“Sampai Tuan juga turut campur? Tuan datang untuk melengkapi sandiwara ini?” tanya Sayyid Quthb dengan nada sinis.
“Ketahuilah, wahai Tuan,” lanjut sosok pemikir Muslim yang menulis Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ini, “kami dihukum karena kami mengucapkan (memperjuangkan) Laa ilaha illallaah, sedangkan Tuan-tuan makan roti dengan menjual Laa ilaha illallah.”
Kejadian-kejadian seperti ini akan senantiasa ada sampai akhir zaman. Kita pun mendapatinya akhir-akhir ini. Ada orang-orang yang aktif di organisasi masa Islam, bahkan menjadi pemimpin tingkat Nasional, tapi sikapnya bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang mulia.
Ada sosok-sosok yang disebut sebagai santri dan namanya pun islami, tapi berani menghina ulama’ demi membela orang kafir yang menghinakan al-Qur’an dan agama Islam.
Ada pula sosok yang bergelar professor, guru besar. Tulisan dan bicaranya banyak dirujuk. Mantan ketua umum salah satu ormas terbesar Islam negeri ini. Namun, ia bersikap ambigu dalam membela Islam. Ia tanpa rasa bersalah memuja-muji orang-orang yang nyata-nyata menghina Islam, al-Qur’an, ulama’, dan kaum Muslimin.
Berhati-hatilah. Kenalilah dengan baik orang-orang yang di-ulama’-kan di sekitar kita. Lihat pemahaman dan pengajarannya. Amati kehidupan sehari-harinya. Jangan sampai kita mengikuti, padahal ia termasuk ulama’ yang menjual Islam demi sekerat roti untuk menghilangkan lapar di perutnya. Na’udzubillah.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]