Puasa pada hari ke tujuh tahun ini bertepatan dengan hari ahad. Di Tokyo, Keluarga Masyarakat Islam Indonesia (KMII) melaksanakan buka buasa bersama untuk masyarakat Indonesia yang tinggal di Tokyo dan sekitarnya setiap ahad. Pertemuan dengan orang-orang Indonesia dan makan makanan Indonesia di tanah rantau membawa saya pada kerinduan pada tanah Indonesia. Saya yakin hal ini juga dirasakan oleh orang-orang Indonesia lain yang telah lama menetap di Tokyo. Kalau sudah begini, perasaan ingin segera kembali ke Indonesia seringkali memporak-porandakan jiwa saya.
Orang-orang Indonesia pada umumnya terikat pada tanah airnya, inilah yang berbeda dengan bangsa India, Arab dan China. Jarang sekali orang-orang Indonesia yang berkeinginan menetap di negara lain untuk selamanya, kecuali mereka yang telah membangun rumah tangga dengan masyarakat lokal. Berbeda dengan orang-orang India, Arab dan China, mereka merantau memang ingin membangun masa depan di tanah rantau. Oleh karena itu mereka lebih bersikap totalitas dalam membangun kehidupannya di tanah rantau, termasuk di Jepang ini. Sementara orang-orang Indonesia, banyak sekali yang bersikap ambigu terhadap masa depannya. Ingin tetap bertahan di Tanah rantau tapi kerinduan pada kampunng halaman begitu kuat, sementara ingin kembali ke Tanah air seringkali terbentur pada pertanyaan dasar,”apakah masih bisa membangun masa depan di sana?”. Karena memang lapangan kerja seringkali tidak mudah ditemukan.
Acara buka puasa bersama KMII yang diselanggarakan di Sekolah RI Tokyo diisi ceramah oleh Ustad Dwi Triyono yang didatangkan khusus dari Bali. Sebagai muslim yang hidup di tengah penduduk mayoritas Hindu, beliau berbagi pengalaman bagaimana berlaku menjadi warga minoritas, dan bagaimana berda`wah dalam situasi minoritas. Beliau bercerita bagaimana dulu Islam dibawa oleh Muhammad dan dikembangkan bersama sahabat-sahabatnya sesungguhnya juga dalam keadaan minoritas. Beliau juga bercerita bagaimana Islam masuk ke Indonesia dan dikembangkan oleh para wali yang juga dalam keadaan minoritas.
Nabi bersama sahabatnya yang awalnya minoritas mampu mengubah keadaan dan menjadikan Islam sebagai agama mayoritas. Begitupun para wali dan penyebar Islam di Indonesia pada abad 15 yang kemudian mampu merubah Indonesia menjadi negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Keberhasilan-keberhasilan besar itu adalah hasil dari keberanian mengikatkan diri pada tujuan-tujuan besar secara total dimana Nabi, para Sahabat dan para Ulama setelahnya telah memberikan totalitas perjuangan dan pengorbanannya untuk Islam.
Tidak ada keberhasilan besar yang bisa diraih tanpa totalitas tujuan, perjuangan dan pengorbanan. Puasa mengajarkan kita untuk meraih tujuan-tujuan besar dengan totalitas perjuangan dan pengorbanan. Para sahabat, ketika menjelang ramadhan selalu menyiapkan dirinya secara total guna mencapai kesuksesan besar. Mereka bekerja keras selama berbulan-bulan, mengumpulkan berbagai persediaan, yang dengan itu mereka tidak perlu bekerja selama sebulan penuh di saat ramadhan, karena mereka ingin memberikan totalitas perjuangan dengan sepenuh-penuhnya beribadah guna meraih kesuksesan di bulan penuh berkah ini.
Totalitas perjuangan dan pengorbanan selalu ditunjukkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Hal ini dapat kita lihat dari karakter mereka. Al-Qur`an menggambarkan mereka laksana “Singa di siang hari dan rahib di malam hari”. Di medan kehidupan mereka berjuang luar biasa laksana singa, dan dalam hal ibadah mereka berusaha luar biasa laksana rahib. Inilah totalitas perjuangan dan pengorbanan untuk meraih cita-cita kemenangan dunia dan akhirat yang telah ditunjukkan para sahabat.
Menjadi manusia yang mampu menyerahkan totalitas perjuangan dan pengorbanannya untuk sebuah cita-cita besar tentulah tidak mudah. Godaan-godaan untuk memilih jalan termudah seringkali menghalangi kita untuk mengeluarkan seluruh perjuangan dan pengorbanan demi sebuah cita-cita besar. Inilah yang menyebabkan sebuah bangsa sulit untuk bergerak maju, karena memang tidak ada hasil besar yang bisa diraih tanpa pengorbanan yang besar. Wallahu`alam.(Mukhamad Najib)