Laos dengan ibukotanya Viantiane atau terkadang di tulis dengan Viang Chan terletak di pinggir sungai Mekong. Sungai ini menjadi perbatasan antara Laos dengan Thailand tepat nya provinsi Udhon Tani. Sungai ini juga membentang sampai ke utara menjadi perbatasan Laos dengan Myanmar Burma dan China, ke Selatan dengan Negara Kamboja, sementara ketimur Laos berbatasan dengan Vietnam. Jadilah negara ini tak mempunyai akses langsung dengan Laut.
Di Viang Chan terdapat dua buah masjid kecil. Sebuah bernama masjid Jamiah atau sering juga disebut masjid Pakistan. Masjid ini terletak hanya beberapa puluh meter dari City Central (pusat kota).
Sebuah lagi bernama masjid Al-Azhar atau orang menyebutnya masjid Kamboja. Masjid ini terletak sekitar 4 kilometer dari pusat kota. Masjid itu memang didirikan oleh komunitas orang–orang Kamboja Muslim yang muhajir ke Laos, didirikan tahun 1968 oleh Haji Yahya dan kawan kawan nya, beliau menjadi Imam pertama di masjid itu. Sekarang ada seorang Imam yang juga berasal dari Kamboja, Imam Vina namanya, Imam Vina dapat berbahasa Melayu.
Tiga tahun yang lalu masjid Kamboja ini hanya berupa bangunan kecil yang tak terurus, halaman nya tergenang air, karena tapak bangunan masjid itu dulunya berupa sawah. Kini Masjid Kamboja telah menjadi tumpuan shalat Jumat bagi warga Muslim yang berada di Kedubes Indonesia maupun Malaysia, meskipun belum sebesar Masjid Internasional di Phnom Phen Kamboja sana.
Di Viang Chan terdapat sekitar 16 keluarga muslim asli orang Laos. “Tiga keluarga telah kembali murtad,” kata Imam Vina kepada kami saat berkunjungan akhir Desember 2010 yang lalu. Sementara warga Laos asal Kamboja yang Islam yang tinggal di sekitar Viang Chan hanya puluhan saja. Tetapi ada yang mengatakan seratusan, tak ada data pasti untuk itu.
Laos terdiri dari 16 provinsi, di beberapa provinsi ini terdapat juga beberapa keluarga Islam seperti di Luang Prabang salah satu kota terbesar setelah Viang Chan, jaraknya sekitar 500 kilometer arah ke utara.
“Di Laos terdapat sekitar 120 orang pekerja dari Indonesia yang bekerja di tambang emas Laos,” kata Dubes RI untuk Laos Haji Fahmi Pasaribu, saat kami berkunjung ke Kedutaan.
Arah ke Selatan sekitar 600 kilometer dari Viang Chan terdapat sebuah provinsi bernama Savannakhet. Perjalanan kami menuju kesana, selepas dari satu kampung sekitar 50 kilometer di luar kota Viang Chan arah ke Savannakhet, kami mengunjungi saudara muslim yang baru memeluk Islam. Tiga keluarga tinggal di sana, tak ada seorang pun yang dapat mengajari mereka tentang Islam. Hanya seorang yang masih dapat melafazkan syahadat dengan benar.
Di kampung itulah kami shalat Jamak Takdim di rumah saudara muslim yang bernama Ismail. Dan seterusnya melanjutkan perjalanan ke Savannakhet.
Muslimah Terakhir asal Saigon
Tiba di Savannakhet, kami menuju rumah pak Pong, Pak Pong ini adalah orang Laos yang sudah memeluk Islam hampir limabelas tahun silam, sebagai seorang polisi yang masih aktif dia tak mau identitas ke-Islamannya diketahui halayak ramai. Hanya Dia seorang saja yang Islam di keluarga nya, bahkan isteri dan anak-anaknya masih menganut Budha. Banyak kisah menarik yang diceritakan oleh Imam Vina kepada kami tentang pak Pong ini, namun sayang karena sedang bertugas keluar kota kami tak berjumpa dengan pak Pong. Kami diterima oleh adiknya yang bernama Pok.
Tak tahu apa sebab kota ini dinamakan Savannakhet. Dialek tempatan menyebutnya Sabana Kit. Dan memang hutan perdu di sana terlihat seperti padang Sabana.
Sebagaimana informasi yang kami dapatkan dari pak Pok adik pak Pong ini, ada satu lagi keluarga muslim asal Kamboja yang tinggal tak jauh dari rumah kediaman mereka. Ke sanalah tujuan kami selanjutnya untuk bersilaturrahim.
Setiba di sebuah rumah toko (ruko) persis bersebalahan sebuah hotel yang cukup besar di Savannakhet, seorang perempuan muda sekitar 30an menerima kami, di depan rumah yang juga berfungsi sebagai tempat berniaga ini di kanan kirinya terdapat altar sembahyang bagi orang Budha lengkap dengan sesajian dan dupa yang masih menyala. Dengan senyum ramah kami dipersilahkannya masuk ke dalam rumahnya, tak lama setelah itu seorang perempuan tua sekitar 60an tergopoh-gopoh turun dari sepeda motor dan masuk menghampiri kami.
Senyumnya mengembang namun air matanya terlihat berlinang, rupanya dia sangat terharu sekali atas kedatangan kami menjambangi rumahnya. Belasan tahun setelah suaminya meninggal dunia nyaris tak seorang pun orang Islam yang datang ke rumahnya.
Chek Lie namanya. Begitu dia dipanggil perempuan tua yang tetap mengaku Islam ini adalah berasal dari Saigon Vietnam, menikah dengan pemuda asal Kamboja bernama Ali, sejak menikah 40 tahunan yang lalu mereka tinggal di Savannakhet, dikarunia dua orang anak. Seorang lelaki, dan menikah dengan wanita setempat (orang Laos) punya anak enam orang. Seorang lagi anak Chek Lie yang perempuan yang menyambut kami tadi menikah dengan lelaki setempat, tetapi beragama Budha, putri Chek Lie ini pun punya dua orang anak.
Sayangnya anak lelaki Chek Lie agak kurang ingatan akibat kecelakaan di jalan raya setelah suaminya meninggal. Sementara anak perempuannya pula telah bercerai dengan suaminya. Mungkin akibat penderitan yang terus menderanya itu, selama bertemu dengan kami tak henti henti air matanya terus mengalir.
Di rumah Chek Lie itu kami shalat magrib, di dalam rumah yang cukup besar itu pun terdapat altar tempat sembahyang yang jauh lebih besar dari altar yang di luar. Melihat kami akan shalat, cepat–cepat Chek Lie menutupi altar itu dengan kain. Yang sangat terharu sekali adalah saat azan berkumandang di rumah itu, Chek Lie dengan menyusun sepuluh jarinya seraya berdoa dan tubuhnya mengelongsor ke lantai sembari menangis.
Kami yang hadir di sana hampir semua menitikkan air mata. Bahkan Ustazd Yusuf asal Pattani yang menjadi juru bicara dan imam shalat kami menangis sesunggukan. Memohon ampun kepada Allah SWT membiarkan saudara muslim belasan tahun tanpa bimbingan apapun.
Ikrar Ulang Syahadat
Tak ada mukena tak ada Quran tak ada sajadah. Tak ada seorang pun yang tahu tentang Islam yang dapat mengajarkan mereka. Suami yang membawanya kepada Islam 40 tahun silam telah tiada, anak lelaki satu satunya yang diharapkan menjadi tumpuan tempat berlindung kini kurang siuman, sementara menantu lelakinya pula pergi meninggalkan mereka.
Dari segi materi, Chek Lie terlihat tidak kekurangan, harta peninggalan suaminya masih bercukupan. Petang itu Chek Lie ikut shalat berjamaah di belakang kami, karena kami yang datang semua lelaki. Jadi terpaksa lah Chek Lie berdiri sendirian. Saat kuajak shalat Chek Lie kebingungan, tak tahu apa yang hendak dilakukannya.
Saat berdiri untuk shalat ku bimbing Chek Lie berdiri persis di belakangku, dengan selembar kerudung putih yang terjuntai tak jauh dari kursi yang terdapat di ruang tamu itu kututupi rambut Chek Lie. Baju dan androk yang dipakainya cukup untuk menutupi aurat pengganti mukenah.
Inilah agaknya pertama kali Chek Lie shalat selama belasan tahun sepeninggal suaminya, atau memang dulu pun Chek Lie tak pernah shalat, wallahu a’lam bisawab. Tapi Chek Lie tetap dalam ke-Islaman nya, “Sampai akhir hayat aku tetap Islam!” kata Cheki Lie yang diterjemahkan oleh Ustazd Yusuf . Sebagai mana wasiat dari sang Suami sebelum meninggal dunia. Tetapi yang sangat merunsingkan hati Chek Lie adalah siapa agaknya yang akan mengebumikannya, bila ianya kelak dipanggil yang Maha Kuasa.
Malam itu selepas makan malam di rumah Chek Lie, Chek Lie mengucapkan ulang dua kalimat syahadat dibimbing oleh Ustazd Yusuf. Syahadat ini pun diikuti putri Chek Lie dan kedua cucunya yang sudah berumur 9 dan 10 tahun. Pak Pok adik Pak Pong yang terus menemani kami pun malam itu mendapat hidayah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Saat kutanya apa harapan Chek Lie di hari tuanya seperti saat ini. Harapan Chek Lie kiranya ada Dai yang datang kesana, mengajarkan mereka tentang Islam dan Chek Lie pun bermimpi ada sebuah mushalla hendaknya bediri tegak di bumi Savannakhet.
Selepas dari Rumah Chek Lie kami menuju sebuah rumah keluarga muslim asal Pakistan, kami diantar oleh Chek Lie keruma itu. Kami ketahui keberadaan keluarga asal Pakistan ini saat di pasar, mereka menjual pakaian. Sayang nya kami tak dapat langsung berjumpa, karena malam hari sebagaimana dijanjikan tuan rumah tak ada di tempat. Meskipun siang nya kami sudah janjian akan berjumpa, mungkin agaknya terlalu lama kami di rumah Chek Lie.
Itulah sedikit gambaran tentang Muslim di Savannakhet, Savannakhet adalah salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan Mukdahan Thailand.
Imbalo Iman Sakti
[email protected]