eramuslim,com — Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Prof. Rhenald Kasali, ikut mengomentari kontroversi pernyataan Miftah yang dianggap menghina penjual es teh.
Prof. Rhenald menyatakan keprihatinannya terhadap video Miftah yang viral dan mempertanyakan moralitas tindakan tersebut.
“Kita geram lihat video (Miftah), ada yang mengatakan lebih baik menjadi penjual es teh daripada menjual agama,” ujar Prof. Rhenald dalam akun Instagram pribadinya @rhenald.kasali, dikutip pada Jumat (6/12/2024).
Prof. Rhenald menyoroti fenomena di mana banyak tokoh agama muncul tanpa memiliki pendidikan yang memadai.
“Ini masalahnya sekarang karena banyak sekali orang yang bisa menjadi agamawan, apakah itu pendeta, Ustaz, Kiai, Pastor, apa sajalah tokoh-tokoh masyarakat yang tidak sekolah dengan memadai,” cetusnya.
Dikatakan Prof. Rhenald, polemik yang mewabah di masyarakat itu merupakan sesuatu hal yang perlu diluruskan.
“Ini problem, untuk menjadi Kiai hingga Pastor, itu sekolahnya panjang sekali. Dibutuhkan bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, ujiannya bukan hanya pengetahuan, tetapi juga mental,” ucapnya.
Mengenai video Miftah dan beberapa orang di sampingnya menertawakan penjual es teh, ia memberikan singgungan menohok.
“Ketika ini terjadi saya juga lihat ada empat orang yang tertawa terbahak-bahak, ini moralnya bagaimana mentertawakan tukang es?,” tukasnya.
“Padahal kalau kita lihat agama itu kan justru mengajarkan perlindungan kepada orang kecil, mengajarkan anda yang kaya-raya ini agar berempati pada orang susah,” Prof. Rhenald menuturkan.
Prof. Rhenald juga menyoroti tren di masyarakat, di mana seseorang yang muncul sebagai tokoh agama atau figur publik sering kali hanya berbekal popularitas, bukan kualitas.
“Setelah saya lihat-lihat lagi, penyebabnya adalah ada orang yang peranannya jadi Ustaz di sinetron sekarang sudah menjadi tokoh beneran,” keluhnya.
Tambahnya, bukan cuma mendadak menjadi agamawan, tapi juga tidak sedikit yang tidak berlatar belakang pendidikan tapi bisa menjadi Profesor.
“Jadi orang-orang seperti ini, jalan pintas dan masyarakat mempercayainya. Kemudian si korban ternyata sudah dapat bantuan dari mana-mana,” bebernya.
Lebih jauh, Rhenald membandingkan fenomena Miftah dengan Korea Selatan, tokoh publik yang melakukan kesalahan besar biasanya tidak diterima lagi oleh masyarakat.
“Di Korea, orang-orang yang melakukan kesalahan dan brutal walaupun minta maaf itu sudah tidak bisa kembali lagi. TV gak mau ngundang, kemudian pembuat acara tidak mau ngundang,” terangnya.
Sementara di Indonesia, menurut Prof. Rhenald, justru berlaku sebaliknya dan terkesan dipolitisasi karena memiliki banyak pengikut.
“Kalau kita (di Indonesia) dipolitisir, malah bisa dipakai dikapitalisir oleh Partai Politik karena punya massa banyak,” tandasnya.
Prof. Rhenald bilang, masyarakat perlu memikirkan ulang tokoh-tokoh yang diberi ruang di hadapan publik.
“Coba pikirkan kembali terhadap tokoh-tokoh seperti ini, apakah layak untuk kita taruh di hadapan publik,” kuncinya.
(sumber: fajar)