Turki akan mengadopsi sistem presidensial sebagaimana diatur dalam referendum perubahan konstitusi 16 April 2017 lalu. Sistem ini mulai berlaku seiring hasil dari pemilu 24 Juni kemarin.
Sebelumnya, kekuasaan eksekutif Turki dipegang oleh dua pihak yaitu kepala negara dan kepala pemerintahan. Namun sekarang, Turki punya presiden sebagai kepala untuk legislatf dan eksekutif sekaligus.
Di bawah sistem baru, presiden punya kewenangan untuk memberlakukan undang-undang dengan sebuah keputusan tentang isu-isu yang berkaitan dengan area eksekutif. Ini meninggalkan regulasi hak-hak dasar dan tugas-tugas ke cabang legislatif.
Namun keputusan presiden tak dapat dikeluarkan pada topik yang diatur oleh hukum.
Jika parlemen dan presiden mengeluarkan undang-undang pada topik yang sama, keputusan presiden akan batal.
Terkait anggaran tahunan negara, yang sebelumnya diatur parlemen, sekarang penyusunannya oleh presiden. Namun tetap harus melalui persetujuan parlemen.
Perubahan-perubahan ini diharapkan tidak menimbulkan perselisihan bagi AKP dan mitranya, MHP yang punya kursi mayoritas di parlemen.
Parlemen – dengan 360 suara minimal, bersama presiden dapat menyerukan pemilu ulang, yang mencakup pemilihan parlemen dan presiden pada hari yang sama.
Dengan 342 kursi yang dimiliki Koalisi Rakyat, pengambilan keputusan pada isu-isu ekonomi dan kebijakan luar negeri Turki akan cepat.
Partai-partai oposisi, di sisi lain, tidak memenangkan kursi yang cukup untuk menghentikan rancangan yang disahkan menjadi undang-undang di parlemen. Namun mereka punya hak untuk dapat menghadiri penyelidikan parlemen, debat umum dan penyelidikan parlemen.
Mosi untuk memulai penyelidikan terhadap presiden atas tuduhan kejahatan harus didukung mayoritas mutlak anggota parlemen. Jika penyelidikan dibuka, maka 15 orang akan dibentuk sebagai komite penyelidikan yang terdiri dari setiap partai.