Suatu peristiwa pada 1987 mengubah jalan hidupnya. Saat itu, Ku Wie Han berjumpa dengan kawan lamanya yang baru kembali dari Singapura. Ternyata, sahabatnya itu sudah memeluk Islam. Setelah melepas kangen, keduanya membahas topik tentang religiusitas. Ku Wie Han meyakini, agama penting untuk seorang manusia dalam menjalani kehidupan yang terbatas oleh kematian.
Sesudah itu, sahabatnya lantas memberikan sebuah buku kepadanya. Judulnya, Ku Lan Cing. Menurutnya, buku tersebut bagus untuk dipelajari bagi mereka yang ingin menemukan kedamaian spiritual.
Ada salah satu bab dalam Ku Lan Cing yang berjudul I Ke Liang Se. Ku Wie Han ingat betul, bab tersebut begitu menyentuh relung hatinya. Perasaannya begitu damai sekaligus haru saat membaca teks itu untuk pertama kalinya.
Beberapa hari kemudian, Ku Wie Han menceritakan pengalaman itu kepada sahabat yang memberikan buku tersebut. Akhirnya, dia mengetahui, buku tersebut adalah terjemahan dari Alquran, kitab suci Islam. Adapun I Ke Liang Se merupakan alih bahasa mandarin untuk surat Al Ikhlas.
Sang sahabat lantas menerangkan beberapa makna surat tersebut. Al Ikhlas menjelaskan tentang tauhid. Saat menyimak kata-katanya, Ku Wie Han langsung teringat wajah pamannya, Jong Jun Kiang alias Muhammad Yamien. Dahulu, Islam yang dipahaminya baru sebatas ritual-ritual. Kini, dia baru mengetahui intisari agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW tersebut.
“Ternyata isinya (surat Al Ikhlas) sangat luar biasa hingga saya tertegun. Di situ, dikatakan bagaimana Islam. Bahwa Allah itu Satu, Esa, dan dijelaskan di sana segala sesuatu hanya bergantung kepadaNya. Jadi, tidak ada satupun yang tidak bergantung kepada Dia (Allah),” ujar Ku Wie Han mengenang.
Baginya, hanya dengan satu surah itu seseorang sudah mendapatkan informasi ten tang Tuhan secara detail dan jelas. Tidak ada irasionalitas. Justru, surat Al Ikhlas seakan-akan memanggil segenap manusia untuk menggunakan akal dan pikirannya tentang Sang Pencipta. Sejak saat itu, Ku Wie Han menjadi amat tertarik untuk mengkaji lebih dalam agama Islam.
“Saya kemudian mempelajari agama Islam dengan membeli berbagai buku tentang agama Islam, mulai dari akidahnya, ibadahnya, dan juga bagaimana akhlak dalam Islam,” kata dia.
Semua upaya itu dilakukannya secara autodidak. Seiring waktu, Ku Wie Han mulai memantapkan hatinya. Dirinya siap untuk bersyahadat. Dengan suatu pertimbangan, dia lantas meminta bimbingan dari seorang pamannya. Seperti halnya Paman Yamien, Paman Hong Yun Kiang juga telah lama menjadi Muslim. Bahkan, jelas Ku Wie Han, saudara orang tuanya itu merupakan ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia Cabang Jawa Barat.
Pada hari yang cerah, 12 Januari 1988, Ku Wie Han berkendara menuju Masjid Agung Bandung. Usai jamaah melak sanakan sholat, dia dibimbin Paman Hong Yun untuk melafalkan kalimat agung, Asyha duan Laa Ilaaha Illa Allah wa asyha du anna Muhammad Rasulullah. Turut hadir pula, Paman Yamien yang dahulu memperkenalkannya pertama kali kepada Islam.
Sejak saat itu, Ku Wie Han resmi menjadi orang Islam. Dia memilih nama baru, yakni Muhammad Kariem Abdurrahman.Bagaimanapun, dia hingga kini tetap akrab disapa dengan nama semula.
Setelah bersyahadat, pamannya kemudian mengantarkannya ke salah satu pesantren di Jalan Pejagalan, Bandung. Lembaga itu diasuh organisasi Persatuan Islam (Persis). Sepuluh tahun lamanya Ku Wie Han mengaji di sana. Bahkan, para kiai setempat menyertakannya dalam program kaderisasi dai. Alhasil, keluar dari sana ia didapuk sebagai seorang ustaz. Sejak saat itu, dirinya terjun ke dunia dakwah.(sumber: Rol)