Allah Mempertemukan Kami dengan Malaikat-Nya di Istanbul, Catatan perjalanan A. Ginanjar Sya’ban kontributor eramuslim
Istanbul benar-benar kota yang eksotis dan menyihir. Eksotisme dan sihir Istanbul sebagai bekas ibu kota dua imperium raksasa dunia sekaligus: Byzantium dan Ottoman itu masih terus terpancar hingga sekarang. Emperor Prancis Napoleon Bonaparte pernah berujar tentang kemegahan Istanbul: "jika dunia ini adalah satu negara, maka Istanbul yang paling pantas untuk menjadi ibu kotanya".
Pepatah klasik Eropa lain mengatakan, "if you want riches, go to India. If you want learning, go to Europe. But if you want imperial splendour, come to the Ottoman Empire and his capital, Istanbul". Pepatah tersebut menggambarkan betapa dahsyatnya kemegahan imperium Ottoman dan pesona ibu kotanya itu.
Terletak di tepian Selat Bosphorus yang membelah Eropa dan Asia, Istanbul pun menjadi satu-satunya kota di dunia yang berdiri mengangkangi dua benua sekaligus. Tahun 2010 ini, Istanbul didaulat menjadi Ibu Kota Budaya Eropa (Avrupa Kultur Baskenti).
Kami (saya dan istri) berkesempatan mengunjungi Istanbul pada awal Juli lalu dalam sebuah misi perjalanan kebudayaan dan pendidikan, selain tentunya jalan-jalan. Kami kebetulan diajak oleh kawan-kawan penulis dari jemaat gerakan Fethullah Gulen Turki untuk mengunjungi lembaga-lembaga yang dikelolanya, utamanya lembaga pendidikan.
Bertolak dari bandara internasional Kairo, tempat saat ini kami bermukim, kami tiba di bandara internasional Sabiha Gokcen Istanbul sekitar pukul 1 siang. Dari Kairo, kami berangkat bersama Sumer Spahui, kawan kami di Kairo asal Macedonia yang berasal dari keluarga Turki dan hendak mudik ke kampung halamannya. Sumer pulalah yang membantu kami selama prosesi pengurusan visa di kedutaan
Perjalanan Kairo-Istanbul via jalur udara memakan waktu sebentar, yaitu sekitar dua jam saja. Mesir dan Turki hanya dipisahkan oleh Laut Tengah (Mediterrania).
Sabiha Gokcen sendiri merupakan bandara internasional kedua Istanbul, setelah bandara Ataturk, yang terletak di wilayah pinggiran Istanbul bagian tenggara. Sabiha Gokcen adalah pilot wanita pertama Turki. Gokcen tercatat sebagai salah satu anak asuh Bapak Turki Modern Mustafa Kemal Ataturk yang menempa pendidikan penerbangan dan menjadi perempuan penerbang pertama di Turki. Gokcen juga menjadi salah satu ikon tonggak sejarah kemodernan dan kemajuan perempuan Turki.
Setelah melewati prosesi imigrasi yang tidak terlalu susah, kami pun keluar bandara. Di pintu penjemputan, sudah ada dua orang kawan lama kami yang menunggu, Yusuf Aydemir dan Hafiz Bulut. Keduanya adalah mahasiswa Ilahiyet Fakultesi pada Marmara Universitesi Istanbul, yang pada musim panas tahun lalu berkesempatan ke Kairo dan secara tidak sengaja bertemu dengan kami hingga akhirnya menjadi teman dekat.
"Hos geldiniz Istanbul’de, selamat datang di Istanbul," kata Yusuf dan Hafiz menyambut kami.
Kesan Turki yang nyaman, rapi, dan bersih segera kami rasakan semenjak awal mula keluar dari bandara. Hanya terpisahkan oleh seruas jalan dari pintu keluar bandara, di sana sudah terdapat terminal bus umum yang akan menghantarkan penumpang ke segala tujuan di Istanbul. Bus-bus umum di Turki bagus-bagus, persis seperti bus trans-Jakarta. Sederet setelah terminal bus umum, barulah terminal taksi dan parkiran mobil.
Kami lalu naik bus jurusan Umraniye, dan di sanalah kami berpisah dengan Sumer yang mengambil bus jurusan Kadikoy. Sumer hanya akan berada di Istanbul sekitar dua harian, untuk kemudian melanjutkan perjalananya ke Italia, Switzerland, lalu ke kampungnya di Macedonia.
Dari Sabiha Gokcen ke Umraniye, dibutuhkan waktu perjalanan normal sekitar 45 menit, dengan ongkos perjalanan 1,5 TL (sekitar Rp. 10.000), tarif jauh-dekat bus umum Istanbul. Sepanjang perjalanan menyajikan pemandangan baru yang menyenangkan mata: jalanan yang luas, gedung-gedung yang berjejer tertata, pepohonan yang rindang dan tengah berbunga, suasana yang hijau dan bersih, dan orang-orang yang tampak bergairah–selain tampan-tampan dan cantik-cantik. Cerita tentang Turki bersih, rapi, tertib, tertata, dan ramah seperti negara-negara Eropa ternyata penulis buktikan dan rasakan sendiri. Hal yang sangat kontras dengan pemandangan umum kota Kairo: panas, berdebu, gersang, kotor, serta agak kumuh dan jorok.
Selain menikmati suasana dan pemandangan baru sepanjang perjalanan, kami juga berkali-kali memperhatikan dan membaca tulisan-tulisan Turki yang penulis temui, baik di papan reklame, toko-toko, spanduk, sampai di kendaraan-kendaraan. Kata-kata Turki sungguh terasa asing dan lucu, semisal Bogaz Koprusu (mirip-mirip kopi susu, tapi artinya Jembatan Layang Bosphorus), Sarikaya Pazari (mirip nama buah Sarikaya, artinya Supermarket "Sarikaya"), Anadolu Ekmek Evi (mirip kata dodol dan mbak evi, artinya Toko Roti "Anatoloia"), dan lain-lain.
Sepanjang perjalanan pula, kami saling bertukar kabar, melepas kangen. Kami bercakap dalam bahasa Arab dan sesekali Turki. Alhamdulillah, dua kawan kami itu menguasai sedikit banyak bahasa Arab, meski banyak keterbatasan. Saya sediri pernah mengikuti kelas bahasa Turki di Kairo selama kurang lebih enam bulan. Salah satu masalah utama di Turki adalah bahasa. Nasionalisme orang Turki terbilang sangat tinggi, sampai mereka memiliki pandangan jika ketika berada di dalam negeri mereka, orang asing yang harus menggunakan bahasa mereka.
Saya pun bercerita jika saat ini istri saya sudah mengajar bahasa Indonesia di Sekolah Indonesia Cairo sejak sepuluh bulan lepas, sementara saya tetap bekerja sebagai wartawan freelance dan penerjemah. Hafiz juga bercerita jika ibunya akan berangkat ke Jerman sekitar sepekan lagi untuk menjadi guru agama dan Alqur’an di salah satu sekolah Turki di Jerman, sementara Yusuf akan mudik ke kampung halamannya di Provinsi Izmir sepuluh sekitar harian lagi. "Nanti kau juga ikut pergi ke kampungku," ajak Yusuf.
Di sela-sela obrolan, saya menanyakan perihal kebutuhan menyewa penginapan selama di Istanbul. Rencananya, kami akan tinggal di Istanbul selama seminggu, dan seminggu berikutnya menjelajahi kota-kota Turki yang lain. Sejak awal mula, kami sudah berniat pergi backpakeran dengan budget seadanya. Dan alangkah terkejutnya kami ketika Yusuf mengabari jika harga sewa penginapan (hostel) di Istanbul terbilang cukup mahal, berkisar antara 50 sampai 100 Euro perharinya.
"Tapi tenang saja, kami sudah menyediakan tempat tinggal untuk kalian, kawan," kata Yusuf.
Keterkejutanku pun kian bertambah. Begitu baiknya kawan kami dari Turki itu sampai-sampai kami telah disediakan tempat tinggal.
"Karena kalian adalah tamu kami, dan bukankah ajaran agama kita mewajibkan untuk memuliakan setiap tamu? Dan lebih dari itu, kalian adalah saudara kami, dan sudah menjadi kewajiban antar sesama saudara Muslim untuk saling berbagi dan menolong. Bukankah demikian, kawan?" lanjut Yusuf.
Saya merasa terharu mendengar kata-kata Yusuf yang tulus. Saya hanya menjawabnya dengan senyum dan ucapan terimakasih yang tiada terhingga, serta do’a semoga Allah membalas kebaikan budi dan hati mereka. Yusuf juga menjelaskan, justru kalau kami tinggal di penginapan, kamilah yang tidak menghormati mereka dan merekapun akan merasa tersinggung.
Hingga akhirnya kami pun turun di halte Kiraz Sokak di kawasan Umraniye, Istanbul. Umraniye terletak di Istanbul bagian Asia, sekitar 30 menit dari selat Bosphorus. Bilangan ini terhitung sebagai bilangan baru, dengan gedung-gedung yang berjejer rapi dan terlihat terawat, taman-taman yang rindang, dibelah ruas-ruas jalan dan gang yang tak terlalu besar namun bersih.
Yusuf dan Ahmet segera mengajak kami ke flat apartemen, berjarak sekitar 200 meteran dari jalan raya. Flat yang disediakan mereka untuk kami terhitung besar dan mewah, berada di lantai satu, terdiri dari empat kamar, lengkap dengan segala fasilitasnya.
"Selamat datang. Rumah kami adalah rumah kalian juga," kata Hafiz sambil membukakan pintu untuk kami.
Yusuf dan Hafez pun mengenalkan kami perihal rumah dan isinya: kamar tamu, tiga kamar istirahat, dapur, wc, dan kamar mandi. "Lihatlah, lemari es ini telah kami isi dengan penuh untuk kebutuhan makan kalian. Kami akan merasa terhormat jika kalian berkenan menghabiskan apa yang telah kami sediakan," kata Yusuf.
Keterharuan hati saya kian bertambah. Ya Allah, betapa baiknya dua lelaki muda ini. Saya jadi teringat akan kebaikan Sumer yang telah membantu kami selama prosesi pengajuan visa yang terhitung tak mudah. Sumer rela membantu kami mempersiapkan segala kebutuhan persyaratan perolehan visa, menemani kami dari pagi hingga menjelang malam, ikut mengantri bersama kami, lalu memohonkan kemudahan perolehan visa untuk kami kepada petugas konsuler Turki di Kairo. Alhasil, beberapa ketentuan seperti wajibnya kami menyertakan slip tabungan minimal US$ 3000 dan pertanyaan-pertanyaan bersifat intimidatif tidak kami alami. Dan Alhamdulillah, visa pun bisa turun dalam tempo dua hari, ketika pada pada umumnya minimal turun seminggu setelah pengajuan.
Saya meminta maaf dengan segala kerendahan hati saya kepada Sumer karena telah merepotkannya. Namun jawaban Sumer sama tulusnya dengan apa yang dikatakan Yusuf dan Hafiz. "Ini adalah kewajiban saya sebagai saudara kalian untuk membantu dan menolong kalian. Nahnu ikhwan, kita saudara, bukan begitu?" kata Sumer.
Tak lama kemudian, Yusuf dan Hafiz pun undur diri, memberikan kami kesempatan untuk beristirahat setelah perjalanan dan kedatangan. Sebelum pergi, Yusuf memberiku kartu telpon Turki dan memasangkannya di ponsel saya. "Istirahatlah dulu. Insyaallah kami akan datang kembali ke sini setelah magrib nanti. Kami akan mengajak kalian ke tempat tertinggi di Istanbul, Camlica. Jika ada apa-apa, telpon saya, ya," kata Yusuf.
Dan keduanya pun pamit. Saya mengantar mereka hingga gerbang apartemen. Mataku mengikuti langkah mereka sembari memanjatkan do’a, semoga Allah memperbanyak pmuda-pemuda berhati tulus dan berbudi baik seperti Yusuf, Hafiz, dan Sumer, dan semoga saya bisa banyak belajar dari ketulusan dan kebaikan mereka. Demikian besar nikmat dan karunia Allah akan Islam, nikmat akan ajaran-ajaran luhur dan mulia, nikmat akan persaudaraan. Siang itu, ketika baru pertamakali menginjakkan kaki di Istanbul, di kota impian kami, Allah telah mempertemukan kami dengan malaikat-malaikat itu.
(Bersambung)
Istanbul, 1 Juli 2010