. Jumlah tertentu ini kemudian disebut dengan istilah nisab.
Bila jumlah beasiswa belum memenuhi standar nisab, otomatis tidak ada kewajiban untuk bayar zakat.
2. Harta itu telah melebihi kebutuhan dasar
Harta baru diwajibkan untuk dizakatkan, manakala pemiliknya telah terpenuhi hajat dasarnya atas harta itu. Sebagaimana ditetapkan oleh mazhab Al-Hanafiyah dalam kebanyakan kitab mereka.
Sebab bila seseorang yang punya harta banyak, namun dia juga punya hajat dasar atau tanggungan yang lebih banyak lagi, maka pada hakikatnya dia justru orang yang kekurangan.
Yang dimaksud dengan kebutuhan atau hajat dasar tentu saja relatif, namun bukan berarti setiap orang berhak menentukan sendiri apa kebutuhannya. Lagi pula, bukan berarti setiap yang diinginkan atau menjadi selera seseorang, bisa dimasukkan ke dalam kategori kebutuhan pokok. Tidak demikian pengertiannya.
Tentu bukan perbuatan yang benar bila seorang yang terbiasa hidup enak di kawasan elit, makan enak di restoran mahal bisa saja dianggap sebagai hajat dasar. Ke mana-mana naik pesawat kelas utama buat sebagian kalangan memang bisa dianggap hajat pokok, atau punya mobil mewah, pembantu 12 orang, satpam rumah 12 orang, bisa saja diakui sebagai hajat pokok. Namun tentu saja bukan itu yang dimaksud dengan kriteria ini.
Yang dimaksud adalah kebutuhan yang memang benar-benar mendasar buat seorang manusia untuk bisa menyambung hidupnya. Misalnya, kebutuhan untuk makan dan mengisi perutnya, kebutuhan untuk bisa tertutup auratnya dengan sehelai pakaian, kebutuhan untuk bisa berlindung di bawah sebuah atap rumah, meskipun seadanya atau mengontrak murah. Sekedar dirinya bisa terlindungi dari terik matahari, curah hujan atau tusukan dingin angin musim dingin.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc