Dalam rangkaian safari dakwah selama 1-7 Mei 2008 di beberapa kita di negeri Jepang, Ustadz Ahmad Sarwat, Lc berkesempatan bertandang ke salah satu pusat penyebaran Islam, yaitu LIPIA cabang Jepang, berikut ini laporan beliau.
Bismillah, wal hamdulillah, wassahalatu wassalamu ‘ala rasulillah, wa ba’d
Sejak masih kuliah di LIPIA dulu, kami sudah mendapat kabar bahwa LIPIA bukan hanya ada di Jakarta saja, melainkan di beberapa negara lain. Lembaga yang berinduk ke Universitas Islam Muhammad Ibnu Su’ud dan perpusat di ibu kota Kerajaan Saudi Arabia, Riyadh, memang tersebar di beberapa negara sekaligus, seperti Jakarta, Tokyo, Washington DC dan lainnya.
Maka begitu mendapatkan undangan berceramah ke Jepang, sejak awal kami minta kepada panitia untuk diantarkan ke lembaga yang ada di Tokyo ini.
Ternyata lembaga itu sudah akrab di telinga para panitia. Bahkan sebagian dari mereka ada yang pernah mengenyam pendidikan di lembaga ini. Dr. Romi Satria Wahono bilang bahwa teman-teman di Jepang sering menyebutnya Hiro-O, karena letaknya memang di wilayah yang namanya Hiro-O. Bahkan dahulu doktor ahli komputer ini pernah menggunakannya untuk mabit dan melaksanakan kegiatan Islam.
Alhamdulillah, di hari kedua sejak ketibaan kami di Tokyo, Al-Ustadz Endrianto yang bertugas mengawal kami keliling kota Tokyo menyebutkan bahwa dirinya pun dahulu pernah belajar di lembaga ini. Nah, cocok. Berarti memang tidak salah pilih pendamping.
Kami naik subway dari tempat menginap di Apartemen Anex yang terletak di seberang Kedutaan Besar Republik Indonesia. Stasiun subway terdekat adalah Meguro.
Tepat jam 07.00 pagi, Akh Endrianto sudah menggedor-gedor kamar apartemen kami. Rupanya kami tidur terlalu larut malam setelah malam pertama kami tiba di Jepang. Sehingga masih tidur saat beliau datang. Memang dalam jadwal telah tercantum bahwa hari Sabtu jadwalnya adalah keliling kota Tokyo.
Meski cuaca hujan pada hari ini, namun geliat warga Tokyo tetap stabil. Kami tidak lihat ada orang berkerumun berteduh di halte bus, atau emperan gedung tertentu. Semua orang bawa payung dan terlihat sangat antisipatif dengan cuaca. Subway tetap berjalan seperti biasa dan tetap penuh.
Al-Akh Endrianto yang sudah tinggal lebih dari 15 tahun di Jepang ini sibuk menjelaskan berbagai hal tentang tata kehidupan di Tokyo. Mulai dari cara menitipkan tas di loker pada stasiun Meguro, cara beli tiket subway, sampai di mana seharusnya posisi berdiri yang tepat kalau kita naik ekskalator.
Rupanya sudah menjadi aturan tidak tertulis warga Tokyo, kalau kita naik ekskalator dan tidak melangkah, harus berdiri di sebelah kiri. Ini untuk memberikan kesempatan orang yang mau melewati agar bisa lewat di sebelah kanan. Wah, asyik juga tuh. Di Jakarta, mana ada aturan seperti itu.
Sebenarnya sebelum kami ke LIPIA Jepang itu, kami sempat mampir sebentar ke beberapa objek wisata di Tokyo, misalnya ke Diet. Itu adalah nama keratonnya orang Jepang. Di sana konon tinggal sang Kaisar, namanya kalau tidak salah, Akihito.
Tidak terlalu banyak turis asing yang datang ke istana ini, karena selain hari hujan dan berkabut, hari itu masih agak pagi.
Arabic Islamin in Tokyo Hiro-O
Di kampus yang bernama resmi Arabis Islamic in Tokyo ini, kami disambut oleh seorang petugas yang menjaga di pintu gerbang. Awalnya kami mencoba berkomunikasi dengan bahasa Arab, mengingat lembaga ini mengajarkan bahasa Arab.
Tapi ternyata sapaan kami dalam bahasa Arab itu malah dijawab dengan jawaban yang sangat kami kenal. "Kumaha teh ustadz, damang?" Wah, ternyata kami kecele. Si penjaga ternyata bernama Yadi. Lengkapnya ya Yadi Fitriyadi. Sudah bisa tebak orang mana? Ya dari sunda, tepatnya Ciamis Jawa Barat.
Akh Yadi inilah yang kemudian mengantarkan kami berkeliling di dalam gedung milik pemerintah Saudi Arabia ini.
"Kok, ustadz agak gemukan ya kalau dibandingkan dengan foto di Eramuslim?", begitu sapa akh Yadi. Rupanya pak Yadi ini juga penggemar tulisan Ustadz Menjawab di situs ini. Sehingga foto wajah kami yang memang sudah agak lama itu juga jadi perhatiannya juga.
Kampus ini sudah seringkali mengisalmkan orang Jepang. Sebab ternyata para mahasiswa yang belajar bahasa Arab di sini belum lagi beragama Islam.
Wah, luar biasa. Bisa-bisanya tuh orang-orang Jepang belajar bahasa Arab, padahal mereka belum beragama Islam. Kami tak habis pikir, memang. Tapi menurut akh Yadi, memang begitulah karakteristik orang Jepang. Mereka mencintai ilmu pengetahuan dan menghargai kebudayaan orang lain.
Nanti kalau sudah agak lama belajar bahasa Arab, satu per satu mereka akhirnya akan masuk Islam juga. Setelah mereka menguasai kuncinya, yaitu bahasa Arab.
Dipikir-pikir, untung banget ya orang Jepang yang pada kuliah di tempat ini. Ketika mereka masuk Islam, mereka sudah langsung menguasai bahasa Arab. Padahal ada 200-an juta bangsa Indonesia yang nenek moyang mereka sudah masuk Islam sejak 14 abad yang lampau, sampai hari gini masih saja tidak bisa bahasa Arab. Bisanya cuma istilah abi dan umi saja. Selebihnya wallahu a’lam bishshawab.
Padahal tidak sedikit dari bangsa Indonesia yang buta bahasa Arab itu yang jadi aktifis dakwah, bahkan yang dengan pe-denya jadi ustadz tampil di TV juga tidak sedikit. Hehehe..bukan nyindir tapi nuduh.
Yang semakin menarik, akh Yadi menjelaskan bahwa berbeda dengan LIPIA di negeri kita yang gratis bahkan malah dapat uang mukafa’ah (beasiswa), para mahasiswa Jepang yang kuliah di sini malah bayar uang kuliah. Konon, kalau digratiskan malah mereka kurang menghargai. Jadi karena maunya pada bayar, ya jadilah kuliah di sini berbayar.
Kalau dipikir-pikir, fasilitas pendidikan di LIPIA Jepang ini tidak kalah mutakhir dengan LIPIA di Jakarta. Kalau cuma TV ‘teplek‘ (baca: layar datar) sih bukan hal yang aneh lagi. Bahkan kamera CCTV terpasang di mana-mana.
Beberapa ustadz dari Timur Tengah memang sengaja didatangkan ke tempat ini. Selain mengajarkan bahasa Arab, mereka seringkali menjadi rujukan dalam masalah dakwah Islam.
Maka lengkaplah gerakan Islamisasi di Jepang. Ada bangsa Indonesia yang menang dari segi jumlah, keramahan dan penyebarannya. Ada Saudi Arabia yang mengajarkan bahasa Arab dan ilmu keIslaman. Juga ada bangsa Pakistan yang suka membuka warung makan khas Pakistan, lengkap dengan nasi Bryani dan Nan (roti khas Pakistan).
Seandainya semua unsur itu bersatu dan bisa saling bekerja sama, maka ke depan harapan besar sudah terbayang untuk mengIslamkan bangsa Jepang.
Kunjungan ke Hiro-O ini mengingatkan kami pada makanan khas Arab, sebagaimana ditawarkan akh Endrianto makan siang. Tentu kami tidak bisa menolak tawaan ini. Maka makanlah kami di restoran khas Pakistan yang dijamin halal itu di pusat Kota Tokyo. Dijalan kami bertemu dengan Sekjen KMII yang sedang bergegas ke gedung tempat dilaksanakannya daurah KMII, di mana kami akan menjadi narasumber kegiatan itu. Begabunglah bersama kami untuk makan nasi Bryani dan roti pakistan.
Sebuah kunjungan yang sangat menarik dan menambah luas ukhuwah kita dengan bangsa-bangsa lain. Semoga pada kesempatan mendatang, lembaga semacam ini bisa diperluas jangkauannya, bukan hanya di Jepang tapi juga di negeri lain. (bersambung)